Sabtu, 09 Agustus 2014

Materi Ilmu Kalam Kelas X



BAB I
ILMU KALAM

A.     Pengertian Ilmu Kalam
1.    Pengertian Secara Etimologi (Bahasa)
Secara etimologis terdiri dari dua perkataan : Pertama, arti ilmu itu sendiri yaitu pengetahuan dan kedua, adalah kalam artinya perkataan atau juga percakapan. Ilmu ini biasa digunakan sebagai nama dari ilmu yang membahas aqidah-aqidah dalam Islam.
Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan (agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Atau  Ilmu yang membahas soal-soal keimanan
2.   Pengertian Secara Etimologi (Istilahi)
a.    Menurut Musthafa Abdul Raziq definisi   ilmu kalam adalah ilmu yang berkaitan dengan aqidah imani yang dibangun dengan argumentasi-argumentasi rasional.
b.    Menurut Al Farabi definisi  ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam.
c.    Menurut Ibnu Khaldun definisi  ilmu kalam adalah ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.
d.   Menurut Syekh Muhammad Abduh definisi ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib baginya, sifat-sifat yang jaiz baginya dan tentang sifat-sifat yang ditiadakan darinya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat wajib, jaiz dan mustahil dari mereka.
Jadi Ilmu Kalam adalah Ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah ketuhanan/ketauhidan (mengesakan Tuhan) dengan menggunakan dalil-dalil fikiran dan disertai alasan-alasan yang rasional.
B.     Nama-Nama Ilmu Kalam dan Sebab Penamaanya
1.    Ilmu Kalam
Karena membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil Aqliyah dari permasalahan sifat kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah Al Qur’an itu Qodim (dahulu) atau Hadits (baru)
a. Persoalan Qodimiyah Kalamullah
b. Penggunaan dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit penggunaan dalil naqli
c. Penggunaan metode argumentasi yang menyerupai mantiq.
2.   Ilmu Ushuluddin
Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada aqidah atau keyakinan Allah SWT,. Atau yang membahas pokok-pokok dalil Agama.
3.   Ilmu Tauhid
Disebut ilmu tauhid karena membahas keesaan Allah SWT, baik menyangkut dzat, sifat dan perbuatan
4.   Fiqh Al Akbar
Menurut Abu Hanifah hukum Islam yang dikenal dengan istilah fiqh terbagi menjadi dua yaitu fiqh al akbar (pokok-pokok agama) dan fiqh al asghar (membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah).
5.   Teologi Islam
Teologi Islam merupakan istilah yang diambil dari bahasa inggris, theology William L Reese mendefinisikan dengan “discourse or concerning” (diskursus/pemikiran tentang Tuhan). Ilmu kalam disebut juga Ilmu Teologi karena Teologi membicarakan zat Tuhan dari segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta karena teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat luas maka bila di pautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan Ilmu Kalam di sebut pula ilmu jaddal (debat) ilmu aqoid.
 
C.     Ruang Lingkup Ilmu Kalam
Masalah yang dibahas dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai adanya Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari kiyamat, Qadha’ dan Qadar, Akhirat, akal dan wahyu, surga , neraka, dosa besar, dan masalah iman dan kafir. yang diperkuat dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari aqidah yang menyimpang.
Jika digolongkan, maka ruang lingkup Ilmu Kalam terbagi dalam 3 aspek, yakni ;
1.   Ilahiyyaat yaitu masalah ketuhanan
a.    Masalah ketuhanan membicarakan masalah :
b.   Dzat Tuhan
c.    Nama dan sifat Tuhan
d.   Perbuatan Tuhan.
2.   An Nubuwwaat  yaitu masalah kenabiyan
a.    Masalah kenabian membicarakan :
b.   Kemukjizatan nabi-nabi
c.    Nabi-nabi terakhir
3.   As sam’iyyaat  yaitu hal-hal yang tak mungkin kita ketahui melainkan ada informasi dari nabi, yaitu berbicara masalah wahyu. Masalah sam’iyyaat meliputi antara lain :
a.    Masalah azab kubur
b.   Neraka
c.    Surga

D.    Fungsi Ilmu Kalam
1.   Untuk menolak aqidah yang sesat
Berusaha menghindari tantangan-tantangan dengan cara memberikan penjelasan duduk perkaranya timbul pertentangan itu, selanjutnya membuat suatu garis kritik sehat berdasarkan logika. Dengan ilmu kalam bias memulihkan kembali ke jalan yang murni, pembaharuan dan perbaikan terhadap ajaran-ajaran yang sesat.
2.   Memperkuat, membela dan menjelaskan aqidah islam.
Dengan adanya ilmu kalam bisa menjelaskan, memperkuat dan membelanya dari berbagai penyimpangan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.

E.     Peranan Dalil dalam Ilmu Kalam
Pembahasan ilmu kalam selalu berdasarkan/bersumber pada dua dalil yaitu dalil naqli (Al Qur’an dan hadits) dan dalil aqli (dalil fikiran).
1.    Naqli
Dalil-dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadis.
Sebagai sumber Ilmu Kalam, Al Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya ;
a.    Q.S. Asy-Syura(42):7. ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menyerupai apapun.
b.   Al-Furqan(25):59. ayat ini menunjukkan bahwa Allah bertahta diatas Arsy. Ia
c.    Q.S. Al-Fath. (48):10. ayat ini menunjukkan Allah mempunyai tangan yang selalu berada diatas tangan-tangan manusia.
d.   Q.S. Thaha(20):39. ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai mata yang selalu digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluknya.
e.    Q.S. Ar-Rahman(55):27. ayat ini menunjukkan bahwa Allah mempunyai wajah yang tidak mengalami kerusakan.
2.   Aqli
Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, di antaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:
a.    Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang.
b.   Akal adalah insting yang diciptakan Allah kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia.
Ajaran islam mendorong penggunaan akal untuk digunakan dalam kaitanya dengan hal yang bersifat positif/ baik, seperti Allah menciptakanya untuk manusia. Beberapa dalil yang menjadi dasar pengggunaan akal adalah
a.    Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.
...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS. Shaad: 43)
b.   Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah.
Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya. Sabda Nabi,
Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)."
c.    Allah mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.
(#qä9$s%ur öqs9 $¨Zä. ßìyJó¡nS ÷rr& ã@É)÷ètR $tB $¨Zä. þÎû É=»ptõ¾r& ÎŽÏè¡¡9$# ÇÊÉÈ  
“ dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. Al-Mulk: 10)
d.   Adanya ungkapan dalam Al Qur’an yang mendorong penggunaan akal.
Ungkapan Al Qur’an tersebut misalnya,  tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna Al Qur’ana” (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan Al Qur’an) dan lainnya.
e.    Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz  
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah ; 11)
f.     Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.
Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah, sedang taqlid menerima apa adanya tanpa mengetahui dasar dan latar belakangnya. QS. Al-Baqarah: 170)
#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& šc%x. öNèdät!$t/#uä Ÿw šcqè=É)÷ètƒ $\«øx© Ÿwur tbrßtGôgtƒ ÇÊÐÉÈ  
“ dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
 
 
 
F.     Hubungan Ilmu Kalam dengan Ilmu Lain
1.   Persamaan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat
Ilmu Kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapnya. Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas tentang masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia atau tentang Tuhan. Sementara itu Tasawuf dengan metodenya yang tipikal berusah menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan kebenaran spiritual menuju Tuhan.
2.   Perbedaan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat
Perbedaan diantara ketiga Ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika disamping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk empertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai apologinya. Ilmu Kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional, sebagian ilmuan berpendapat bahwa ilmu ini keyakinan-keyakinan kebenaran agama, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementara itu filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional, metode yang digunakanpun adalah metode rasional. Filsafatmenghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikat oleh iketan apapun, kecuali oleh ikatan tanganya sendiri bernama logika.
Adapun ilmu tasawuf aedalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh oleh rasa, ilmu tasawuf bersifat sanagt subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang.










































BAB II
SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN ILMU KALAM

A.     Akidah pada Masa Nabi Muhammad SAW
Masa Rasulullah saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip kesatuan umatdan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan langsung kepada Rasulullah saw sehingga berhasil menghilangkan perpecahan antara ummatnya. Masing-masing pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil, sebagaimana telah terjadi dlam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak kaum muslimin untuk mentaati Allah swt dan RasulNya serta menghindari dari perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam QS. al-Anfal ; 46, yang artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”.   
Dan QS. Al-Maidah ; 15, yang artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur)”.
Pengalaman pahit orang Kristen menjadi bukti karena perpecahan membuat mereka hancur. Mereka melupakan perjanjian Allah swt akan beriman teguh, sehingga Allah menumbuhkan rasa permusuhan dalam dada mereka yang mengakibatkan timbulnya golongan yang saling bertengkar dan bercerai berai seperti golongan Nasturiyah, Ya’kubiyah dan Mulkaniah.
Perbedaan pendapat memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam maslah aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka. Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam QS. An-Nahl ; 125, yang artinya:  Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. Dengan demikian Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.

B.     Akidah pada Masa Sahabat
Masa permulaan khalifah Islam khususnya khalifah pertama dan kedua, Ilmu Tauhid masih tetap seperti masa Rasulullah SAW,. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak sempat membahas dasar-dasar aqidah dimaksud. Waktu semuanya tersita untuk menghadapi musuh, mempererat persatuan dan kesatuan umat.
Kaum muslimin tidak mempersoalkan bidang aqidah, mereka membaca dan memahami Al Quran tanpa takwil, mengimani dan mengamalkannya menurut apa adanya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat segera mereka imani dan menyerahkan pentakwilannya kepada Allah swt sendiri.
Masa kha;ifah ke tiga, Usman bin Affan, mulai timbul kekacauan yang berbau politik dan fitnah, sehingga Usman sendiri terbunuh. Usman Islam pecah berpuak-puak dengan pandangan sendiri. Untuk mendukung pandangan mereka tanpa segan mereka menakwilkan ayat-ayat suci dan Hadits Rasulullah SAW. Malahan ada diantara mereka menciptakan hadits-hadits palsu.
Sejarah mencatat bahwa ketika Rasulullah SAW wafat, orang begitu sibuk mencari pengganti beliau sebagai pemimpin pemerintahan (sebagai Nabi dan Rasul tentu saja tidak bisa digantikan). Kesibukan dan pencurahan perhatian mencari khalifah (pengganti) Muhammad itu sedemikian rupa sehingga melalaikan mereka dari pemakaman Rasul sendiri. Hal ini disebabkan karena kawasan Islam pada saat itu sudah cukup luas, meliputi seluruh jazirah Arabia dan telah memperlihatkan potensi pengembangan yang lebih jauh lagi. Maka masalah kepemimpian menjadi sangat penting. Akhirnya Abu Bakar yang terpilih. Meskipun khalifah pertama ini dipilih dengan aklamasi formal, namun pasti ada yang tidak sepenuhnya rela hati.
Pada waktu Abu Bakar meninggal, beliau digantikan oleh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat kreatif dalam mengembangkan hukum maupun tata pemerintahan. Banyak kebijaksanaan Umar yang sesungguhnya kontroversial akan tetapi dengan dukungan wibawanya yang tinggi, orang mengikutinya dengan patuh.
Ketika meninggal, Umar bin Khattab digantikan oleh Utsman bin Affan, seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka, Utsman memiliki kemampuan administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan. Beliau banyak melanjutkan kebijaksanaan Umar namun tanpa wibawa tinggi seperti Umar.
Kelemahan Utsman yang mencolok dan mengakibatkan ketidaksenangan kepada beliau adalah ketidak-mampuan mencegah ambisi di lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada lagi orang-orang yang menggunakan kesempatan untuk mengipas-ngipas guna memperoleh keuntungan pribadi.
Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar bin Khattab, yakni Umar Ibnu Al Ash dengan Abdullah ibnu Sa'd, salah seorang keluarga Utsman, mengakibatkan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan menyerbu Madinah dan berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini dikenal sebagai Al Fitnatul Kubro yang pertama.
Ketika Utsman wafat, musyawarah para pemimpin kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian beliau ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Tholhah dan Zubeir, yang dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah SAW. Penentangan timbul terutama karena Ali dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman. Tentara gabungan pimpinan Tholah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir terbunuh, sedang Aisyah yang tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Tentangan kedua datang dari Mu'awiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman. Dia menuntut Ali agar segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Beberapa waktu kemudian, ketika tuntutannya tidak dipenuhi dia malahan menuduh Ali turut serta dalam pembunuhan tersebut. Apalagi ketika salah seorang pemimpin pemberontakan yaitu Ibnu Abi Bakr, kemudian malahan diangkat sebagai Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi di Shiffin, Ali bin Abi Thalib yang merupakan pemimpin militer yang andal, dapat mendesak tentara Mu'awiyah. Tetapi pada saat kritis itu tangan kanan Mu'awiyah yang bernama Amr ibnu Al As minta berunding dengan mengangkat Kitab Al Qur’an ke atas. Permintaan itu diterima oleh Ali dengan tulus. Maka Amr ibnu Al As sebagai perunding kelompok Mu'awiyah yang seorang ahli diplomasi dapat mengalahkan Abu Musa Al Asy'ari yang mewakili pihak Khalifah Ali di meja perundingan. Peristiwa itu megecewakan sebagian dari pendukung Ali. Mereka sangat menyesalkan kesediaan Ali untuk menyelesaikan perselisihan melalui perundingan.
Kelompok ini kemudian menyatakan memisahkan diri dari Ali bin Abi Thalib dan menamakan dirinya Khawarij (orang yang keluar). Hasil perundingan tersebut jelas merugikan Ali sebagai khalifah yang resmi karena harus mengundurkan diri bersama-sama Mu’awiyah, sedangkan Mu’awiyah sendiri ternyata tidak menepati kesepakatan. Maka beliau tidak mau meletakkan jabatan dan menghadapi dua front, yakni Mu'awiyah di satu pihak dan Khawarij di pihak lain. Tentara Ali menghadapi Khawarij terlebih dahulu dan dapat menghancurkannya.
Namun mereka sudah menjadi lemah dan tidak mampu lagi meneruskan pertempuran dengan Mu'awiyah. Akhirnya beliau bahkan terbunuh pada tahun 661 M oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Abdurrahman bin Muljam. (Peristiwa ini dikenal dengan istilah  Al Fitnatul Kubro yang kedua).

C.     Faktor-faktor Timbulnya Aliran-Aliran Ilmu Kalam
1.   Faktor dari dalam (intern)
a.  Adanya pemahaman dalam islam yang berbeda.
Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al Qur’an, sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.
b. Adanya pemahaman ayat Al Qur’an yang berbeda.
Para pemimpin aliran pada waktu itu dalam mengambil dalil Al Qur’an beristinbat menurut pemahaman masing-masing
c.  Adanya penyerapan tentang hadis yang berbeda.
Penyerapan hadist berbeda, ketika para sahabat menerima berita dari para perawinya dari aspek “matan” ada yang disebut hadist riwayah (asli dari Rasul) dan diroyah (redaksinya disusun oleh para sahabat), ada pula yang di pengaruhi oleh hadist (isra’iliyah), yaitu: hadist yang disusun oleh orang-orang yahudi dalam rangka mengacaukan islam.
d. Adanya kepentingan kelompok atau golongan
Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab timbulnya suatu aliran, sangat jelas, dimana syiah sangat berlebihan dalam mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan khawarij sebagai kelompokyang sebaliknya.
e.  Mengedepankan akal
Dalam hal ini, akal di gunakan setiap keterkaitan dengan kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran Mu’tazilah.
f.   Adanya kepentingan politik
Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada zaman Ustman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan.
g.  Adanya beda dalam kebudayaan
Orang islam masih mewarisi yang di lakukan oleh bangsa quraish di masa jahiliyah. Seperti menghalalkan kawin kontrak yang hal itu sebenarnya sudah di larang sejak zaman Rasulullah. Kemudian muncul lagi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib oleh aliran Syi’ah.
2.   Faktor dari luar (ekstern)
a.    Banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragam yahudi, masehi dan lain-lain, setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh Islam , mereka mulai mengingat-ingat agama mereka yang dulu dan dimasukkannya dalam ajaran-ajaran Islam.
b.   Golongan Islam yang dulu, terutama golongan mu’tazilah memusatkan perhatiannya untuk penyiaran agama Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam. mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawanya kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta dalil-dalilnya. sehingga kaum muslimin memakai filsafat untuk menghadapi musuh-musuhnya.
c.              Para mutakallimin ingin mrngimbangi lawan-lawanya yang menggunakan filsafat , dengan mempelajari logika dan filsafat dari segi ketuhanan.








































BAB III
PERKEMBANGAN ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM

A.       Aliran Mu’tazilah
1.Definisi
Secara etimologi, Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan. Sedang dalam pengertian terminology,  para ulama
mendefinisikannya sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
2.     Sejarah Munculnya Mu'tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal menurut persangkaan mereka, maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil.
Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini.
3.     Sebab penamaannya
Para Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
a.     Berpendapat bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry, lalu berkata:wahai imam agama...telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan, sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam hal itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan Mu'tazilah.
b.    Berpendapat bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada Utsman Ath Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para pengikutnya, mereka dinamakan demikian karena mereka memisahkan diri dari Al Jamaah setelah wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajlis sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya: merekalah Mu'tazilah.
4.    Perkembangannya
Mu'tazilah berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan bahwa akal adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya tahun 105 atau 110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan Waashil bin Atho' Al Ghozali. Kelompok atau sekte ini berkembang dan terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat aliran pemikiran Jahmiyah, kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah dan Baghdad.
Aliran Mu’tazilah mengalami kejayaan semasa Kekhalifahan Abbasiyah dipegang oleh al-Ma’mun, al-Mu;tazim dan al-Watsiq. Mu’tazilah telah menyumbangkan banyak jasa terhadap dunia Islam, terutama di bidang teologi dan cara-cara berfikir sistematis. Satu faktor yang membuat mereka mampu menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian mereka terpecah menjadi dua cabang :
a.    Cabang Bashroh, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang lain-lainnya.
b.    Cabang Baghdad, yang terwakili oleh tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka'by dan yang lain-lainnya.
Walaupun mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran dan kegagalan.
Hal ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber metodologi pemikiran mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat Yunani yang dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.
5.    Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut :
a.    At-Tauhid
At-Tauhid adalah prinsip dan dasar pertama dan yang paling utama dalam aqidah islam. Dengan demikian prinsip ini bukan hanya milik mu’tazilah, melainkan milik semua umat islam. Akan tetapi mu’tazilah lebih mengkhususkannya lagi kedalam empat beberapa pendapat diantaranya
1)    Menafikan sifat-sifat Allah.
Dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan sifatnya.
2)    Al-Qur’an adalah Makhluk.
Dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala sesuatu selain Allah itu adalah makhluk.
3)    Allah tidak dapat dilihat dengan mata.
Karena Allah adalah dzat yang ghaib, dan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata akan tetapi kita harus meyakininya dengan keyakinan yang pasti.
4)    Berbeda dengan makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)
b.   Al-‘Adl (keadilan Allah)
Prinsip ini mengajarkan bahwa, Allah tidak menghendaki keburukan bagi hambanya, manusia sendirilah yang menghendaki keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam kedaan fitrah (Suci). Hanya dengan kemampuan yang diberikan tuhanlah, manusia dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan, berarti manusia itu sendirilah yang menghendaki hal tersebut. Dari prinsip inilah, timbul ajaran mu’tazilah yang dikenal dengan nama Al-Shalah Wa Al-Ashlah, artinya allah hany menghendaki sesuatu yang baik, bahkan sesuatu terbaik untuk kemaslahatan manusia.
c.    Al-Wa’du Wal-Wa’id
Wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.
Dalam hal ini allah menjanjikan akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan akan menyiksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan karena Allah tidak akan ingkar terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at atau pertolonagn dihari kiamat. Sebab syafaat bertentangan dengan janji tuhan.
d.   Suatu keadaan di antara dua keadaan (Al Manzila baina manzilatain)
Pendapat ini dikemukakan oleh Washil Bin Atha’ dan merupakan pendapat yang pertama dari aliran mu’tazilah. Menurut ajaran ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertaubat kepada allah SWT maka ia tidaklah mukmin dan tidak pula kafr. Ia berada diantara keduanya. Dikatakan tidak mukmin karena ia melakukan dosa besar dan dikatakan tidak kafir karena ia masi percaya kepada allah dan berpegang teguh pada dua kalimat syahadat. Dengan demikian Washil bin atha’ menyebutnya sebagai orang fasiq.
e.    Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Adapun ”amar ma’ruf” dan ”nahi mungkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, tetapi yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist. Prinsip ini menitik beratkan kepada permasalahan hukum fiqh. Kaum mu’tazilah sangat gigih melaksanakan prinsip ini, bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf dan nahi munkar.
6.    Doktrin-doktrin Mu'tazilah
a.    Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai dzat-Nya.
b.   Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c.    Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
d.   Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
7.    Tokoh Aliran Mu’tazilah
a.    Washil bin Atha’
Pokok-pokok pikiran teologis washil bin atha’ dapat disimpulkan kepada tiga hal yang penting diantaranya : a) tentang seorang muslim yang melakukan dosa besar.b) kekuasaan berbuat atau berkehendak bagi manusia (Free will) c) tentang sifat tuhan.
b.   Abu Huzail Al-Allaf
Beliau merupakan generasi kedua dari aliran mu’tazilah yang menyusun dasar-dasar faham mu’tazilah yang lima (At-Tauhid, Al-‘Adl, Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d, Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain, Amar Makruf dan Nahi munkar).
c.    An-Nazham ( wafat 231 H/ 845 M)
Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
d.    Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.
B.   Aliran Asy’ariyah
1.     Definisi
Asy`ariyah adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Paham Al-Asy’ary mengambil jalan tengah antara golongan yang rasionalis dan golongan textualis yang ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum muslim.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
2.    Sebab-sebab Penamaan
Awalnya Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, Al-Asy`ariy menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah.
Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah SAW. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
3.    Perkembangan Aliran As’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan -manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun dikota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
4.    Pokok Ajaran
a.    Sifat Allah.
Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Tuhan (Wujud, qidam, baqa, wahdania, sama’, basyar, dan lain-lain), sesuai dengan dzat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak menyerupai sufat-sifat makhluk. Tuhan dapat mendengar tetapi tidak seperti kita, mendengar dan seterusnya.
b.    Kekuasaan Tuhan dan Perbuatan Manusia.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.
c.    Melihat Tuhan pada Hari Kiamat.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menuntut cara tertentu dan tidak pula arah tertentu. Al-Maturidi mengatakan juga bahwa manusia dapat melihat Tuhan . Firman Allah dalam QS Al-Qiyamah ayat 22 dan 23: 
d.    Dosa besar
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi dimasukkan-Nya kedalam surga .
5.    Tokoh Aliran As’ariyah
a.    Al-Baqilany ( wafat 403 H / 1013 M )
Namanya Abu Bakkar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ary. Ia seorang yang cerdas otakya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang terkenal adalah “at-Tahmid” (pendahuluan / persiapan).
b.    Al-Juwaini ( 419-478 H/ 1028-1085 M )
Namanya Abu al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai ke negara Bagdad. Ia mengikuti jejaknya Al-Baqilany dan Al-Asy’ary dalam menjujung setinggi-tingginya akal-fikiran, suatu hal yang menjadikan marahnya para ahli-ahli hadist. Akhirnya ia sendiri terpaksa meninggalkan Bagdad menuju Hijaz dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk mengajarkan pelajaran disana. Karena itu ia mendapat gelar “Imam Al-Haramain” ( Imam kedua tanah suci, Makkah dan Madinah ) setelah Nizamul-Mulk memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah Nizamiyah di Nisabur al-Juwaini diminta kembali ke negerinya tersebut untuk memberikan pelajaran disana.
c.    Al-Ghazali ( 450-505 H )
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, sebuah kota di negeri Khurasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini, sedang jabatan yang pernah dipegagnya adalah mengajar di sekolah Nizamiyah Bagdad.
Al-Ghazali adlah salah seorang ahli fikir Islam terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang pernah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi Ulam-ulama Islam, yang karenanya ia mendapatkan julukan “Hujjatul Islam”.
d.    As-Sanusy ( 833-895 H / 1427-14990 )
Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilasam, sebuah kota di Al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya sendiri dan orang-orang lain terkemuka di negaarnya, kemudian ia melanjutkan pelajaranya di kota Al-Jazair pada seorang alim yang bernama Abd. Rahman ats-Tsa’laby. Ulama Maghrib/ Maroko ini  dianggap ia sebagai pembangun Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id) dan ketuhanan (ilmu Tauhid).

C.   Pemikiran Kalam setelah Al Mihnah
Dalam sejarah teologi Islam, al-mihnah mempunyai arti “menguji dan mencoba”. Al Mihnah lebih tepat diartikan sebagai test of faith, yaitu pengujian atas keyakinan tentang kemakhlukan Al Qur’an serta sangsi-sangsi hukum yang diterima sehubungan dengan keyakinan tersebut. Dengan kata lain Al-Mihnah adalah pemeriksaan atau pengadilan terhadap seluruh rakyat, terutama pejabat-pejabat kerajaan dan ulama, khususnya fuqahâ dan ahli hadîts, agar mengakui doktrin khalq al-qur’ân (penciptaan Al Qur’an).
Kebijakan tersebut  mulai diberlakukan sejak tahun-tahun terakhir pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H./ 813-833 M.), al-Mu’tashim (218-227 H./ 833-842 M.) dan al-Watsiq (227-232 H./ 842-847 M.), hingga baru berakhir sesaat setelah Al-Mutawakkil naik tahta, tersebut telah menimbulkan keresahan di masyarakat akibat aksi-aksi teror dan sangsi penyiksaan berat terhadap banyak tokoh Muslim terkemuka.
Bagimana tidak, di belakang para penguasa tersebut, alat-alat kerajaan dan para petinggi hukum senantiasa siap mengemban tugas investigasi, untuk mencari kesalahan mereka yang tidak mau tunduk kepada pemerintah, serta menuntut kelompok yang masih ambivalen (tawaqquf) dalam menyikapi kepercayaan akan doktrin ”Al-Qur’an sebagai satu­ satunya jalan keimanan yang dijamin oleh negara.
Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang, termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits (terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu hadits, sementara ulama yang lain berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah sendiri.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama, dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga Falsafah Islam.
Peristiwa mihna sangat menggoncangkan umat Islam dan baru berakhir setelah al Mutawakkil (memerintah 847-861), menggantikan al Wasiq (memerintahkan 842-847 M). Di masa al Mutawakkil dominasi aliran Mu’tazilah menurun dan semakin menjadi tidak simpatik di mata masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah Mutawakkil membatalkan pemakaian mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan menggantinya dengaan aliran Asy’ariyah.
Akan tetapi meskipun secara definitif telah tersingkir sejak tahun 848 M., Mu’tazilah mampu bangkit lagi pada masa-masa kekuasaan Bani Buwayh (945-1055 M.), yang sukses merebut ibu kota Baghdad dari tangan keluarga Abasiyah. Agaknya tidak terlalu sulit memahami mengapa Mu’tazilah dapat meraih perlindungan politiknya kembali di bawah imperium ini. Sebagaimana pengalaman di masa silam, dimana al-Ma’mun, seorang khalifah Abbasiyah yang menganut paham Mu’tazilah meraih dukungan politis dari kalangan kaum Syi’ah, maka kali ini pun dukungan terhadap Mu’tazilah datang dari keluarga istana Buwayh yang nota-bene menganut paham Syi’ah.
Lagi pula, secara kebetulan, pada periode Buwayh ini, Syi’ah dan Mu’tazilah tengah menghadapi tekanan dan pengucilan oleh kelompok besar Suni-‘Asy’ariyah yang dianut mayoritas umat Islam (al-sawâd al-a’dzam) waktu itu, hingga keduanya menjadi kelompok minoritas yang tidak populer.  Orang-orang Mu’tazilah pun kembali menduduki pos-pos penting dalam kerajaan, seperti Abu Muhammad Abdullah bin Ma’ruf yang menjadi Hakim Agung di Baghdad, dan Abd al-Jabbar Ahmad bin ‘Abd al-Jabbar di wilayah Ray.
Majelis-majelis pengkajian keagamaan yang bercorak rasionalistis semakin semarak pula diselenggarakan. Pada masa Buwayh ini lahir ulama-ulama kenamaan seperti Abubakr al-Ikhsyari (w. 923 M.), dan Abu Husayn al-Khayyath yang dianggap sebagai nara sumber asli untuk mengetahui pendapat atau pemikiran madzhab Mu’tazilah. Di tahun 1055 M. bangsa Turki Saljuk mengusir Buwayh dari keraton Baghdad.
Namun peralihan pemerintahan tidak menggeser kedudukan Mu’tazilah dari lingkaran kekuasaan, khususnya pada masa kesultanan yang pertama, Tughril. Hal ini terjadi karena sang Wazîr (“Perdana Menteri”) yang bernama al-Kunduri masih tergolong penganut setia paham Mu’tazilah. Bahkan atas perintah-perintahnya kala itu banyak pengikut ‘Asy’ariyah ditangkap dan dipenjarakan.
Barulah ketika penguasa Saljuk, Alp Arselan (1069-1072 M.) mengangkat Nizâm al-Mulk, seorang pembela ‘Asy’ariyah yang paling gigih, menggantikan kedudukan al-Kunduri, secara tragis Mu’tazilah tersingkir dari percaturan politik, dan tidak pernah lagi mendapat perlindungan istimewa  dari dinasti-dinasti Islam mana pun. Madzhab teologi yang dahulunya sangat kuat berkat dukungan dari para pemegang kekuasaan ini lambat laun berangsur-angsur lemah dan menderita kemunduran sangat telak seiring dengan hilangnya koneksi politik.
Kendati demikian, kehancuran Mu’tazilah ternyata cuma terbatas pada atributnya sebagai madzhab teologi, sementara semangat dan metoda berfikirnya tidak begitu mudah dipatahkan. Terbukti, pemikir-pemikir Mu’tazilah “angkatan baru” terus bermunculan. Misalnya di abad ke-12, tercatat al-Zamakhsyari (467-538 H./ 1075-1144 M.) pengarang al-Kasysyâf; sebuah tafsîr Mu’taziliy yang sangat berpengaruh dan lama menjadi rujukan golongan Suni.
Memasuki abad ke-20 M. Mu’tazilah seperti menemukan kembali era kebangkitannya. Ajaran-ajarannya ditelaah lagi dengan penuh minat di pusat-pusat kajian keislaman. Sehingga kesalah pahaman terhadap madzhab ini mulai dipandang secara lebih objektif. Kemudian, atas pengaruh dari Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh dua orang pendekar modernisme Islam yang utama, keadaan benar-benar telah mulai berubah.
Perkembangan modernitas dan kemajuan iptek terbukti kondusif dengan Mu’tazilisme ini, meskipun sampai kini tetap saja tidak ada satu orang atau kelompok pun yang mengaku secara formal sebagai penerus aliran teologi itu.











BAB IV
ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA

A.     Aliran Khowarij
1.    Pengertian
Khowarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khowaarij, secara harfiah berarti mereka yang keluar. Istilah khowarij adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam islam yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat di daerah yang kini terletak di bagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang berbeda dari kaum sunni dan syiah. Disebut atau dinamakan khawarij karena keluarnya mereka dari kepemimpinan Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Kebanyakan dari kaum Khawarij adalah Arab dusun yang tinggal di kawasan pegunungan dan karena itu hidup dengan sangat sederhana. Mereka sangat keras hati tetapi amat taat menjalankan agama. Karena pemikirannya yang sederhana, Khawarij mengartikan Al Qur’an benar-benar secara tekstual; tetapi betapapaun beratnya mereka toh melaksanakannya.
Aliran Khawarij  dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657).
2.   Latar Belakang
Khawarij lahir dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim dibawah Al Qur’an”.
Semula Ali ra. tidak menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu lawannya Amru bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu Musa Al Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra. Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum Islam.
Artinya menurut mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh).
Dan sesuai dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil dalam proses Tahkim.
Demikian watak dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama lahirnya kelompok ini. Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja.
Bukan hanya itu, sebenarnya ada kepentingan lain  yang mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu  kecemburuan atas kepemimpinan golongan Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW.
Nama khawarij diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS. An Nisa’ ; 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah ; 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan ridla Allah. Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah” yang merujuk pada “Harurah’ sebuah tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”. Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ hukma illa lillâh”.
3.   Doktrin Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa besar adalah kafir. Kemudian, kaum muslimin yang terlibat dalam perang jamal, yakni perang antara Aisyiah, Thalhah, dan dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dihukumi kafir. Kaum Khawarij memutuskan untuk membunuh mereka berempat tetapi hanya berhasil membunuh Ali. Menurut mereka Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar.
Dalam upaya kafir mengkafirkan ini, terdapat suatu golongan yang menolak ajaran kaum Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan dosa besar. Sehingga mereka membentuk sautu golongan yang menolak ajaran pengkafiran tersebut, golongan ini disebut dengan golangan Murji’ah.
Berikut pokok-pokok doktrin ajaran aliran Khawarij
a.    Setiap ummat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
b.   Membolehkan tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan zalim.
c.    Ada faham bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
d.   Keimanan itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana tercermin di bawah ini :
a.    Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
b.   Dosa dalam pandangan mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum Khawarij.
c.    Khalifah tidak sah, kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
d.   Ketaatan kepada khalifah adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
e.    Mereka menerima Al Qur’an  sebagai salah satu sumber diantara sumber-sumber hukum Islam.
f.     Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
g.    Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
h.   Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
Selain pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang berorientasi pada teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran sebagai berikut :
a.    seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
b.   Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri islam,
c.    Seseorang harus menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
d.   Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka),
e.    Amar ma’ruf nahi munkar,
f.     Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,
g.    Qur’an adalah makhluk,
h.   Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an  yang bersifat mutasyabihat (samar)
Jadi secara umum pokok ajaran aliran Khawarij adalah
a.    Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
b.   Orang-orang yang terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan mambenarkannya – di hukum kafir;
c.    Khalifah harus dipilih langsung oleh rakyat.
d.   Khalifah tidak harus keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah apabila suda memenuhi syarat-syarat.
e.    Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
f.     Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a dianggap telah menyeleweng,
g.    Khalifah Ali dianggap menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
4.   Tokoh
f.     Nafi' bin al-Azraq
5.   Sekte
Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka yang beraneka ragam itu. Asy-syak’ah menyebutkan adanya delapan firqah besar, dan firqah-firqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij lemah, sehingga mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun.
Menurut Prof. Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang terdapat dalam aliran Khawarij, yakni :
a.    Sekte Al-Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari “amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan kuat di lingkungan kaum Khawarij.
Dalam pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak sefaham dengan mereka dan wajib diperangi.
b.   Sekte Al-Ibadiah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M. memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
1)   Orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
2)   Muslim yang melakukan dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar dari Islam.
3)   Harta kekayaan hasil rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
4)   Daerah orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.
B.     Aliran Murji’ah
1.    Pengertian
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).


2.   Latar Belakang
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
3.   Doktrin Ajaran
Doktrin-doktrin aliran Murji’ah bisa diketahui dari makna yang terkandung dalam “murji’ah” dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral” tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan. Menangguhkan berarti menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa, orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka “berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan mukmin.
Menurut  Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah memiliki empat ajaran pokok, yaitu :
a.    Menunda hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b.   Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.    Meletakkan (pentingnya) iman dari amal.
d.   Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4.   Tokoh
a.    Abu Hasan Ash-Shalihi
b.   Yunus bin An-Namiri
c.    Ubaid Al-Muktaib
d.   Ghailan Ad-Dimasyq
e.    Bisyar Al-Marisi
f.     Muhammad bin Karram
5.   Sekte
Kaum Murji’ah pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion, terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan moderat” dan “golongan ekstrim”.
a.    Golongan Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya dosa yang dilakukan.
b.   Golongan Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan, orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah, tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Golongan ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1)   Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
2)   Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan, sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah, yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan.
3)   Yumusiah dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
4)   Hasaniyah, jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir


C.     Aliran Syi’ah
1.    Pengertian
Istilah Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata ini adalah Syī`ī. Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut Ali", yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.  
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib sangat utama di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah.
Secara khusus, Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib, yaitu sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul Bait, adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni. Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur’an , Hadits, mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi) sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
2.   Latar Belakang
Mengenai latar belakng munculnya aliran Syi’ah, terdapat dua pendapat ;
a.    Menurut Abu Zahrah
Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun
b.   Menurut Mongomary Watt
Syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali, kelak  di sebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera setelah kematian Nabi Muhammad, yakni ketika Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pada pertemuan tsaqifah yang diselenggarakan di Dar al-Nadwa, di Madinah. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus jenazah Nabi. Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan usia sebagai syarat penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara historis terdapat sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi pengikut Ali, pada saat itu, merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua yang kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang mengatasnamakan diri mereka sebagai anti depotisme keluarga Umayah, Ali kemudian diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin Affan, telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penolakan Muawiyah, gubernur Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman. Ketegangan antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan terjadinya perang Siffin yang berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap sebagai titik temu penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi Thalib) dengan Muawiyah.
Namun peristiwa itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya membuat umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula dari perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran teologi dalam Islam.
Aliran yang paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes terhadap keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga muncul satu golongan yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal dengan nama Syi’ah, yang dalam perekembangnya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki konsep dan ajaran tersendiri.
Dalam perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syi’ah itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte, namun mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Syi’ah secara menyeluruh.
3.   Doktrin Ajaran
Dalam Syi'ah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin (masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
a.    Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
b.   Al-‘Adl, bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
c.    An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
d.   Al-Imamah, bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian.
e.    Al-Ma'ad, bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah tidak terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2] Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6) :149] Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan segala akibat. Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2]Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6) :149] Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang menentukan segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.
I’tikadnya tentang kenabian ialah:
a.    Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
b.   Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi Muhammad SAW.
c.    Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
d.   Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
e.    Al Qur’an  ialah mukjizat kekal Nabi Muhammad SAW.
4.   Tokoh
a.    Abu Dzar al Ghiffari
b.   Miqad bin Al aswad
c.    Ammar bin Yasir
5.   Sekte
Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:

a.    Dua Belas Imam

Disebut juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka yaitu:
1)      Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)      Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3)      Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4)      Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)      Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6)      Jafar bin Muhammad (703-765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7)      Musa bin Ja'far (745-799), juga dikenal dengan Musa al-Kadzim
8)      Ali bin Musa (765-818), juga dikenal dengan Ali ar-Ridha
9)      Muhammad bin Ali (810-835), juga dikenal dengan Muhammad al-Jawad atau Muhammad at Taqi
10)  Ali bin Muhammad (827-868), juga dikenal dengan Ali al-Hadi
11)  Hasan bin Ali (846-874), juga dikenal dengan Hasan al-Asykari
12)  Muhammad bin Hasan (868-), juga dikenal dengan Muhammad al-Mahdi

b.   Ismailiyah

Disebut juga Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
1)   Ali bin Abi Thalib (600-661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)   Hasan bin Ali (625-669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3)   Husain bin Ali (626-680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4)   Ali bin Husain (658-713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)   Muhammad bin Ali (676-743), juga dikenal dengan Muhammad al-Baqir
6)   Ja'far bin Muhammad bin Ali (703765), juga dikenal dengan Ja'far ash-Shadiq
7)   Ismail bin Ja'far (721755), adalah anak pertama Ja'far ash-Shadiq dan kakak Musa al-Kadzim.

c.    Zaidiyah

Disebut juga Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
1)   Ali bin Abi Thalib (600661), juga dikenal dengan Amirul Mukminin
2)   Hasan bin Ali (625669), juga dikenal dengan Hasan al-Mujtaba
3)   Husain bin Ali (626680), juga dikenal dengan Husain asy-Syahid
4)   Ali bin Husain (658713), juga dikenal dengan Ali Zainal Abidin
5)   Zaid bin Ali (658740), juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain dan saudara tiri Muhammad al-Baq

D.    Aliran Jabariyah
1.    Pengertian
Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa. Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.
Menurut catatan sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.
2.   Latar Belakang
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
3.   Doktrin Ajaran
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
a.   Aliran ekstrim.
Diantara tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Al Qur’an  adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala hal.
Dengan demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah. Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
b.   Aliran Moderat
Menurut Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
Dasar pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al Qur’an diantaranya :
QS. Al-saffat; 96
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
QS. Al Insan; 30
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Selain ayat-ayat Al Qur’an di atas, benih-benih faham Jabariyah juga dapat dilihat dalam beberapa peristiwa sejarah:
a.    Suatu ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b.   Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c.    Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya”. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d.   Adanya paham Jabariyah telah mengemuka kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
4.   Tokoh
a.    Jahm bin Shafwan
b.   Al-Ja’ad Bin Dirham
c.    Husain Bin Muhammad Al Najjar
d.   Dirar Ibn ‘Amr.

E.     Aliran Qadariyah
1.    Pengertian
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan. Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya.
Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.


2.   Latar Belakang
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen, kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah itu tertampung dalam Muktazilah.
3.   Doktrin Ajaran
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang seratus kilogram.
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul Islam, menyebut pokok-pokok ajaran qadariyah sebagai berikut :
a.    Orang yang berdosa besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara kekal.
b.   Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
c.    Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
d.   Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Selanjutnya terlepas apakah paham qadariyah itu di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam Al Qur’an dapat di jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah.
Dalam QS. Al Ra’ad ; 11,  
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka   merobah keadaan diri mereka sendiri”
QS. Al-Kahfi ; 29
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir”.
4.   Tokoh
a.    Ma’bad Al-Juhani
b.   Ghailan al Dimasyqi

F.     Aliran Mu’tazilah
1.    Pengertian
Perkataan Mu’tazilah berasal dari kata “Í’tizal” yang artinya “memisahkan diri”, pada mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Ada beberapa pandangan, mengapa mereka disebut mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang mengasingkan dan memisahkan diri.
Pendapat pertama, pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana mereka menamakan diri dengan Mu’tazilah ketika Hasan bin ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan masjid-masjid. Mereka berkata: “kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.”
Pendapat kedua, pemisahan mereka lebih disebabkan karena perdebatan (i’tizâl kalâmi) mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hassan al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’ yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy.
2.   Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang, namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.
Dari segi geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.
3.   Doktrin Ajaran
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu Huzail al-Allaf :
a.    Al Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:
“Tuhan itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs), bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq yang menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera…tidak dapat dilihat mata kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b.   Al ‘Adl (keadlilan tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
c.    Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
 Al-Wa’du Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d.   Al Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
e.    Amar ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran ; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan.
Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu perlu kekerasan.
Dalam memastikan terlaksananya prinsif ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu cukup, jika tidak cukup maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak cukup maka dengan tangan, bahkan dilaksanakan dengan senjata.
4.   Tokoh
a.    Washil bin Atha’
b.   Abu Huzail Al Allaf
c.    Al Nazzam
d.   Abu Hasyim Al Jubba’i
G.    Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/Sunni
Ahlussunnah berarti penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah mengandung arti “penganut Sunnah (ittikad) nabi dan para sahabat beliau.  Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah munculnya aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.
Tokoh utama yang juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu Al Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur Al Maturidi. Dua tokoh Sunni ini kemudian dalam perkembanganya ajaran mereka menjadi doktrin penting dalam aliran Sunni yakni aliran Asy’ariyah dan aliran Maturidiyah.
Sebagai aliran yang se zaman,  keduanya termasuk dalam aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa dilihat tanpa kaif (cara), had (batas), qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan hal-hal sejenisnya.
1.    Aliran Asy’ariyah
a.   Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
b.   Latar Belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy Syafi'i dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
c.   Doktrin Ajaran
1)   Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Qur’an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2)   Al Qur’an.
Menurutnya, Al Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3)   Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4)   Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu sendiri.
5)   Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
6)   Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya, yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:
1)   Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2)   Al Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3)   Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4)   Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5)   Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan Ahl sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah.
d.   Tokoh
1)   Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
2)   Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
3)   Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
4)   Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
5)   Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
2.   Aliran Maturidiyah
a.   Pengertian
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak rasional-tradisional. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Al Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan Asy'ariyah mengenai kemampuan akal manusia. Aliran ini disebut-sebut memiliki kemiripan dengan Asy'ariyah.
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur Al Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Aliran Maturidiyah digolongkan dalam teologi Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al Qur’an. Dalam menfsirkan Al Qur’an Al Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.
b.   Latar Belakang
Aliran Maturidiyah lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham yang dipegang Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al Maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap mu’tazilah.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat Islam. Al Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.Pemikiran-pemikiran Al Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga aliran Asy'ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy'ariyah. Karena itu, aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan Asy'ariyah”.Namun, keduanya (Maturidi dan Asy'ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah.
c.   Doktrin Ajaran
1)      Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai pembimbing.
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam, yaitu :
a)   Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b)   Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
c)   Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus didasarkan pada wahyu.
2)      Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al Maturidi memakai faham Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
3)      Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak berarti bahwa Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena qudrat tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4)      Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam, dan sebagainya. Al Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada bilangannya yang qadim (taadud al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap adanya sifat Tuhan.
5)      Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan, hal ini diberitakan dalam. QS. Al Qiyamah ayat 22 dan 23 :
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan dunia.
6)      Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara denagn kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al Qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al Qur’an.
7)      Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya,
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8)      Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
9)      Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.

10)  Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al Qur’an surat Al-Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih lanjut Al Maturidi mendasarkan pendapatnya pada QQS. Al Baqarah ; 260,
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan, yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam secara verbal.  
d.   Madzhab Aliran Maturidiyah
1)   Golongan Samarkand.
Golongan ini dalah pengikut Al Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham qadariyah. Maturidi menolak paham-paham mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengambaran Al Qur’an. Mesti diberi arti kiasan (majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan pendapat asy’ary yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
2)  Golongan Buhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al Asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Warson Munawir, Al Munawi Kamus Bahasa Arab. Indonesia, Ponpes Al-Munawir, Yogyakarta, 1984.
Anwar, Rohison dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia. 2001.
Asmuni, Yusran, Ilmu Tauhid,  Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996Nata, Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1995Zainuddin, H, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1992
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Ensiklopedi Islam (S-Z), penerbit PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Penyusun: Dewan Redaksi. buku 5
Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam, (Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Hussain Affandi al-Jisr, al-Hushumul Hamidiyah, Ahmad Nabhan, Surabaya, 1970.
Ibnu Kathir : Malapetaka Bakal Menimpa Menjelang Kiamat; Darul Fajr,
cetakan ke 2 ; 2004 Ustaz Jaafar Salleh : 3 Tokoh Bakal Menakluk Dunia; Pustaka Azhar, 2009
James W. Morris. This is an unrevised, pre-publication version of an article or translation which has subsequently been published, with revisions and corrections as Section II (‘At the End of Time’) in Ibn 'Arabī: The Meccan Revelations (co-author with W. Chittick), New York, Pir Press, 2002
Kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Cetakan I
Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-Izzah, 2002)
Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : Rajawali Pers. 1991.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press
Nata, Abuddin. Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers. 1993.
Prof.Dr H. Mahmud Yunus: Tafsir Quran Karim; Klang Book Centre, 1992 Imam Imam Muslim: Tarjamah Shahih Muslim Jilid IV; CV Asy Syifa Semarang, 1993
Raji Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.
Syech Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Terjemah KH. Firdaus, AN-PN Bulan Bintang, Jakarta Cetakan Pertama, 1963.
Tafsir alqur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Tim Tashih Drs. HA. Hafizh Dasuki, MA dkk
Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)




1 komentar: