KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
MENURUT IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
Oleh : Zainal Arif
A. BIOGRAFI TOKOH
1. Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Nama lengkapnya Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Haris Az-Zar’I Ad-Damasqy. Laqab-nya adalah Syamsudin. Kunyahnya adalah Abu Abdillah. Beliau lebih terkenal dengan panggilan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.1
Beliau adalah putra
seorang ulama pendiri Madrasah “Al-Jauziat “ (Qayyim Al-Jauziat) di
Damaskus. Dari situlah beliau terkenal dengan sebutan Ibnu Qayyim
Al-Jauziat.2
Al-Jauziyyah
adalah nama sebuah sekolah di Damaskus, yang diambil dari nama
pendirinya, yaitu Muhyiddin Abu Mahasin Yusuf bin ‘Abdurrahman bin ‘Ali
bin al-Jauzi. Beliau wafat pada tahun 656 H. Madrasah al-Jauziyyah
selesai dibangun pada tahun 652 H, dan sekarang menjadi kompleks
perdagangan. Di atasnya terdapat sebuah masjid kecil untuk shalat
berjamaah bagi penghuni dan pengunjung pasar al-Bazuriyah saat ini. Ayah
beliau bernama Abu Bakar. Dia menduduki posisi yang sangat penting,
sebagai pengatur dan penanggung jawab kompleks tersebut, yang mencakup
masalah perlengkapan, penyiraman taman, kebersihan, service lampu dan sebagainya. Ayah Ibnu Qayyim adalah seorang yang rajin beribadah dan tidak banyak bicara. Beliau wafat pada bulan Dzulhijjah tahun 723 H. dan beliau mempunyai andil besar dalam ilmu faraidh, yaitu ilmu pembagian harta warisan.3
Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah dilahirkan pada tanggal 7 Shafar 691 H atau 4
februari 1292 M di sebuah desa pertanian yang disebut Hauran. Desa ini
berada sekitar 55 mil, sebelah tenggara kota Damaskus, Suriah. Kemudian
ia merantau ke Damaskus untuk mencari ilmu di sana.4
Dalam
menimba ilmu pengetahuan Ibnu Qayyim belajar kepada Ali al-Syihab
al-Nablisi al-Qabir, Abi Bakar bin Abd al-Daim al-Qadhi al-Din Salman,
Isa al-Mat’am. Ibnu Asakir dan gurunya yang paling berpengaruh baginya
yaitu Ibnu Taimiyyah. Justru Ibnu Qayyim menempuh jalan yang dilakukan
oleh Ibnu Taimiyyah dalam memerangi orang yang menyimpang dari agama.
Ibnu Qayyim bahkan menyebarkan Ilmu Ibnu Taimiyyah, tetapi ia tidak
jarang berbeda pendapat dengan gurunya itu, bila menurutnya sesuatu itu
benar dan jelas dalilnya.5
Ibnu
Qayyim adalah murabbi yang mulia, telah bekerja di medan tarbiyah
dengan seluruh tenaga dan ilmunya. Mak tak heran jika murid-muridnya
tersebar dimana-mana. Dan muridnya yang paling terkenal adalah Ibnu
Katsir (pengarang Kitab Al-Bidayah wan Nihayah), kemudian Ibnu Rajab (pengarang kitab Ad-Dhail Al-Madzahibil Hanabilah), kemudian Ibnu Abdul Hadi dan anaknya yang bernama Abdullah. Juga termasuk murid beliau adalah Syamsuddin Muhammad bin Abdul Qadir An-Nabilisy ( pengarang kitab Mukhtasar Thabaqat Hanabilah).6
Ibnu Qayyim wafat di Damaskus pada 13 Rajab tahun 751 H/1350 M, sepertiga terakhir malam Kamis. Jamaah yang datang untuk berta’ziyah sangat banyak, sehingga prosesi shalat jenazah dimulai dari pagi hingga menjelang Zuhur di masjid Jami’ Jarrah. Beliau dimakamkan di pemakaman al-Bab al-Shaghir dengan diiringi oleh ribuan orang pengantar jenazah.
Banyak orang yang bermimpi beliau dengan mimpi yang baik. Saat
menjelang wafat, beliau bercerita bermimpi bertemu dengan Syaikh Ibnu
Taimiyah (gurunya). Dia bertanya tentang tempat gurunya di alam kubur,
maka Ibnu Taimiyah menjawab bahwa dirinya ditempatkan pada derajat
seperti si fulan, dia menyebutkan nama beberapa orang besar, seraya
mengatakan, “ Engkau hampir bergabung dengan mereka, akan tetapi engkau
berada dalam satu tingkatan bersama dengan Ibnu
Khuzaimah.” Makam Ibnu Qayyim dikenal hingga sekarang. Letaknya di
samping Madrasah al-Shabuniyah disisi kiri jalan masuk menuju pemakamn al-Bab as-Shaghir dari arah pintu baru yang diperluas sejak 40 tahun yang lalu.7
2. Karya-Karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Salah satu
unsur penting yang umum dijadikan dasar pertimbangan dalam menilai
bobot keilmuan seseorang, terutama masa-masa terakhir ini ialah berapa
banyak dan sejauh mana kualitas karya ilmiah yang telah dihasilkannya.
Dilihat dari perspektif ini, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah tergolong sebagai seorang penulis yang produktif, disamping seorang pemikir. Berikut ini karya-karya ilmiah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, diantaranya:
- Tuhfat al-Maudud bi Ahkami al-Maulud, (Jeddah:Maktabah, tth).
- Miftah Daris Sa’adah, (Kairo: al-Sa’adah, 1323 H).
- A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin, (Dar al Kutub al-Ilmiyah, Lebanon, 1313 H).
- al-Jawab al-Kafi Liman Sa’ala ‘an ad-Dawa’I as-Syafi, (Kairo: tp, 1904 M).
- Ighatsat al-Lahafan min Mashayidi asy-Syaithan, (Kairo: tp, 1320 H).
-‘Uddatu ash-Shabirin wa Dzakhiratu as-Syakirin, al-Salafiyah, (Kairo: al-Salafiyah, 1341 H).
- Raudhatu al-Muhibbin wa Nuzhatu al-Musytaqin, (Kairo: tp,1375 H)
- Madarijus Salikin, (Kairo: al-Manas, 1331 H).
- At-Thibbun Nabawi, (Beirut:Maktabar Al-Manar Al-Islamiyah, 1982 M).
-Ahkamu Ahli Adz-Dzimmah, (Beirut: Darul ‘Ilmi li Malayih, 1961M).
- Amtsal al-Qur’an, (Beirut: Darul Ma’rifah, 1963 M).
- Bada-I’ al-Fawa’id,(Kairo: tp, tth).
B. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM PERSPEKTIF IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
1. Pengertian Pendidikan Islam
Sekarang tibalah saatnya kita mengkaji pemikiran Ibnu Qayyim mengenai tarbiyah yang
Insya Allah dengan menelaah pandangan beliau akan kita temukan
perbandingan antara pemikiran beliau dengan pemikiran pakar tarbiyah
lainnya baik segi kesamaan maupun perbedaannya.
Beliau memaparkan pemikirannya mengenai tarbiyah ini, ketika sedang mengomentari tafsiran Ibnu Abbas Ra terhadap kata Rabbani yang ditafsirkan dengan makna tarbiyah, beliau berkata, “ Tafsiran Ibnu Abbas Ra ini dikarenakan bahwa kata Rabbani itu pecahan dari kata tarbiyah yang
artinya mendidik manusia dengan ilmu sebagaimana seorang bapak mendidik
anaknya. “ kemudian setelah itu beliau menukil pendapat Al-Mubarrad Ra
yang mengatakan, “ bahwa Rabbani adalah seorang yang mengajarkan ilmu dan mendidik manusia dengan ilmu tersebut. “ Selanjutnya beliau berkata, “Kata Rabbani diartikan dengan makna seperti itu dikarenakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il) Rabba-Yarubbu-Rabban yang artinya adalah seorang pendidik (perawat) yaitu seorang yang merawat ilmunya sendiri agar menjadi sempurna
sebagaimana orang yang mempunyai harta merawat hartanya agar bertambah
dan merawat manusia dengan ilmu tersebut sebagaimana seorang bapak
merawat anak-anaknya.8
Jika kita perhatikan dengan seksama pemikiran Ibnu
Qayyim Rahimahullah mengenai tarbiyah ini, maka bisa kita simpulkan
bahwa pemikiran beliau tidak jauh dari makna tarbiyah secara bahasa dan
tidak pula berbeda dengan apa yang diistilahkan oleh sebaginan pakar
tarbiyah ini, hal sedemikian tidak terlalu mengherankan karena beliau
adalah seorang murabbi sejati yang benar-benar paham tentang hakekat tarbiyah dan mengerti bagaimana seharusnya tarbiyah itu dipraktekkan.9
Tarbiyah menurut beliau, mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau menjelaskan kaifiyah (cara)
mentarbiyah hati dan badan tersebut. Beliau berkata “ Antara hati dan
badan sama-sama membutuhkan kepada tarbiyah. Keduanya harus
ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan
sempurna dan lebih baik dari sebelumnya.10
Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini mencakup dua makna, yaitu: tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi,
yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap
ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya di
samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah. Tarbiyah seperti ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi dalam mendidik
manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunannya menyertai
mereka agar mereka menguasai ilmu yang diberikan kepadanya secara
bertahap. Tarbiyah seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang
mendidik dan merawat anak-anaknya. 11
2. Tujuan Pendidikan Islam
Dalam
pandangan Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan tarbiyah yang utama
adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dikarenakan bahwa Allah Ta’ala tidak menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Jadi ibadah kepada Allah adalah tujuan utama diciptakannya seorang hamba. Allah Ta’ala berfirman,
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
“Dan saya tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariat:56).12
Demikianlah
beberapa tujuan tarbiyah menurut pandangan Ibnu Qayyim Rahimullah yang
secara umum dapat kita simpulkan dan kita klasifikasikan menjadi
beberapa kelompok, sebagai berikut ini:
a. Ahdaf Jismiyah ( tujuan yang berkaitan dengan badan)
Maksudnya
diadakan tarbiyah adalah untuk menjaga kesehatan badan anak didik,
sebagaimana yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimahullah kepada orang
tua,13
“
Hendaklah bayi yang baru dilahirkan itu disusukan kepada orang lain,
karena air susu ibu di hari pertama melahirkan sampai hari ketiga masih
bercampur dan kurang bersih serta masih terlalu kasar bagi sang bayi
yang hal ini akan membahayakan sang bayi.”
Termasuk dari ahdaf jismiyah yang hendak diwujudkan oleh kerja tarbiyah adalah selalu memperhatikan anak dan mengawasinya dalam hal makan dan minumnya, sebagiman yang diwasiatkan oleh Ibnu Qayyim Rahimullah berikut ini, 14
“Hendaklah para orang tua itu tidak membiarkan anak-anaknya
mengkonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan, hal itu demi menjaga
terbentuknya pencernaannya dan keteraturan cara kerjanya, yang sudah
diketahui bahwa sehatnya badan itu tergantung pada tepatnya (teraturnya)
kerja pencernaan tersebut. Dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi
makanan dan minuman akan mengurangi penyakit, karena dalam tubuh tidak
terdapat timbunan sisa-sisa makanan.”
b. Ahdaf Akhlakiyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akhlak)
Menurut Ibnu Qayyim Rahimullah, kebahgiaan akan bisa diraih dengan terhiasinya diri dengan akhlak mulia dan terjauhkannya dari akhlak buruk. Oleh karena
itu beliau sangat wanti-wanti menasehati para murabbi (pendidik) agar
tidak memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk berkhianat dan
berbohong, sebab khianat dan kebohongan akan merusak bangunan
kebahagiaan jiwanya, sebagaimana pernyataan beliau kepada orang tua
berikut ini, 15
Jika
sekali saja terbuka kesempatan bagi seorang anak untuk berbuat bohong
dan khianat, maka akan hancurlah kebahagiaannya, baik di dunia maupun di
akhirat, dan anak tersebut akan terhalangi untuk mendapatkan seluruh
kebaikan yang semestinya dapat diraihnya, jika ia tidak berbohong dan
berkhianat.”
c. Ahdaf Fikriyah (tujuan yang berkaitan dengan pembinaan akal)
Tarbiyah yang baik ialah yang bertujuan untuk membina dan menjaga anak dan pemikiran anak didiknya. Ibnu Qayyim Rahimullah menyebutkan masalah ini dalam sebuah pernyataan berikut ini, 16
“Yang perlu diperhatikan oleh para murabbi adalah agar mereka sama
sekali tidak memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk berinteraksi
dengan sesuatu yang membahayakan dan merusak akalnya, seperti;
minum-minuma yang memabukkan atau narkoba, dan hendaknya anak didik
dijauhkan dari pergaulan denganorang-orang yang dikhawatirkan akan
merusak jiwanya, dan dijauhkan dari melakukan pembicaraan dan memegang
sesuatu yang akan merusak jiwanya, sebab semua itu akan menjatuhkannya
ke lembah kehancuran.”
Ketahuilah,
jika sekali saja terbuka kesempatan bagi sang anak untuk melakukan
perbuatan tersebut, maka akan terbiasa melakukan perbuatan yang hina dan
kotor (seperti; zina, mucikari, dan sebagainya), padahal tidaka akan
masuk surga orang-orang yang berbuat zina.”17
d. Ahdaf Maslakiyah (tujuan yang berkaitan dengan skill)
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimullah,
tarbiyah harus memiliki tujuan menyingkap bakat dan keahlian (skill)
yang tersimpan dalam diri seorang anak. Kemudian setelah diketahui bakat
anak didiknya, maka segera diadakan pembinaan dan pengarahan kepada
bidang-bidang yang sesuai dan baik yang akan mewujudkan kemaslahatan
diri dan umat manusia secara keseluruhan.18
Apa yang menjadi pemikiran beliau ini bisa kita lihat dalam sebuah
pernyataanya berikut ini, beliau berkata, “Di antara hal yang seharusnya
diperhatikan adalah potensi dan bakat yang dimiliki oleh
masing-masing anak. Sebab ia dilahirkan dengan membawa bakat
masing-masing. Asal jangan menggiring anak kepada sesuatu yang
diharamkan syariat. Jika anak dipaksa melakukan atau menekuni sesuatu
yang tidak menjadi bakat atau kecenderungannya, maka ia tidak akan
berhasil, bahkan bias kehilangan bakatnya.”19
3. Sasaran Pendidikan Islam
Adapun sasaran tarbiyah atau yang lebih tepat dikatakan sisi-sisi yang hendak digarap oleh tarbiyah menurut murabbi yang agung ini sangat banyak macamnya, diantaranya adalah: tarbiyah imaniyyah, tarbiyah ruhyiyah, tarbiyah fikriyyah, tarbiyah ‘athifiyyah (perasaan), tarbiyah khulukiyyah (akhlak), tarbiyah ijtimaiyyah, tarbiyah iradiyyah (kehendak), tarbiyah badaniyyah dan tarbiyah jinsinyyah.
a. Tarbiyah Imaniyyah
Tarbiyah imaniyah itu ialah sejumlah kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh murabbi terhadap anak didiknya dalam menjaga iman mereka, meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Qayyim berikut ini, 20
“Hati
dan badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar keduanya mampu
berkembang dan bertambah hingga meraih kesempurnaan dan kebaikan.”
Jadi,
tarbiyah imaniyah ialah usaha untuk menjadikan anak didik sebagai
seorang yang patuh mengerjakan seluruh perintah Allah dan mengikuti
petunjuk Rasulullah SAW. 21
Berangkat dari pengertian tarbiyah imaniyah di atas, maka kita dapat menentukan ghayah (tujuan) dari tarbiyah imaniyah, yaitu sebagai berikut:
1. Menghambakan manusia hanya kepada Allah SWT, karena Allah tidak menciptakan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya.
2. Mewujudkan pribadi-pribadi shalih yang hanya beriman kepada Allah Ta’ala dan memiliki seperangkat ilmu yang bermanfaat, kemudian ilmu tersebut dibuktikan dengan amal shalih.
3. Mengakui
bahwa ubudiyah yang dilakukan dengan ketundukan dan rendah diri yang
sempurna dengan kecintaan yang sempurna pula adalah salah satu tuntutan
uluhiyah Allah Ta’ala. 22
4. Menjaga dan melindungi lisan, anggota badan dan detak hati dari setiap sesuatu yang mendatangkan kemarahan Allah Ta’ala .
5. Menjadikan seluruh gerak dan aktivitas seseorang selaras dengan ridha Allah SWT.23
Sedangkan sarana-sarana dalam mendidik iman menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah adalah sebagai berikut:
a) Mentadaburi tanda-tanda kekuasaan Allah dan Dzat Pencipta serta luasnya Rahmat dan Hikmah perbuatan-Nya.
b) Mengingat kematian.
c) Mendalami makna ibadah, bahwa ibadah adalah salah satu sarana tarbiyah imaniyah.24
b. Tarbiyah Ruhiyyah
Ibnu Qayyim Rahimullah memiliki perhatian yang besar pada tarbiyah ruhiyah. Hal ini terbukti dari beberapa kitab karangannya
ada yang berjudul “Ar-Ruh” yang khusus membahas seluk beluk ruh atau
dari lembaran-lembaran kitab karangannya yang lain beliau menyelipkan di
dalamnya bahasan Ar-Ruh.
Ibnu Qayyim mendefinisikan ruh ini dengan berkata, 25
“Ruh adalah jism (dzat) yang bentuk dan hakekatnya berbeda dengan jism
manusia yang bisa ditangkap indera, ia adalah jism yang bersifat cahaya
(nurani) yangs angat tinggi, ringan, bergerak dan melebur di dalam badan
dan seluruh anggotanya, ia mengalir di dalam badan, layaknya aliran air
di sungai atau layaknya api di dalam bara
Jadi
jelaslah bahwa ruh menurut Ibnu Qayyim adalah benda (jism) yang
tercipta, yang memiliki bentuk dan dzat sendiri dan memiliki sifat dan
kekhususan yang berbeda dengan badan, ia tidak bisa ditangkap panca
indera hanya efek kerja dan atsarnya pada badan manusia yang bisa
disaksikan.26
Ibnu
Qayyim Rahimullah berpendapat bahwa kesempurnaan ruh (nafs) yang
menjamin kebahagiaannya hanya ada pada makrifahnya tentang Allah,
mencintai-Nya, lebih mementingkan keridhaan-Nya daripada kesenangan
syahwat dan hawa nafsu. Beribadah kepada-Nya dan menaati seluruh
perintah-Nya. Yang demikian itu adalah tujuan tertinggi dari tarbiyah
ruhiyah menurut Ibnu Qayyim Rahimullah.27
Sarana-sarana dalam mendidik ruh adalah sebagai berikut:
1. Memperdalam iman kepada hal-hal yang ghaib.
2. Kembali kepada Allah dan sibuk dengan hal-hal yang diridhai-Nya.
3. Mencintai
Allah Dzat yang menciptakan seluruh jiwa dan makhluk yang ada. Bahkan
kesempurnaan nikmat dan kebahagiaan ruh hambanya ada dalam mahabatullah.28
4. Dzikir mengingat Allah dan mendirikan shalat.
5. Melakukan munasabah (Introspeksi diri) setiap hari sebelum tidur.29
c. Tarbiyah Fikriyah
Akal adalah alat yang menggerakkan badan dan seluruh anggota tubuh dan yang menentukan baik dan rusaknya
badan, jika ia baik maka baiklah seluruh badan tetapi jika rusak maka
rusaklah seluruh badan. Ibnu Qayyim mengatakan, “Akal adalah raja,
sedang ruh, panca indera dan seluruh anggota badan adalah sebagai
rakyatnya. Jika akal rusak maka kehancuranlah yang akan dirasakan oleh seluruh rakyatnya”. 30
Sedangkan yang dimaksud dengan tarbiyah fikriyyah adalah
mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir),
mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan
ini dikerahkan oleh murabbi dengan mentarbiyah orang lain atau
dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiridalam rangka
mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala
berpikirnya.31
Ibnu Qayyim Rahimullah banyak memiliki metode dan cara untuk mendidik pikiran. 32 Diantaranya adalah:
a) Dengan
mentadabburi dan memperhatikan makhluk-makhluk Allah dan tanda-tanda
kekuasaan-Nya dengan mata bashirah untuk mengetahui keagungan-Nya,
kebesaran kekuasaan-Nya dan kelembutan kebijaksanaan-Nya.
b) Dengan mentadabburi ayat-ayat Allah Ta’ala yang terbaca, yaitu Al-Qur’an dan mentadabburi syari’at-Nya yang diturunkan kepada manusia.
c) Dengan menjalani semua perintah Allah dan istiqamah di atas manhaj-Nya.
d) Meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya rintangan yang menghalangi perkembangan pikiran, dan mewaspadai bahaya maksiat.
e) Bukti
perhatian Ibnu Qayyim terhadap perkembangan akal manusia adalah celaan
dan pengingkaran beliau terhadap budaya taklid, karena taklid ini akan
membekukan akal dan pikiran dan mengosongkan dari aktivitas yang
bermanfaat.
d. Tarbiyah ‘Athifiyyah
Tarbiyah ‘athifiyyah
adalah sebuah tarbiyah yang mengarahkan setiap perbuatan dan perkataan
individu ke arah yang diridhai Allah, sebagai realisasi dari firman-Nya,
ö@è% ¨bÎ) ’ÎAŸx|¹ ’Å5Ý¡èSur y“$u‹øtxCur †ÎA$yJtBur ¬! Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (Al-An’am: 162).
Demikian juga bahwa tarbiyah ‘athifiyah ini mendorong manusia agar mengarahkan perasaan cintanya hanya kepada Allah Azza Wajalla, hingga ia mampu merangkak naik bersama perasaan dan instinknya ke derajat yang menjadikannya sebagai wali Allah Ta’ala.33
Ada beberapa metode dan cara untuk memperdalam cinta kepada Allah dan ubudiyah kepada-Nya di dalam hati, diantaranya adalah:
a) Menanamkan perasaan bahwa seorang hamba sangat membutuhkan Allah, bukan yang lain..
b) Beribadah kepada Allah dengan nama-Nya yang Mahaawal, Yang Mahaakhir, Yang Mahazhahir dan Mahabatin.
c) Menanamkan perasaan bahwa dia sangat butuh kepada hidayah Allah dan menanamkan kefakiran kepada-Nya.
d) Menanamkan pengetahuan dan kesadaran atas nikmat-nikmat Allah kepada manusia.
e) Menanamkan ilmu pengetahuan bahwa cinta kepada Allah adalah tuntutan iman. 34
e. Tarbiyah Khulukiyah
Yang dimaksud dengan tarbiyah khulukiyah
adalah melatih anak untuk berakhlak mulia dan memiliki kebiasaan yang
terpuji, sehingga akhlak dan adat kebiasaan tersebut terbentuk menjadi
karakter dan sifat yang tertancap kuat dalam diri anak tersebut, yang
dengannya sang anak mampu meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat dan terbebas dari jeratan akhlak yang buruk.35 Ketahuilah sesunguhnya seorang anak itu berkembang di atas apa yang dibiasakan oleh murabbi terhadapnya di masa kecilnya.36
Menurut Ibnu Qayyim, sumber tarbiyah khulukiyah
itu adalah: pertama, Kitabullah (Al-Qur’an), sebuah kitab yang menjadi
panduan dalam pendidikan umat yang telah disifati Allah sebagai
sebaik-baik umat,37 firman-Nya,
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 ÇÊÊÉÈ
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang yang dikeluarkan untuk manusia.” (Al-Imran: 110)
Kedua, sumber mata
air yang menjadi penyiram bagi ladang tarbiyah khulukiyah adalah Sunnah
Rasulullah sekaligus sirah perjalanan beliau yang merupakan praktek
amali bagi ajaran Islam. Rasulullah Saw teladan dalam berakhlak mulia
dan beliau adalah puncak semua akhlak mulia.38
Tujuan tarbiyah khulukiyah
menurut Ibnu Qayyim adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang
menjadi sebab utama bagi kebahagiaan manusia, yang karenanya Allah
menciptakan manusia, memuliakan dan menjadikannya khalifah di muka bumi.
Tiada kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusiakecuali dengan
menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak
yang utama, sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan akhlak yang
tercela dan rusak, sungguh dia telah membuang kebahagiaan dunia dan
akhiratnya.39
Termasuk dari metode tarbiyah khulukiyah menurut Ibnu Qayyim adalah:
1. Uslub takhliyah (pengosongan) dan tahalliyah (menghiasi diri)40
2. Mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat baik dan al-birr
3. Uslub pelatihan dan pembiasaan
4. Memberi gambaran yang buruk tentang akhlak tercela
5. Menunjukkan buah yang baik berkat akhlak yang baik.41
f. Tarbiyah Ijtimaiyyah
Tarbiyah ijtima’iyyah
yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim ini bertujuan membangun hubungan yang
kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan
yang terbangun di atas kecintaan sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang
berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sbagaimana mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari). 42
Tarbiyah ijtima’iyyah yang baik, menurut Ibnu Qayyim, ialah yang selalu memperhatikan perasaan orang lain, mengajak mereka agar ikut membahagiakan dan menyenangkan hati saudara-saudaranya.
Kemudian
beliau menyebutkan tentang hak-hak bermasyarakat, di antaranya adalah
bahwa orang yang sakit itu memiliki hak untuk diziarahi. Termasuk faedah ziarah yan manfaatnya kembali kepada orang yang sakit adalah, ziarah mampu mengembalikan
kekuatannya, membangkitkan kebahagiaan jiwanya, menyenangkan hatinya
dan mendatangkan sesuatu yang menggembirakan orang yang sakit.43
Ibnu Qayyim berwasiat kepada orang tua dan murabbi yang bertangung jawab
atas urusan seorang anak agar mereka menjauhkan anak-anaknya dari
tempat-tempat yan tersebar di dalamnya kemungkaran dan kesesatan, karena
sesunguhnya seorang anak itu dalam keadaan fitrahnya, suci jiwanya dan
bersih hatinya ibarat lembaran putih yang bisa ditulisi apa saja di dalamnya.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya berinteraksi dengan masyarakat itu tidak berbahaya, namun terlalu lama membiarkan
anak berinteraksi dengan masyarakat akan dapat mendatangkan kerugian
yang besar kepadanya dan terhalangi untuk mendapatan kebaikan dunia dan
akhirat.
Demikianlah
dasar-dasar bermasyarakat yang agung, yang jika setiap individu
masyarakat mau mempraktekkannya, niscaya akan tersebar kebersamaan dan
persaudaraan serta keamanan di semua lini masyarakat tersebut, dan
niscaya ikatan masyarakat tersebut terjalin kuat sebagaiannya menguatkan
sebagian yang lain dan saling menopang antara sebagian yang lain.44
g. Tarbiyah Iradiyyah (Kehendak)
Menurut Ibnu Qayyim Rahimullah, kedudukan iradah (kehendak) bagi jiwa manusia sangat agung dan menentukan, karena iradah berperan sebagai mesin penggerak untuk beramal. Dan kebahagiaan itu terbangun di atas dua pondasi, yaitu: ilmu dan iradat.45
Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa iradah itu bermacam-macam dan ada awalnya, sedang awal bagi iradah menurut beliau adalah al-ham (kecenderungan). Adapun tingkatan iradah dan macam-macamnya ini sesuai dengan variabel dan dorongannya, jika sebab dan dorongannya adalah mahabbatullah dan keinginan untuk melaksanakan perintah-perintahNya, maka ia merupakan tingkatan iradah yang tertinggi, dan jika dorongan itu hanya sekedar nafsu dan keinginan sang pemiliknya (manusia) maka ia adalah iradah yang paling rendah.46
Tanda iradah
yang sehat adalah ketika seseorang memasuki waktu pagi dan petang,
sedang dalam ahlinya tidak terlintas selain kehendak untuk menghadap
selain Allah Ta’ala. Sedangkan Iradah yang rusak akan lahir dalam bentuk penyakit ilmu, pengetahuan, dan keahlian yang berlawanan dengan syari’at Allah.47
Adapun sarana tarbiyah iradiyyah ini
banyak sekali macamnya, di antaranya mencintai sesuatu yang diridahi,
karena cinta adalah pendorong yang kuat yang menghantarkan seseorang
kepada kekasih yang diiradahi dan dicintai, tabah menghadapi penderitaan
dan cobaan dalam meniti jalan menuju yang diiradahi serta sabar di
dalamnya, melatih jiwa agar bersungguh-sungguh dalam beramal.48
h. Tarbiyah Badaniyyah
Tarbiyah badaniyyah yaitu
usaha dalam mentarbiyah badan dengan memberi gizi, pengobatan dan olah
raga. Gizi harus diperhatikan macam dan jumlah yang dibutuhkan dan
pengobatan bisa terjadi dari gizi yang diberikan atau dengan obat yang
berdosis sedang, kemudian dengan yang berukuran tinggi, tetapi yang
paling baik adalah yang pertama; yaitu dengan gizi, sedang yang paling
berbahaya adalah yang ketiga yaitu obat yang berdosis tinggi. Olah raga
adalah sarana yangtepat dalam tarbiyah badaniyyah, tetapi dengan
syarat harus jauh dari unsur berlebih-lebihan, dan hendaknya dilakukan
di waktu yang sesuai dengan badan dan kondisinya dan perlu diketahui
bahwa olahraga adalah sarana untuk taat kepada Allah, jadi buka tujuan
utama.
Dalam tarbiyah riyadhiyyah (olah raga) harus diperhatikan adab dan etikanya :
1. Orang yang melakukan olah raga harus dalam keadaan bersyukur kepada Allah.
2. Penuh ketenangan dan ketentraman.
3. Memiliki akhlak Islami yang utama.
4. Selalu memohon taufik dan kebenaran dalam setiap aktivitasnya.
5. Tidak mendendam, menghina dan menertawakan lawan mainnya.49
Sarana yang tepat bagi tarbiyah riyadhiyah adalah syiar (bentuk) ta’abuddiyah
yang telah diperintahkan Allah atas hamba-hamba-Nya, seperti: shalat,
puasa, jihad dan haji. Jika semua ini dikerjakan dengan ikhlas karena
Allah maka semua itu akan bermanfaat bagi ruh dan badan.
i. Tarbiyah Jinsiyyah
Tarbiyah jinsiyyah (pendidikan
sex) yaitu usaha untuk melindungi seorang Muslim dari penyimpangan
sexual, hingga terjaga dari hal-hal yang diharamkan dan hanya cukup
dengan apa yang dihalalkan.50
Adapun hal-hal yang mampu mengarahkan anak didik ke dalam penjagaan yang seperti itu adalah:
1) Mengetahui nilai sperma, bahwa ia tidak boleh dikeluarkan kecuali dalam rangka mencari keturunan.
2) Barang
siapa yang tidak mampu menahan gejolak syahwatnya, sementara dia tidak
mampu menikah, maka wajib atasnya puasa, karena puasa adalah obat yang
terbaik baginya.
3) Menjauhkan diri dari berlebih-lebihan dalam melakukan hubungan sexual karena hal itu akan membahayakan kesehatannya.
Sedang sarana tarbiyah jinsiyyah bayak macamnya. Sarana preventif berupa:
1) Memberi peringatan dan penjelasan tentang bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan oleh perbuatan liwath (homosexual).
2) Menanamkan kenyakinan akan adanya muraqabatullah (pengawasan Allah).
3) Memperhatikan
dan senantiasa menjaga pandangan mata, pikiran, pembicaraan (lisannya)
dan setiap langkahnya agar tidak tertuju sedikitpun ke arah yang
diharamkan Allah Ta’ala.
4) Menjauhkan
anak-anaknya dari sifat malas, suka menganggur, dan tidak mau
bekerja.sebaliknya hendaknya para orang tua senantiasa menyibukkan
anaknya dengan sesuatu yang bermanfaat dalam mengisi waktunya.51
Sarana kuratif (penyembuhan), terdiri dari:
1) Meredam gelora syhawat dengan mengurangi makanan yang mengandung unsur pembangkit syahwat, dan meredam dorongan nafsu dengan puasa.
2) Mengendalikan pandangan mata.
3) Menghibur diri dengan hal-hal yang mubah sebagai pengganti dari hal-hal yang diharamkan.
4) Memikirkan kerusakan-kerusakan yang akan terjadi di dunia, jika ia melampiaskan syahwatnya.
5) Mengobati ruh dengan menjalankan ibadah dan menguatkan pendorong-pendorong dien.52
Demikianlah
sebagian obat mujarab dan sarana kuratif bagi penyakit syahwat yang
akan mematikan diri dan hati seseorang. Semua ini dengan jelas
diterangkan dan dikupas oleh seorang murabbi yang piawai, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyah Rahimahullah.
4. Pendidik dan Peserta Didik
a. Pendidik
1) Pengertian Pendidik
Ibnu Qayyim menyebut pendidik dengan sebutan alim rabbani. Beliau mengadopsi dari pemikiran para sahabat Nabi dan para Ulama. Beliau menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa alim rabbani adalah mu’allim yang menekuni dunia pendidikan atau yang berprofesi mendidik manusia dengan ilmu, sebagaimana seorang ayah mendidik anaknya. Juga pendapat Al-Wahidi, bahwa kata rabbani dinisbatkan kepada Tuhan yang memiliki arti takhshish (pengkhususan) sebagai ilmu yang mengajarkan syariat dan sifat-sifat Allah SWT. Beliau juga menukil pendapat Al-Mubarrad, rabbani adalah yang mengajarkan ilmu, mendidik manusia, dan memperbaiki mereka. Masih menurutnya, rabbani berasal dari kata rabba-yurabbi-rabban, artinya yurabbihi (mendidik) dinisbatkan pada kata tarbiyah
(pendidikan) yang berarti mengembangkan ilmu supaya menjadi sempurna,
seperti pemilik modal yang ingin mengembangkan hartanya dan orang-orang
yang ingin mengembangkan anak-anaknya.
Jadi menurut Ibnu Qayyim, seorang alim tidak disifati akan dengan rabbani, kecuali benar-benar mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.53
2) Adab-adab Pendidik
1. Pendidik itu harus zuhud.
2. Memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama.
3. Mau mendakwai manusia kepada cahaya petunjuk, bersabar serta mau menghidupkan hati manusia dengan ilmu dan Al-Qur’an.
4. Pendidik itu harus berhati-hati dalam memberi fatwa.
5. Termasuk dari sifat-sifat pendidik ialah tasabbut (hati-hati) dalam menjawab sesuatu yang ditanyakan kepadanya, sebelum ia menjawab atau membahasnya.
6. Pendidik harus haus terhadap ilmu bahkan rela berpergian jauh dalam rangka mencari dan menambah ilmunya.
7. Pendidik harus selalu mengamalkan ilmunya.
8. Pendidik harus memiliki sifat khasyatullah (takut kepada Allah)..
9. Pendidik itu harus i rindu dan cinta kepada ilmu.
10. Pendidik hendaknya senantiasa teratur dalam proses belajar dan mengajar.54
3) Adab Murabbi Terhadap Murid
Sifat dan adab seorang murabbi terhadap anak didiknya antara lain:
1.Kasih
sayang kepada yang kecil dan selalu menghibur mereka, menganggap mereka
sebagai anaknya dan menjadikan dirinya sebagai bapaknya, yang demikian
itu dalam rangka menanamkan kepercayaan mereka kepada dirinya dan untuk
menanamkan kebahagiaan dalam diri anak kecil demi mencontoh Rasulullah
Saw, seorang murabbi yang paling agung.
2.Seorang
murabbi yang sukses ialah yang merealisasikan wasiat Rasulullah SAW
mengenai perintah agar selalu memperhatikan anak didiknya. Sesunggunya Nabi SAW mewasiatkan kepada para pencari ilmu dengan kebaikan dan keutamaan.
3.Pendidik juga bertanggung jawab untuk mengawasi amaliah anak didiknya dan akhlak mereka di majlis ilmunya.
4.Seorang murabbi harus bersikap adil kepada anak didiknya sehingga dalam memberikan pelajaran kepada mereka.
5.Seorang
murabbi hasrus mengenal karakter dan kecerdasan anak didiknya. Dan mau
menerima pendapat dari muridnya jika itu menambah ilmu si murabbi.
6.Kasih sayang dan kelembutan seorang murabbi kepada anak didiknya, namun tidak berarti menghalanginya untuk memberi hukuman
kepada mereka jika memang hukuman itu diperlukan, tetapi dengan syarat
hukuman itu harus sesuai dengan kesalahan dan kondisi anak, tidak sampai
melampaui batas kewajaran.55
b. Peserta Didik
1) Pengertian Peserta Didik
Ibnu Qayyim menyebut peserta didik dengan sebutan mu’allim. Menurut beliau mu’allim adalah orang-orang
yang mencari ilmu demi mendapatkan keselamatan dirinya sendiri. Orang
seperti ini ikhlas dalam mencari ilmu. Ia termasuk orang yang
mempelajari hal-hal yang bermanfaat dan mengerjakan apa yang
dipelajarinya karena memang harus demikian jika orang yang mencari ilmu
mengharapkan keselamatan (keberhasilan).55
2) Adab-adab Peserta Didik
a) Akhlak Seorang Murid
1. Hendaklah para pelajar menjauhi kemaksiatan dan senantiasa menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan untuk dipandang.
2. Para pelajar hendaklah mewaspadai tempat-tempat yang menyebarkan lahwun (kesia-siaan) dan majlis-majlis keburukan.
3. Hendaknya para pelajar menjauhi bid’ah.
4. Hendaklah para pelajar senantiasa menjaga waktunya.
5. Dan janganlah sekali-kali mengatakan sesuatu yang tidak memiliki ilmu tentangnya.
6. Hendaklah
mereka senantiasa menghiasi dirinya dengan kejujuran dan amanah ilmiah
serta mengetahui kemampuan diri sendiri dan tidak membanggakan diri di
depan orang lain dengan yang tidak dimilikinya.
7. Hendaklah
diketahui oleh setiap pelajar bahwa hanya dengan ilmu derajat seseorang
tidak bisa terangkat kecuali jika ilmu tersebut diamalkan.
8. Jika
para pelajar menghendaki ilmunya selalu terjaga dan tidak mudah hilang,
hendaklah ia segera mengamalkan ilmu yang dimilikinya.
9. Wajib
atas para pelajar untuk memiliki pemahaman yang baik dan niat yang
lurus, supaya hatinya terjauhkan dari noda-noda bid’ah dan penyimpangan
dalam pemikiran.
10. Pelajar harus mempunyai sifat hikmah
11. Sepatutnya
para pelajar senantiasa mengingat pahala yang besar dalam mencari ilmu.
Agar menjadi pendorong baginya untuk senantiasa giat mencari ilmu. 56
b) Adab Murid kepada Gurunya
1. Seorang murid hendaklah selalu mulazamah
(menyertai) gurunya berusaha mengambil faedah darinya, sebab ilmu itu
adalah sunnah yang diikuti dan diambil dari lisan para ulama.
2. Seorang murid jika sudah mulazamah kepada seorang guru, hendaklah ia senantiasa menuruti nasehat dan petunjuknya.
3. Wajib
atas seorang pelajar untuk melembutkan suaranya ketika bertanya dan
tidak sekali-kali mendebat gurunya dengan keras dan hendaklah senantiasa
tekun mendengarkan keterangannya dan serius di dalamnya.
Demikian
sikap dan adab seorang murid terhadap gurunya, yang semoga dengan adab
dan kelemahlembutan seperti itu menjadikan sang guru rela mengajarkan
ilmu yang dimilikinya. 57
- Lembaga Pendidikan Islam
Tarbiyah yang diserukan oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah yang dijelaskan rambu-rambu dan manhajnya,
bersandar kepada manhaj Allah yang suci dan bersumber dari mata air-Nya
yang tiada pernah kering: kitabullah Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah
Nabi-Nya yang mulia. Ia adalah tarbiyah yang dinamis, yang
mendidik individu dan menjadikannya mampu berinteraksi dengan
masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang menjelaskan
tanggung jawab setiap lembaga social kemasyarakatan terhadap pendidikan.
Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah
yang membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki
karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua
orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap
individu dalam sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi,
mengambil dan memberi.
Masjid
juga memiliki peran agung dalam pendidikan masyarakat. Lembaga
pendidikan ini lebih besar perannya dalam mendidik masyarakat dan
memperluas wawasan keilmuwan mereka. Nabiyullah Muhammad telah
memperkenalkan kepada kita tentang urgensi masjid dalam pendidikan umat.
Sehingga pekerjaan pertama kali yang beliau kerjakan setelah hijrah ke
Madinah adalah membangun Masjid, sebagai tempat ibadah, balai pertemuan
untuk memusyawarahkan urusan umat, sekaligus sebagai tempat pendidikan.
Baru setelah itu, beliau mempersaudarakan antara Kaum Muhajirin dengan
Kaum Anshar.
Di
masa kecermelangan umat Islam masjid juga memiliki peran aktif dan
dinamis dalam dunia tarbiyah da ta’lim, di samping peran-perannya yang
lain. Jika masjid telah kehilangan sebagian besar perannya, maka hilang
pulalah risalah dan tujuan pembangunannya, da tinggallah ia sebagai
tempat mendirikan shalat yang dibuka pintunya beberapa menit sebelum
waktu shalat, kemudian dikunci lagi setelah shalat selesai. Ketika peran
masjid hanya sebatas itu, maka setiap individu masyarakat menjadi
laksana kawanan domba di tengah malam yang sedang diguyur hujan
deras. Kemudian di sisi lain kita mendengar suara-suara gamang dari
seminar-seminar dan diskusi-diskusi yang bertemakan “Mengembalikan Peran Masjid” yang digelar di
balik gedung-gedung tinggi. Kita tetap berharap agar seminar-seminar
tersebut bukan hanya sekedar suara yang keluar dari lisan kemudian
mampir di telinga tanpa ada pembuktiannnya.
Sekali-kali jangan mengharap datangnya izzzah (kemuliaan) di
dunia. Kekuasaan di bumi dan kedududkan tinggi di sisi Allah, kecuali
jika kita benar-benar tahu tentang peranan masjid dalam dunia tarbiyah
dan ta’lim, kemudian kita fungsikan masjid tersebut dengan risalah
pembangunannya dan kita buka peluang seluas-luasnya bagi masjid tersebut
untuk menyampaikan dan melaksanakan perannya.
Jika
keluarga, masjid, lembaga sosial kemasyarakatan memiliki peran yang
sangat besar dalam dunia tarbiyah dan ta’lim, maka tak kalah besarnya
peran para ulama, karena di tangan para ulamalah perjalanan tarbiyah dan
ta’lim akan lancar.58
1 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Teremahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta : Al-Kautsar, 2001), h.1.
2 A. Susanto M.Pd., Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta : Amzah, 2009), h.32.
3Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Jawab Al-Kafi: Mengetuk Pintu Ampunan Meraih Berjuta Anugerah, terjemahan Futuhal Arifin, ( Jakarta : Gema Madinah Makkah Pustaka, 2007), h.395.
4 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Kunci Surga: Mencari Kebahagiaan Dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, ( Solo : Tiga Serangkai, 2009), 707.
5 Departemen Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, (Jakarta : CV. Anda Utama, 1993), h.403.
6 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Terjemahan Muzaidi Hasbullah,( Jakarta : Al-Kautsar, 2001), h.11.
7 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Jawab Al-Kafi: Mengetuk Pintu Ampunan Meraih Berjuta Anugerah, terjemahan Futuhal Arifin, ( Jakarta : Gema Madinah Makkah Pustaka, 2007), h.405-406.
8 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Darus Sa’adah: Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, ( Solo: Tiga Serangkai, 2009), h.281.
9 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,Terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.76.
10 Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Ighatsanu Lahfan min Mushahidis Syetan, (Kairo: tp, 1320 H), Juz I, h.46.
11Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.77.
12Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Darus Sa’adah: Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmu,terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, ( Solo: Tiga Serangkai, 2009), h.8.
13Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud: Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati, terjemahan Abu Umar Basyir al-Maedani, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h.84.
14 Ibid, h.142.
15 Ibid, h.145.
16 Ibid, h.146.
17 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.87.
18 Ibid.
19 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud: Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati, terjemahan Abu Umar Basyir al-Maedani, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h.147.
20 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan,( Kairo : Daar Ibnul Jauzi, 1320 H), Jilid 1, h. 46.
21 Ibid, 110.
22 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Jawabul Kafie, terjemahan Futuhal Arifin, (Jakarta: Gema Madinah Makkah Pustaka, 2007), h.95.
23 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.114.
24 Ibid.
25 Ibnu Qayyim A-Jauziyah, Roh, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.178.
26 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.134.
27 Ibid, h.152-153.
28 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Mukhashar Raudhatul Muhibbin,terjemahan Tengku Azhar, (Solo:Pustaka Al-Arafah, 2005), h.174.
29 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.153-155.
30 Ibid, h.160.
31 Ibid, h.158.
32 Ibid, h.167-170.
33 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim,terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta:Al-Kautsar, 2001), h.174.
34 Ibid, h.196-202.
35 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.203-204.
36 Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Ahkamil Maulud, Abu Umar Basyir al-Maedani, (Solo: Pustaka Arafah, 2006), h.144.
37 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.208.
38 Ibid.
39 Ibid, h.211.
40 Maksudnya adalah mengosongkan diri dari akhlak tercela kemudian mengisinya dengan akhlak mulia.
41 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Fawaid Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul Abidin, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h.79.
42 Hussein Bahresi, Al-Jamiush Shahih: Hadits Shahih Bukhari-Muslim Pilihan, (Surabaya: Karya Utama, tth),h.6.
43 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, h.224-225.
44 Ibid, h. 223-228.
45 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Fawaid: Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul Abidin, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h.86.
46 Ibid, h.154.
47 Ibid, h.154.
48 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2001), h.234.
49 Ibid, h.24-246.
50 Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Thibbun Nabawy, (Beirut: Maktabah Al-Manar Al-Islamiyah, 1982), h. 194.
51 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, h.257-263.
52 Ibid, h.263-265.
53 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Daris Saadah: Kunci Surga, Penerjemah, Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, (Solo : Tiga Serangkai, 2009), h.281-282.
54 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, h.298-305.
55 Ibid, h.305-307.
55 Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Dar As- Saadah: Kunci Surga, Penerjemah, Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, (Solo : Tiga Serangkai, 2009), h.283.
56 Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy, Manhaj, h.312-314.
57 Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy, Manhaj, 319-320.
58 Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj, 321-322.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar