BAB I
NAHDLATUL
ULAMA
A.
Arti
Nahdlatul Ulama
Nahdhatul
`Ulama secara epistimologis mempunyai arti “Kebangkitan Ulama” atau “Bangkitnya
Para Ulama” , sebuah organisasi yang didirikan sebagai tempat berhimpun seluruh
Ulama dan umat Islam. Sedangkan menurut istilah Nahdhatul `Ulama adalah
jam`iyah Diniyah yang berhaluan Ahlussunah wal Jama`ah yang didirikan di
Surabaya oleh para ulama pondok pesantren pada tanggal 16 Rajab 1344 H
bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926. Di antara para ulama pendiri
jamiyyah Nahdhatul `Ulama adalah:
1.
KH. Muhammad Hasyim Asy’ari
(Tebuireng Jombang)
2.
KH. Abdul Wahab
Hasbullah (Tambak Beras Jombang)
3. KH. Bisri
Syamsuri (Denanyar Jombang)
4. KH. Raden
Asnawi (Kudus)
5. KH. Makshum
(Lasem)
6. KH. Ridlwan
(Semarang)
7. KH. Nawawi
(Pasuruan)
8. KH. Nahrowi
(Malang)
9. KH. Ridlwan
(Surabaya)
10. KH. Mas
Alwi Abdul Aziz (Surabaya)
11. KH. Abdullah
Ubaid (Surabaya)
12. KH. Abdul
Halim (Cirebon)
13. KH. Ndoro
Munthaha (Bangkalan, Madura)
14. KH. Dahlan
(Kertosono)
15. KH. Abdullah
Faqih (Maskumambang, Dukun, Gresik)
Atas
usul KH. Mas Alwi Abdul Aziz, Jamiyyah yang didirikan oleh ulama Ahlus sunnah
wal jamaah ini diberi nama Nahdhatul Ulama, yang disingkat NU.
Nama ini dipilih dengan beberapa alasan, antara lain:
1.
Nahdhatul `Ulama
berarti “kebangkitan para ulama”
2.
Istilah “kebangkitan”
mengandung arti yang lebih aktif dari pada “Pwerkumpulan” atau “perhimpunan”.
3.
Yang bangkit dan
diajak untuk selalu bangkit adalah para ulama. Mereka adalah panutan ummat,
sehingga dengan kebangkitan ulama ummatpun akan mengikutinya.
4.
Dengan kebangkitan
yang dipimpin oleh para ulama, maka arah kebangkitan jelas untuk kejayaan islam
dan kaum muslimin.
B.
Arti
Lambang Nahdlatul Ulama
Setiap
organisasi atau perkumpulan pasti mempnyai lambang sebagai simbul yang
menggambarkan asas (dasar), tujuan dan cita-cita dari organisasi tersebut.
Nahdhatul Ulama sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan juga memiliki
lambang yang ditetapkan sejak awal berdirinya.
Lambang Nahdhatul `Ulama dicptakan oleh
KH. Ridlwan Abdullah, seorang ulama yang mempunyai keahlian dalam bidang seni
lukis dan kaligrafi. Sudah menjadi kebiasaan para ulama bahwa untuk mewujudkan
harapannya, selalu diawali dengan istikharah. Demikianlah yang dilakukan oleh KH.
Ridlwan Abdullah ketika diminta untuk menciptakan lambang Nahdhatul `Ulama
(NU). Sehingga lambang Nahdhatul `Ulama (NU) bukan sekedar hasil perenungan,
namun lebih dari itu adalah hasil istikharah dari penciptanya.
Lambang
Nahdhatul `Ulama terdiri atas gambar bola dunia yang dilingkari tali tersimpul,
dan dikitari oleh sembilan bintang. Lima bintang terletak melingkar dai atas
garis katulistiwa yang terbesar di antaranya terletak ditengah atas. Sedangkan
empat bintang lainnya terletak melingkar dibawah katulistiwa. Nama Nahdhatul
`Ulama ditulis dalam huruf arab yang melintang dari sebelah kanan bola dunia
kesebelah kiri. Semua terlukis dengan warna putih di atas dasar hijau.
Adapun
arti dan maksud dari lambang Nahdlatul Ulama adalah:
1. Gambar
Bola Dunia : Melambangkan bumi tempat kita hidup, berjuang dan beramal didunia
ini. Di samping itu, mengingatkan bahwa asal mula kejadian manusia adalah dari
tanah dan akan kembali ketanah.
2. Gambar
Peta : yang tampak pada bola dunia adalah peta Indonesia yang melambangkan
bahwa Nahdlatul Ulama didirikan di Indonesia dan berjuang untuk kejayaan Negara
Republik Indonesia.
3. Gambar
tali bersimpul: melambangkan persatuan yang kokoh dan ikatan dibawahnya berarti
hubungan antara sesama manusia (hamlum minan nas) dan antara manusia dengan
Tuhan (Hablum minallah). Sedangkan jumlah untaian talinya sebanyak 99 buah yang
melamangkan Asmaul Husna.
4. Gambar
bintang besar di atas garis katulistiwa melambangkan kepemimpinan Nabi Muhammad
s.a.w. Sedangkan empat bintang lainnya melambangkan kepemimpinan KH.ulafaur
Rasyidin. Adapun empat bintang dibawah garis katulistiwa melambangkan madzhab
empat, yaitu (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali). Jumlah bintang seluruhnya
ada sembilan buah yang melambangkan wali songo sebagai tokoh penyebar agama
islam di pulau Jawa.
5. Tulisan Huruf Arab “Nahdlatul Ulama” :
menunjukkan nama organisasi yang berarti “Kebangkitan Ulama”.
6. Warna
Dasar Hijau: melambangkan Kesuburan
tanah air Indonesia, sedangkan warna gambar dan tulisan putih melambangkan
kesucian.
Dari uraian arti lambang tersebut di
atas, dapat diketahui bahwa Nahdlatul Ulama merupakan organisasi keagamaan
islam (jamiyyah diniyah islamiyah) yang selalu setia mengikuti ajaran Nabi
Muhammad s.a.w. para sahabatnya dan menganut salah satu dari madzhab empat. Di
samping itu Nahdlatul Ulama didirikan sebagai lanjutan dari perjuangan wali
songo dalam menyebarkan ajaran islam di Indonesia.
C.
Tujuan Nahdlatul
Ulama
Tujuan merupakan bagian
yang terpenting dalam suatu organisasi. Karena itu tujuan organisasi harus
dirumuskan dengan jelas, sehingga tidak terjadi penyimpangan dari kehendak dan
cita-cita yang telah ditetapkan oleh para pendiri (muassis) nya.
Sesuai
sifat dasarnya sebagai jamiyyah diniyah ijtimaiyah yang berhaluan Ahlus sunnah
wal jamaah, Nahdlatul Ulama senantiasa menyesuaikan diri dengan tuntutan
perkembangan zaman, namun tetap berada dalam jalur yang digariskan oleh Khittah
Nahdliyah. Adapun tujuan Nahdlatul Ulama adalah berlakunya ajaran Islam yang
menganut faham Ahlus sunah wal jamaah dan menurut salah satu dari madzhab empat
untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan demi
kemaslahatan dan kesejahteraan umat.
Dari
rumusan tersebut di atas, maka Nahdlatul Ulama sebagai jamiyyah diniyah
ijtimaiyah mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Terwujudnya
kesejahteraan kehidupan masyarakat
2. Terwujudnya
penegakan keadilan
3. Terwujudnya
system demokrasi yang berakhlakul karimah.
D.
Usaha-usaha
Nahdlatul
Ulama
Untuk
mewujudkan tujuannya, Nahdlatul Ulama (NU) melaksanakan
usaha-usaha sebagai berikut:
1. Di
bidang agama, mengusahakan terlaksananya ajaran islam menurut faham Ahlussunah
wal Jama`ah dalam masyarakat dengan melaksanakan dakwah islamiyah dan amar
ma`ruf nahi munkar serta meningkatkan ukhuwwah islamiyah.
2. Di
dalam bidang pendidikan, pengajaran dan kebudayaan, mengusahakan terwujudnya
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran serta pengembangan kebudayaan yang
sesuai dengan ajaran Islam untuk membina umat agar menjadi muslim yang
bertaqwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas dan terampil, serta berguna bagi
agama, bangsa dan negara.
3. Di
dalam bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan
mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil
pembangunan, dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan.
4. Di
dalam bidang sosial, mengupayakan tertwujudnya kesejahteraan lahir dan batin
bagi rakyat Indonesia.
5. Mengembangkan
usaha-usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat banyak guna terwujudnya Khaira
Ummah.
Semua
kegiatan
dan usaha yang diperjuangkan oleh Nahdlatul Ulama yang tersebut di atas, bukan
semata-mata untuk kepentingan warga NU. Akan tetapi untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang sejahtera.
LATIHAN
SOAL
A. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah
ini dengan memilih jawaban A,B,C atau D dengan jawaban yang baik dan benar!
1.
Secara epistimologis
Nahdlatul Ulama mempunyai arti............
a. Ulama Bangkit c. Kebangkitan Ulama
b. Para Ulama d. Kebangkitan
2.
Dibawah ini adalah salah satu
tokoh yang mengusulkan Jamiyyah yang didirikan oleh ulama Ahlus sunnah wal
jamaah ini diberi nama Nahdhatul Ulama, yang
disingkat NU adalah..........
a. KH. Nawawi c. KH. Hasyim Asy’ari
b. KH. Mas Alwi Abdul Aziz d. KH. Ridlwan
3.
Mengupayakan
tertwujudnya kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Indonesia merupakan
salah satu usaha-usaha Nahdlatul Ulama dalam bidang.........
a.
Keagamaan c. pendidikan
b.
Budaya d. Sosial
4.
Gambar bintang besar
di atas garis katulistiwa dalam lambang Nahdlatul Ulama adalah melambangkan
kepemimpinan................
a.
Nabi Muhammad c. Khulafaur rashidin
b.
Wali songo d.
Ulama
5.
Pencipta lambang
Nahdlatul Ulama adalah............
a. KH. Ridlwan c. KH. Nawawi
b. KH. Wahab Hasbullah d. KH. Makhsum
6.
Nahdlatul Ulama adalah organisasi sosial keagamaan
yang berfaham.............
a.
Mu’tazilah c. As’ariyah
b.
Ahlusunnah Wal jamaah d. Almaturidiyah
7.
Pada tanggal 31 Januari 1926 Komite Hijaz
bersidang dengan keputusan mengukuhkan komite hijaz untuk membentuk organisasi.......
a.
Nahdlatul Ulama c.
Komite hijaz
b.
Tafwirul afkar d.
Pemuda
8.
”Habluminallah wa habluminannas” adalah salah satu
makna yang terdapat dalam lambang NU yaitu berupa …..
a.
lima bintang di atas garis katulistiwa
b.
tali yang mengitari bola dunia
c.
bola dunia
d.
tali yang tersimpul
9.
“ Manusia dari tanah dan akan kembali ke tanah ”,
dalam Lambang NU disimbulka berupa................
a.
Lima bintang di atas garis khatulistiwa
b.
tali yang mengitari bola dunia
c.
tali yang tersimpul
d.
Gambar Bola Dunia
10. 1. KH.
Abdurrahman Wahid
2.
KH. Bisri Syamsuri
3.
KH. Hasyim Muzadi
4.
KH. Asnawi Kudus
5.
KH. Alwi Abdul Aziz
Tokoh-tokoh
pendiri NU ditunjukkan pada nomor......
a. 2,3,4 c. 1,2,3
b. 1,2,5 d. 2,4,5
B. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan
baik dan benar!
1.
Jelaskan arti dari
Nahdlatul Ulama!
2.
Sebutkan
tujuan-tujuan didirikannya Nahdlatul ulama!
3.
Usaha-usaha apa yang
dilakukan oleh Nahdlatul ulama dalam bidang keagamaan, sosial,dan budaya!
4.
Jelaskan usaha-usaha
Nahdlatul Ulama dalam bidang pendidikan!
5.
Sebutkan tokoh-tokoh
pendiri Nahdlatul Ulama!
Selamat
Mengerjakan
BAB II
PENDIRI
NAHDLATUL ULAMA
A.
Tokoh-tokoh di balik berdirinya Nahdlatul Ulam
KH.
Muhammad Khalil bin KH.
Abdul Lathif bin KH. Hamim bin KH. Abdul Karim bin KH.Muharram bin KH. Asrar
Karamah bin KH. Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid
Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah
atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan
Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah
Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.
KH.
Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jumadil akhir
1235 Hijriah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa
Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur.
Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayahnya sendiri.
Setelah menginjak dewasa beliau ta’lim/belajar diberbagai pondok pesantren.
Sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, KH. Muhammad Kholil
belajar kepada KH. Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa
Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok pesantren Cangaan, Bangil,
Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar
di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada KH. Nur Hasan yang menetap
di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. KH. Nur Hasan ini, sesungguhnya,
masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu
menjadi Santri KH. Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti
Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga
seorang hafiz al-Quran. Beliau mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah
(tujuh cara membaca al-Quran. Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH. Muhammad Kholil
Belajar di Makkah. Di Makkah KH. Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh
Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah
ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh
Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud
asy-Syarwani . Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi
al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Syeikh
Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH. Hasym Asy’ari,
KH. Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya
kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, dan KH. Muhammad Kholil yang Dituakan
dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu
berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Syeikh Muhammad Kholil
bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para
pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka
bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri dan Syeikh
Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon
ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan
Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk
penulisan bahasa Melayu. karena Syeikh Muhammad Kholil cukup lama belajar di
beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Makkah, maka sewaktu pulang dari Makkah,
beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk
mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Syeikh Muhammad
Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1
kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Syeikh Muhammad Kholil
al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan,
kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa
pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang
tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau
dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam,
sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian.
Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Makkah telah berumur lanjut,
tentunya tidak melibatkan diri dalam
medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok
pesantren yang didirikannya. Syeikh Muhammad Kholil sendiri pernah ditahan oleh
penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan
Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh
kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak
sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Syeikh Muhammad Kholil al-Maduri .
Dalam
peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syamsuri,
Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan
semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka
miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan
modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa
difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil
mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib
piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat
konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita bergantian menghantam lawan. Hasilnya
terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang
senjatanya super modern.
Kesaktian
lain dari Mbah KH. Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada
di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau
mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak
terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH.
Ghozi.
Para
santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa.
Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah
bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah KH. Kholil. Dia mengucapkan
terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah
KH. Kholil.
Kedatangan
nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat
pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah.
Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan
membantu si nelayan itu,” papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani
Ngemplak Sleman Jogyakarta.
Di antara sekian banyak murid KH.
Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama
Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren
Tebuireng, Jombang, dan penggagas Nahdhatul Ulama / NU). KH. Abdul Wahhab
Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang) KH. Bisri Syamsuri
(pendiri Pondok-pesantren Denanyar) dan KH. Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren
Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri
Pondok-pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh
Pondok-pesantren Asembagus Situbondo).
1. Geo Sosiologi
Politik
Masa
hidup Kiai Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah.
Tetapi, dengan caranya sendiri Kiai Khalil melakukan perlawanan; pertama,
ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Kiai Khalil
mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan,
tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini
dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya,
salah satu di antaranya: Kiai Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebuireng.
Cara
yang kedua, Kiai Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka,
melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa
ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga
dalam) kepada pejuang, pun Kiai Khalil tidak keberatan pesantrennya dijadikan
tempat persembunyian.
Ketika
pihak penjajah mengetahuinya, Kiai Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang
menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kiai Khalil, malah membuat pusing pihak
Belanda, karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti, seperti
tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya
para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang
datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Kiai Khalil, bahkan banyak
yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak
Belanda dan sekutunya merelakan Kiai Khalil untuk di bebaskan saja.
2. Kiprahnya
Dalam Pembentukan Nahdlatul Ulama
Peran
Kiai Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal
ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari,
menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu
digaris bawahi bahwa Kiai Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh
tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Mengulas kembali ringkasan
sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya
terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret
pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang kiai muda yang cukup ternama pada
waktu itu: Kiai Wahab Hasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama
terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik
mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalm bidang pendidikan dan politik.
Pada
perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah
(organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah
kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kiai Wahab selalu
menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini
tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua
lapisan. Tak terkecuali dari Kiai Hasyim Asy’ari; Kiai yang paling berpengaruh
pada saat itu.
Namun,
Kiai Hasyim, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut.
Terbilang hari dan bulan, Kiai Hasyim melakukan shalat istikharah untuk memohon
petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara
itu, Kiai Khalil, guru Kiai Hasyim, yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam
mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang
santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap
kepadanya.
“Saat
ini, Kiai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.”
Kata Kiai Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kiai.” Jawab Kiai
As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada Kiai Hasyim ayat-ayat
ini:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يَا مُوْسَ(17) قَالَ هِيَ
عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي وَلِيَ فِيْهَا
مَآرِبُ أُخْرَى(18)قَالَ أَلْقِهَا يَا مُوْسَى(19)فَأَلْقَاهَا فَإِذَا هِيَ
حَيَّةٌ تَسْعَى (20) قَالَ
خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيدُهَا سِيرَتَهَا الأُولَى(21) وَاضْمُمْ
يَدَكَ إِلَى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاءَ مِنْ غَيْرِ سُوءٍ آيَةً أُخْرَى(22) لِنُرِيَكَ مِنْ
آيَاتِنَا الْكُبْرَى (23)
” Pesan Kiai Khalil.
As’ad
segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman Kiai Hasyim, dan di situlah berdiri
pesantren yang diasuh oleh Kiai Hasyim. Mendengar ada utusan Kiai Khalil
datang, Kiai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut
benar adanya. “Kiai, saya diutus Kiai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan
tongkat ini kepada Kiai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu,
sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan
penuh perasaan.
“Ada
lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kiai Hasyim.“Ada Kiai,” jawab As’ad.
Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kiai Khalil.
Mendengar
ayat yang dibacakan As’ad, hati Kiai Hasyim tergetar. Matanya menerawang,
terbayang wajah Kiai Khalil yang tua dan bijak. Kiai Hasyim menangkap isyarat,
bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah.
Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan. Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang
diidam idamkankan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad
muncul lagi.
“Kiai,
saya diutus oleh Kiai Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kiai
juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul
husna) setiap waktu,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima
dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah.
Namun, sampai tak lama setelah itu, Kiai Khalil meninggal, dan keinginan untuk
mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud. Baru setahun kemudian, tepatnya
16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun
menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana Kiai Hasyim menangkap
isyarat adanya restu dari Kiai Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat
dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya
dari Kiai Khalil, seorang Kiai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali
Allah.
3. Respon KH M
Khalil Bangkalan terhadap penjajahan Belanda
Madura
adalah benteng pertahanan Islam Indonesia. Dengan pandangan ini, sepatutnya
kita dapat melihat bahwa, di daerah Madura terdapat seorang ulama yang memiliki
kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu dan agama Islam. Sehingga publik
memberikannya julukan Syaikhona. Ialah syaikhona Khalil Bangkalan yang
dimaksudkan.
Kiai
Khalil merupakan tokoh dan pejuang Islam nusantara, yang hidup pada masa
penjajahan kolonial Belanda. Tentu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan
gejolak perjuangan melawan Belanda. Namun demikian, kiai Khalil tidak langsung
terlibat dalam medan pertempuran fisik, melainkan lebih berperan di belakang
layar sebagai tokoh kharismatik yang memiliki daya penggerak massa. Pondok
pesantrennya, bukan hanya sebagai tempat mengajar dan mendidik santri,
melainkan juga sering dijadikan tempat untuk mendiskusikan strategi perjuangan
melawan kolonial Belanda. Bahkan para pejuang dari tanah jawa, kerap menjadikan
pesantren kiai Khalil sebagai tempat penyusunan strategi melawan Belanda,
hingga 20 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI.
Sebagai ulama dan intelektual
nusantara, secara nyata, kiai Khalil menolak bahkan ikut terlibat mendorong
masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara.
4. Metode pengajaran
KH M Khalil Bangkalan
Sebagaimana
metode dan gaya pengajaran gurunya, tuan guru Dawuh, ternyata Khalil Bangkalan
juga melakukan hal yang sama. Cara mengajarnya di sembarang tempat, unik,
kondisional dan spontan. Dalam memberi pelajaran tidak harus dipesantren,
terkadang ketika sedang sambil berjalan dengan santrinya, terkadang sambil di
bawah pohon, dipinggir sungai, di atas bukit.
Namun,
karena KH. Khalil Bangkalan memiliki lembaga pendidikan pondok
pesantren, publik lebih mengenalnya dalam pemberian pelajaran dengan sistem
sorogan, bandongan dan semacamnya.
Model pengajaran KH. Khalil Bangkalan
dapat kita amati dari beberapa cerita karamah yang ditulis Saifur Rahman dan
Mohammad Rifaí, bahkan ketika KH. Khalil Bangkalan terjun dan melihat
masyarakat Bangkalan dan sekitarnya,
kerap memberikan pendidikan kepada para santri dan masyarakat. Model
pembelajarannya lahir dari lingkungan hidup dan alam sekitarnya. Dengan
demikian, proses pembelajaran yang dilakukan kiai Khalil Bangkalan tidak
selamanya menggunakan kitab kuning dan berada di masjid dan surau. Bahkan lebih
dari itu, proses pendidikannya di lakukan di lingkungan nyata yang lebih luas.
Namun yang jelas, model pengajaran dengan uswah hasanah menjadi penghias
model pendidikan ala kiai Khalil Bangkalan.
5. Peta konsep
pemikiran pendidikan KH M Khalil Bangkalan
Kata-kata
peta memiliki makna gambar lukisan, diagram atau bagan. Sedangkan pemikiran
dalam kamus ilmiah lebih menggunakan kata penalaran, yang memiliki makna;
proses pemikiran secara logis untuk menarik kesimpulan dari suatu kenyataan
sebelumnya.
Sehingga
makna dari peta pemikiran di sini adalah, diagram pemikiran logis tentang
pendidikan Islam oleh KH M Khalil Bangkalan. Sebagai salah satu tokoh yang
tidak terbantahkan dalam melakukan penguatan proses islamisasi yang terjadi di
tanah jawa dan Madura. Tentunya dengan mendirikan pondok pesantren kademangan
sebagai tempat penggodokan kader-kader muslim di masanya dan setelahnya, bahkan
sampai saat ini.
Peta Pemikiran kiai M Khalil Bangkalan;
bertumpu pada Al Qur’an dan Al Hadist, dasar paradigmatik keilmuannya ilmu
alat/ ilmu nahwu-sharrof, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu tauhid dan ilmu ahlak,
pesantren dan kaderisasi ulama untuk mencetak intelektual muslim yang bersikap
kritis dan menolak terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, sebagai bukti
imperialisme eropa terhadap nusantara. Ketundukan kepada Allah dan Rasul serta
ketaatan kepada orang tua serta guru, menjadi bagian sikap hidup yang
dipeganginya.
6. Tarekat dan Fiqh
Kiai
Kholil adalah salah satu Kiai yang belajar lebih daripada satu Madzhab saja.
Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab
Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa kehidupan Kiai Kholil, yaitu akhir
abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi
perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah
diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan
lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Kiai
Khalil dalam tarekat, terbukti bahwa Kiai Khalil dikenal pertamakali
dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dab juga memberikan dan mengisi
ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di
sisi lain, Kiai Khalil pun diakui sebagai salah satu Kiai yang dapat
menggabungkan tarekat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua
hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah
satu ulama yang notabene seangkatan dengan Kiai Khalil. Memang, Kiai Khalil
hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan
ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak
terkecuali Kiai Khalil. Namun demikian, perbedaan antara Kiai Khalil dengan
kebanyakan Kiai yang lainnya; bahwa Kiai Khalil tidak sampai mengharamkan atau
pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Kiai
Khalil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (tarekat dan Fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, Kiai
Khalil menundukkan tarekat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat
mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat
juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup
disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara
atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Kiai Khalil
tersebut.
7. Peninggalan
Dalam
bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya
Kiai Khalil; akan tetapi Kiai Khalil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu
yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Kiai Khalil
diantaranya:
Pertama,
Kiai Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai
pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda,
hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan
priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah
pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak
santri Kiai Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kiai
Hasyim (Pendiri Pesantren Tebuireng), Kiai Wahab Hasbullah (Pendiri
Pesantren Tambakberas), Kiai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan
Kiai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Kiai Khalil,
banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu
seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua,
selain
Pesantren yang Kiai Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan
kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi
pemimpin-pemimpin umat.
K.H.
Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang
tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren,
memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kiai Khalil, yang tentu
saja memiliki kesinambungan dengan Kiai Khalil. Beliau wafat pada tanggal 29
Ramadhan 1343 H dalam usia 91 tahun karena usia lanjut. Hampir semua pesantren
di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren K.H.
Muhammad Khalil.
Diantara
peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan atau kitab yang pernah di tulis
oleh K.H. Muhammad Khalil diantaranya adalah:
1)
Kitab silah fi
bayannikah
2)
Kitab al Matnus
Syarif.
3)
Kitab terjemah Alfiyah
4)
Kitab Asmaul Husna
5)
Shalawat kiai Khalil
Bangkalan
6)
Wirid-wirid kiai
Khalil Bangkalan
7)
Lembaran berupa
do’a-doá dan hizib
B. KH. Hasyim Asy’ari
KH.
Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama
(NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri
pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu
pesantren.
Selain
mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri-santri membaca
buku-buku ilmu pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Karya dan jasa Kiai
Hasyim Asy’ari tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara
turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah.
Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang
juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang
(keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
1. Kelahiran Dan Masa Kecil
Tidak
jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa
Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di
Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan
sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Layyinah dan dikaruniai enam anak:
1)
Halimah (Winih)
2)
Muhammad
3)
Leler
4)
Fadli
5)
Arifah
Halimah
kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari,
ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25
tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
1) Nafi’ah
2) Ahmad
Saleh
3) Muhammad
Hasyim
4) Radiyah
5) Hasan
6) Anis
7) Fatonah
8) Maimunah
9) Maksun
10) Nahrowi,
dan
11) Adnan.
Muhammad
Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan
tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH. M. Hasyim
Asy’ari, nampak adanya sebuah isyaroh yang menunjukkan kebesarannya.
diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat
bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan
Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika
melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan
neneknya di Desa Gedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau
mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak diselatan kota
Jomabng dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang
bernama Asy’ariyah. Principle of early learning (sulit tergantikan dari
unsur-unsur asing), mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan
kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga
wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula
nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagimana ayahanda dan bundanya memberikan
bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh
dengan keakraban dan saling membantu.
2. Belajar Pada Keluarga
Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai
pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras
membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima
pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh
Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan
lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat
memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara
autodidak. Ketidak puasannya terdahap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan
akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan
keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni
belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukuan pengembaraanya menuntut ilmu.
3. Mengembara ke Berbagai Pesantren
Dalam
usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad
Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, Khususnya
Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo
di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh
oleh KH. Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai
Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada
cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH. M.
Hasyim Asy’ari
“ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil
bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa
cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli
cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin
istrinya. Setelah melihat kesedihan diwajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim
menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim
benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran,
dan keikhlasan, Akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah
bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah
Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi
santrinya maupun setelah kembali kemasyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti
dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul
Ulama’ (NU) yang dibawa oleh KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok
Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah
sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307
H/1891 M), Akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan,
Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan KH. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan
shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri
tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada
tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah
dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut,
beliau kemudian pergi ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji bersama
istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Makkah beliau juga
memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru
yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya
sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga,
gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim
Asy’ari di tanah suci Makkah. Setelah tujuh bulan bermukim di Makkah, beliau
dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh
buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia.
empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu
berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal
sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati
beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak
pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia
berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai Akhirnya, beliau
meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.
4. Kematangan Ilmu di Tanah Suci
Kerinduan
akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Makkah.
Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik
kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala
kaki beliau kembali menginjak tanah suci Makkah. Namun hal itu justru
membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu
pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput
dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua
Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di
Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang
tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah,
di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas
(dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu
hadits), Syaikh. Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Atib Al-Minang Kabawi (dalam
segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia.
Setelah sekian tahun berada di Makkah, beliau pulang ke tanah air dengan
membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun
manqul, sebagai bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.
5. Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng
Sepulang
dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri,
beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mendiang
kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu
beliau mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat
menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akhirnya, karena
berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim
kembali lagi ke Jombang.
Ketika
telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang
dipilihnya, yaitu sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan
sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanya
besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya. Nama
Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut
ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali
lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang
asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi
dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang Akhirnya
berubah menjadi Tebuireng.
Pada
tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng,
bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda
Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan
dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di
Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi
yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab
shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci
ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari
seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP.
Tebuireng KH. M. Yusuf Hasyim). Pada awalnya santri Pondok Tebuireng yang
pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir
hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang
sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan
Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.
6. Mendirikan Nahdlatul Ulama’
Disamping
aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat
lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di
Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ (kebangkitan ulama)
bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar
lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari
madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam
Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin
Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama
Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar
sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi
(peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan
mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak
mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi
bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan
yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk
mengancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan
syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudombanya antar sesama. Beliau sebagai
orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan
dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari
jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar
yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah
wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang
belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa
pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan
diarahkan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika
memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional.
Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan
Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah
tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu
dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian dianulir dengan
keputusan Muktamar Situbondo yang menghendaki NU sebagai organisasi sosial
keagamaan kembali pada KH.ittahnya.
7. Pejuang Kemerdekaan
Peran KH. M.
Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan
keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat
secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada
tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan
bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada
malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang
kejadian tersebut dan menganalogikan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad
SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
· Kursi
kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
· Harta
benda yang berlimpah-limpah
· Gadis-gadis
tercantik
Akan
tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa
meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan
agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa
taruhannya”. Akhirnya KH. M. Hasyim Asy’ari mengaKH.iri nasehat kepada
santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat
Nabi Muhammad SAW.
Masa-masa
revolusi fisik di Tahun 1940, memang merupakan kurun waktu terberat bagi
beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah
fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga
salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu
itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan
bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad
yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih
dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun
1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian
ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH.M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai
ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu
dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia
pada tahun 1947.
8. Keluarga Dan Sisilah
Hampir
bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M.
Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh
Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10
putra dan putri yaitu:
· Hannah
· Khoiriyah
· Aisyah
· Azzah
· Abdul
Wahid
· Abdul
hakim (Abdul Kholiq)
· Abdul Karim
· Ubaidillah
· Mashurroh
· Muhammad
Yusuf.
Menjelang
akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali dengan Nyai Masruroh,
putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri,
dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
1) Abdul
Qodir
2) Fatimah
3) Chotijah
4) Muhammad
Ya’kub
9. Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan)
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid
(Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas
Karebet/Jaka Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah
(Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI.
10. Wafatnya Sang Tokoh
Pada
Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat
Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada
ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan
didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat.
Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk
berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi
pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat
sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya
Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh
Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar.
Akan
tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian
meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri
tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron
baru menyadari bahwa Kiai Hasyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan
tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada
saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim
yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian
dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama
kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun
dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada
kekasihnya itu. KH. M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25
Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna
Ilaihi Raji’un.
Kepergian
beliau ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat
dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan Khususnya para
santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini
berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar
kepergianya, sahahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat
mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup beliau,
yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder
istirahat”.
11. Karya Kitab Klasik
Peninggalan
lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela
kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan
memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari
sikap dan perilakunya, pemikiranya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang
rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat
disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat
berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis
tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun yang bisa diselamatkan hanya
beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul
Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati,
mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya.
2. Al-Tanbihat
al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi
dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar.
3. Risalah
Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi
salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul
Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang
terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan
Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang
pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul
‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam
pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau’
al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan
hak-hak dalam perkawinan
8.
Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang
berisikan polemic beliau dengan Syaikh. Abdullah bin yasir Pasuruaan.
KH. Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama
besar Indonesia. Beliau lahir pada bulan Maret 1888, di Tambakberas, Jombang,
Jawa Timur dan wafat pada 29 Desember 1971. Beliau merupakan seorang ulama yang
menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagamaan terutama kebebasan berpikir
dan berpendapat. Untuk itu kyai Wahab membentuk kelompok diskusi Tashwirul
Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1941.
Mula-mula kelompok ini
mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang
dibicarakan harus mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu
singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan
pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul
Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang
komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus
jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Karena sifat
rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka
jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda
yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan
dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Wahab bersama KH. Mas
Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan
Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi
inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren
yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah
Kyai Bisri Syamsuri Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji
Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma'shum dan Kyai Cholil Lasem.
Kebebasan
berpikir dan berpendapat yang dipelopori kyai Wahab dengan membentuk Tashwirul
Afkar merupakan warisan terpenting kyai Wahab kepada kaum muslim Indonesia.
Kyai Wahab telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip
kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan
yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi
ruh spiritualisme umat beragama dan kadar keimanan seorang muslim. Dengan
prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum muslim justru akan mampu memecahkan
problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman. Kini, di tengah
nuansa keberagamaan masyarakat yang terjebak pada dogmatisme, kita merindukan
hadirnya kembali sosok kyai Wahab Hasbullah dengan Tashwirul Afkar-nya yang
telah mencerahkan dan mencerdaskan umat dengan prinsip kebebasan berpikirnya.
1.
Pemikir
dan Pejuang
Sepulang
dari
Mekkah, Wahab dinikahkan dengan putri kiai Musa, Maimunah. Setelah menikah,
Wahab menetap di Kertopaten Surabaya serta mulai
aktif di kegiatan kemasyarakatan. Bukan Wahab jika tak gelisah saat melihat
kenyataan sosial waktu itu, apalagi Indonesia dalam "cengkraman"
penjajah Belanda. Kiai Wahab lalu berpikir keras bagaimana caranya
menyumbangkan pikiran untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah, Wahab bersama
Kiai Mas Mansur, kawan mengaji di Mekkah kemudian membentuk kelompok diskusi
Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya (1914)
Awalnya,
kelompok ini hanya mengadakan kegiatan dengan peserta terbatas. Tapi berkat
prinsip kebebasan yang diterapkan dan topik yang dibicarakan menjangkau lingkup
kemasyarakatan, dalam waktu singkat kelompok yang didirikan bersama Mas Mansyur
ini sudah sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Bahkan tak
sedikit tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu di forum ini membicarakan
permasalahan pelik yang dianggap penting (urgen) untuk dibahas.
Selain
membidani lahirnya Tashwirul Afkar, masih bersama Mas Mansur, Wahab menghimpun
ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Dari
organisasi yang memiliki badan hukum 1916 ini, Wahab mendapat restu dari ulama,
di antara adalah kiai M. Bisri Syamsuri Jombang, kiai Abdul Halim Leimunding,
Cirebon, kiai H. Alwi Abdul Aziz, kiai Ma'shum dan kiai Cholil Lasem.
Adapun
untuk menampung aspirasi kalangan pemudanya, disediakan wadah Syubbanul Wathan
(Pemuda Tanah Air) yang didirikan tahun 1924, yang di dalam wadah itu ada nama
Abdullah Ubaid. Organisasi ini, kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda
Ansor yang berdiri tahun 1934. Dalam kelompok ini, Wahab mulai memimpin dan
menggerakkan gelora pemikiran berdasarkan paham agama dan jiwa nasionalisme.
Rupanya, duet Wahab-Mas Mansur tidak sehaluan terus. Akhirnya, retak dan
keduanya pun berpisah. Jika tidak, mungkin "jalan sejarah" ormas
Islam atau lebih besar lagi umat Islam Indonesia akan "berbicara
lain". Tetapi, kemunduran Mas Mansur tak menjadikan Wahab patah arang.
Jiwanya yang bebas, selalu ingin mencari penyelesaian masalah, menjadikan Wahab
melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan keagamaan. Karena itu, saat
kaum pelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club, yang banyak dihadiri kaum
pergerakan, Wahab tak menyia-nyiakan kesempatan. Dari forum inilah, Wahab
akhirnya berkawan akrab dengan Dr. Soetomo.
Sudah
jadi hal umum dan lumrah jika di dalam sebuah organisasi selalu ada gesekan.
Demikian juga dalam Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan, Syubbanul Wathan, maupun
Islam Studie Club solidaritas di mana Wahab berada dalam ruang dan lingkup
organisasi tersebut. Kendati demikian Wahab bersikap terbuka. Setidaknya, di
situlah perjuangan kiai Wahab diasah sehingga tak membuat kiai satu ini
tergilas zaman.
2.
Mendirikan
NU
Tanggal
31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz, di antaranya adalah kiai
Wahab, kiai M. Bisri Syamsuri, kiai Ridwan (Semarang), kiai Haji Raden Asnawi
Kudus, kiai Nawawi Pasuruan, kiai Nachrowi Malang, serta kiai Alwi Abdul Aziz
Surabaya mengadakan urun rembuk. Dari hasil itu, disimpulkan dua hal pokok.
Pertama,
mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk meminta kepada Raja
Saud supaya hukum-hukum menurut mazhab 4; Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali
tetap mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah serta kekuasaan raja.
Kedua,
membentuk jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan
menegakkan syariat Islam yang berhaluan ke salah satu empat mazhab. Adapun nama
"Nahdlatul Ulama" itu merupakan usulan dari KH. Alwi Abdul Aziz. Pada
saat penyusunan kepengurusan, kiai Wahab tak bersedia menduduki jabatan Rois
Akbar. Wahab merasa cukup untuk sebuah jabatan Katib 'Am (Sekretaris Umum)
Syuriah. Sedang jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada KH.
Hasyim Asy'ari, sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo.
Itulah, kiprah Wahab dalam memberi sumbangan saat Nahdlatul Ulama lahir.
Sedang
di masa awal kemerdekaan, Wahab bersama kalangan pergerakan lain, seperti Ki
Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, dan Dr Rajiman Wedyodiningrat duduk dalam
Dewam Pertimbangan Agung, lalu berkali-kali duduk di kursi parlemen sampai
akhir hayatnya pada 1971. Peran cukup menonjol dari kiai Wahab dalam hal ini
sebagai negosiator antara pihak NU dan pemerintah. Sebagai seorang negosiator,
wajar saja jika Wahab kemudian sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi
lainnya.
Gebrakan
lain di tubuh intern NU, ketika bersama-sama tokoh muda lainnya, seperti; kiai
Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai politik untuk
bersaing dengan partai lain, yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang politik.
Usul kiprah NU sebagai partai itu diterima secara bulat dalam Muktamar NU 1952.
Karena
itu, tak lama kemudian dalam Pemilu 1955, NU ikut pemilu dan berhasil mengukir
sejarah. Sebab NU keluar sebagai salah satu partai besar di samping PKI, PNI
dan Masyumi. Memang, Wahab bukan satu-satunya tokoh penting dalam membesarkan
NU, tapi peranan Wahab cukup menonjol. Apalagi, Wahab dikenal kompeten sebagai
pengatur strategi perjuangan NU yang piawai dalam pergolakan, dari pembentukan
MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia),
Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam itu. Di sini, Wahab terlibat
pergumulan dengan tokoh-tokoh, seperti Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno
Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin dan lain-lain.
3.
Membangun
Tradisi Jurnalistik di NU
Apakah
kiprah Wahab cuma sampai di situ? Ternyata tidak! Sebab, bukan sosok kiai Wahab
kalau tak selalu memutar otak, gelisah ketika punya cita-cita brilian namun
belum bisa terwujud. Karena itu, saat NU belum berkiprah di dunia percetakan
dan jurnalistik, kiai Wahab bersama tokoh-tokoh NU lain, membeli sebuah
percetakan, serta gedung untuk dijadikan pusat aktivitas NU, yang terletak di
Jalan Sasak 23 Surabaya.
Dari
gedung ini, dirintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Semua ini semata-mata
dilandasi pemikiran Wahab yang sebenarnya amat sederhana, yaitu bagaimana
menyebarkan gagasan NU agar secara lebih efektif dan efisien bisa diterima
umat, sebab selama itu kiprah dakwah dan penyebaran gagasan dan pemikiran di
tubuh NU hanya dijalankan melalui "dakwah panggung" dan pengajaran di
pesantren-pesantren.
Dari
percetakan itu, dalam waktu berikutnya terbitlah majalah tengah bulanan dengan
nama Suara Nahdlatul Ulama. Hampir selama tujuh tahun, majalah satu ini
dipimpin oleh kiai Wahab. Dari teknis redaksional majalah ini, lalu
disempurnakan kiai Mahfudz Siddiq, menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping
itu, terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Tidak cuma
itu, sebab masih ada Terompet Ansor yang dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah
bahasa Jawa Penggugah, dipimpin kiai Raden Iskandar yang setelah itu digantikan
oleh Saifuddin Zuhri.
Tak
dapat diingkari, dari kiprah beberapa penerbitan di atas kemudian dalam sejarah
dan tradisi kepenulisan di NU, boleh dikata telah melahirkan jurnalis-jurnalis,
seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri serta Mahbub Junaidi. Juga, NU sendiri
memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat.
Karena
itu, sekali lagi, posisi dan peran kiai Wahab dalam NU adalah memegang andil
besar karena meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor;
dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah
di NU, jurnalistik sampai siasat bertempur di "medan perang".
Mungkin benar yang pernah diucapkan
oleh kiai Wahab, yang sampai sekarang masih populer, "Kalau kita mau keras
harus punya keris." Keris dalam hal ini diibaratkan sebagai suatu
kekuatan. Kekuatan di sini, tentu saja tak hanya kekuatan dari segi fisik,
melainkan kekuatan politik, militer dan juga kekuatan mental (batin). Sebab
kita semua tahu, tanpa "kekuatan", apa artinya sebuah cita-cita?
4. Hidup dalam Tiga Zaman
Sebagai seorang kiai yang
multidimensional, kiai Wahab dicatat sempat hidup dalam 3 era, zaman pergerakan
kemerdekaan, zaman sesudah proklamasi kemerdekaan (Orla) dan zaman Orde Baru.
Sepanjang tiga zaman itu, Wahab merasakan bagaimana pahit dan getirnya hidup,
terutama di zaman penjajahan. Toh, Wahab dikenal sebagai seorang kiai yang memiliki
kharisma, namun tidak lepas juga dari ejekan, fitnah dan hinaan. Di samping
itu, tentu saja sanjungan dan kehormatan.
Hampir sepanjang hidup kiai satu ini,
perhatian, pemikiran, harta dan tenaga, sepenuhnya dicurahkan untuk mewujudkan
cita-cita Islam dan bangsa Indonesia ini melalui NU. Tak heran kalau, demi
takjim dan pengabdian penuh itulah, kiai Wahab bahkan tidak pernah absen dalam
Muktamar NU selama 25 kali.
Karena itu, meski sedang sakit, kiai
Wahab masih berkeinginan bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan
berharap besar memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971.
Keinginan itu ternyata dikabulkan Allah. Dan, sekali lagi dalam Muktamar
Surabaya, kiai kondang ini terpilih sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU.
Tetapi,
empat hari kemudian, setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak berjasa dalam
organisasi NU serta terhadap bangsa Indonesia ini, dipanggil Allah, tepat
tanggal 29 Desember 1971. Tentunya, tak ada kata yang pantas untuk melepaskan
kepergian kiai satu ini, selain kesedihan serta rasa kehilangan dan ketakjiman.
Lebih dari itu, yang lebih penting adalah "acuan" bagi umat NU untuk
meneladani kiprah dan perjuangan yang pernah dilakukan dan diukir sepanjang
hidupnya. Sebuah kiprah mulia yang tidak sia-sia untuk diteladani.
KH. Bisyri Syamsuri
dilahirkan di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah pada 28 Dzul Hijjah 1304 bertepatan
dengan 18 September 1886 M. Beliau adalah putra ketiga dari pasangan suami
istri Kyai Syamsuri dan Nyai Mariah. Pada
usia tujuh tahun KH. Bisyri Syamsuri mulai belajar agama secara teratur yang
diawali dengan belajar membaca Al Qur'an secara mujawwad (dengan bacaan tajwid
yang benar) pada Kyai Shaleh di desa Tayu. Pelajaran membaca Al Qur'an ini
ditekuninya sampai beliau berusia sembilan tahun. Kemudian beliau melanjutkan
pelajarannya ke pesantren Kajen. Guru beliau bernama Kyai Abdul Salam, seorang
Huffadz yang juga terkenal penguasaannya di bidang Fiqih. Dibawah bimbingan
ulama ini beliau mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqih, tafsir, dan
hadits.
Pada usia lima belas tahun KH. Bisyri
Syamsuri berpindah pesantren lagi, belajar pada Kyai Khalil di Demangan
Bangkalan. Kemudian pada usia 19 tahun beliau meneruskan pelajarannya ke
pesantren Tebuireng Jombang. Dibawah bimbingan KH. Hasyim Asy'ari beliau mempelajari
berbagai ilmu agama Islam. Kecerdasan dan ketaatan beliau menyebabkan tumbuhnya
hubungan yang sangat erat antara beliau dengan hadratus Syaikh. untuk masa-masa
selanjutnya.
Setelah enam tahun lamanya belajar di
Tebuireng, pada usia 24 tahun beliau berangkat melanjutkan pendidikan ke
Makkah. Beliau bersahabat dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah sejak di pesantren
Kademangan sampai di tanah suci Makkah. Ketika Adik KH. Abdul Wahab Hasbullah
yang bemama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya pada tahun 1914,
KH. Abdul Wahab Hasbullah menjodohkan adiknya dengan KH. Bisyri Syamsuri, dan
pada tahun itu juga beliau pulang ke tanah air.
Kepulangan ke tanah air itu membawa
beliau kepada pilihan untuk kembali ke Tayu atau menetap di Tambakberas. Atas
permintaan keluarga Nur Khadijah, beliau menetap di Tambakberas Jombang.
Setelah dua tahun menetap dan membantu mengajar di Pesantren Tambakberas, pada
tahun 1917 beliau pindah ke desa Denanyar. Di tempat ini beliau bertani sambil
mengajar, yang kemudian berkembang menjadi sebuah pesantren. Semula pesantren
ini hanya mendidik santri laki-laki, tetapi pada tahun 1919 beliau mencoba
membuka pengajaran Khusus bagi para santri wanita. Percobaan ini temyata
mempunyai pengaruh bagi perkembangan pesantren, khususnya di JawaTimur. Karena
sebelumnya memang tidak pernah ada pendidikan khusus untuk santri putri.
KH. Bisyri Syamsuri termasuk salah
seorang ulama yang ikut mengambil bagian dalam kelahiran Nahdlatul Ulama dan
selama hidupnya selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk kebesaran
Nahdlatul Ulama. Beliau juga dikenal sebagai pejuang yang dengan gigih
menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Pada masa perang kemerdekaan beliau
ikut terjun di medan tempur melawan tentara Belanda dan menjabat sebagai ketua Markas
Pertahanan Hizbullah-Sabilillah di Jawa Timur, merangkap sebagai wakil ketua
Markas Ulama Jawa timur yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah.
KH. Bisyri Syamsuri adalah seorang
ulama besar yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati. Meskipun demikian
beliau dikenal sebagai ulama yang teguh pendirian dan memegang prinsip. Dalam
menjalankan tugas beliau selalu istiqamah dan tidak mudah goyah, terutama dalam
memutuskan suatu perkara yang berhubungan dengan syari'at Islam. setiap hukum
suatu persoalan yang sudah Jelas dalilnya dari Al Quran, Hadits, Ijma atau
Qiyas keputusan beliau selalu tegas dan tidak bisa ditawar-tawar.
Di dalam kepengurusan NU semula beliau
menjadi salah seorang a'wan syuriyah. Pada Muktamar NU ke-13 tahun 1950 beliau
diangkat sebagai salah seorang Rais Syuriyah. Kemudian setelah KH. Abdul Wahab
Hasbullah wafat pada tahun 1971 Musyawarah Ulama secara bulat memilih beliau
menjadi Rais Am PBNU sampai beliau wafat pada hari Jum'at 25 April 1980 dalam
usia 94 tahun. Makam beliau berada di komplek Pondok Pesantren Manbaul Maarif
Denanyar Jombang, Jawa Timur.
1.
Perintis Kesetaraan
Gender
Rasanya tidak berlebihan kalau Kyai
Bisri Syamsuri disebut sebagai pejuang kesetaraan gender, khususnya di kalangan
pesantren. Kyai Bisrilah orang pertama yang mendirikan kelas khusus untuk
santri-santri wanita di pesantren yang didirikannya. Walalupun baru diikuti perempuan-perempuan
di desanya.
Di zaman yang masih kental dengan
nilai-nilai patrimonial waktu itu, apa yang dilakukan Kyai Bisri termasuk
kategori “aneh“. Untung sang guru yang sangat dihormatinya, hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari tidak menentang terobosan yang dilakukannya. Kalau saja hadratus
Syaikh melarang, niscaya Kyai Bisri Syamsuri tidak akan melanjutkan langkah
fenomenal yang telah dibuatnya. Hal ini semata-mata karena takdzimnya yang
begitu mendalam kepada sang guru yang selalu dipanggilnya “kyai“.
2.
Ahli dan Pecinta
Fiqh
Karakter sebagai pecinta Fiqh
terbentuk ketika Kyai Bisri nyantri kepada KH Kholil Bangkalan, dan semakin menguat
setelah nyantri di Tebuireng. Kyai Bsiri memang sengaja mendalami pokok-pokok
pengambilan hukum agama dalam fiqh, terutama literatur fiqh lama.
Tidak mengherankan jika Kyai Bisri
begitu kukuh dalam memegangi kaidah-kaidah hukum fiqh, dan begitu teguh dalam
mengkontekstualisasikan fiqh kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik. Walaupun
begitu, Kyai Bisri tidak kaku dan kolot dalam berinteraksi dengan masyarakat.
Hal itu setidaknya terlihat dari upayanya dalam merintis pesantren yang
dibangunnya di Denanyar.
3.
Politisi Tangguh
Persinggungannya dengan politik
praktis diawali ketika bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
mewakili Masyumi, menjadi anggota Dewan Konstituante dan puncaknya ketika
dipercaya menjadi Ketua Majelis Syuro PPP ketika NU secara formal tergabung
dalam partai berlambang ka’bah itu.
Salah satu prestasi yang paling
mengesankan, ketika Kyai Bisri Syamsuri berhasil mendesakkan disyahkannya UU
perkawinan hasil rancangannya bersama-sama ulama NU. Padahal sebelumnya
pemerintah sudah membuat rancangan undang-undang perkawinan ke Dewan Perwakilan
Rakyat.
Kini, masyarakat merindukan kembali
hadirnya seorang “kyai plus“ seperti KH. Bisri Syamsuri. Kapankah kerinduan itu
terobati.
BAB III
KEPENGURUSAN NAHDLATUL ULAMA
A.
Tingkat
Kepengurusan NU
Tingkat kepengurusan dalam organisasi Nahdlatul
Ulama terdiri atas Pengurus Besar (PB) untuk
tingkat pusat, Pengurus Wilayah (PW) untuk tingkat propinsi, Pengurus Cabang
(PC) untuk tingkat Kabupaten/Kota. Pengurus Cabang Istimewa (PCI) untuk tingkat
kepengurusan di luar negeri, Pengurus Wakil Cabang (MWC) untuk tingkat
Kecamatan, Pengurus Ranting (PR) untuk tingkat Desa/Kelurahan dan pengurus anak
ranting (PARNU).
1.
Pengurus
Besar NU (PBNU)
Pengurus besar merupakan kepengurusan organisasi
Nahdlatul Ulama ditingkat pusat dan berkedudukan di Ibu kota negara Republik
Indonesia. Pengurus besar merupakan penanggung jawab kebijaksanaan dalam
pengendalian organisasi dan pelaksanaan keputusan-keputusan muktamar.
2.
Pengurus
Wilayah NU (PWNU)
Pengurus Wilayah adalah kepengurusan ditingkat
Porpinsi yang berkedudukan di Ibu kota Propinsi.
Pengurus
Wilayah dapat dibentuk, jika terdapat sekurang-kurangnya 5 (lima) Cabang, dan
permintaan pembentukannya disampaikan kepada Pengurus Besar disertai keterangan
tentang daerah yang bersangkutan dan jumlah cabangnya, setelah melalui masa
percobaan 3 bulan. Pengesahan Pengurus Wilayah dikeluarkan oleh Pengurus Besar.
Pengurus Wilayah berfungsi sebagai koordinator
cabang-cabang di daerahnya dan sebagai pelaksana kebijakan Pengurus Besar untuk
daerahnya dan keputusan-keputusan Konferensi Wilayah.
3.
Pengurus
Cabang NU (PCNU)
Pengurus
Cabang adalah kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama ditingkat kabupaten/kota
yang berkedudukan ibu kotanya. Sedangkan Pengurus Cabang di luar negeri
kedudukannya ditetapkan oleh pengurus besar. Begitu juga dalam keadaan khusus
Pengurus Besar dapat membentuk Pengurus Cabang di luar ketentuan diatas karena
besarnya penduduk, luasnya daerah, sulitnya komunikasi, atau karena faktor kesejarahan.
Pengurus Cabang dapat dibentuk jika terdapat
sekurang-kurangnya 3 Majelis Wakil Cabang, dan permintaan pembentukannya
disampaikan kepada Pengurus Besar, yang dikuatkan oleh Pengurus Wilayah dengan
masa percobaan selama 3 bulan. Pengesahan susunan Pengurus Cabang dikeluarkan
oleh oleh Pengurus Besar setelah
mendapat persetujuan dari Pengurus Wilayah.
Pengurus Cabang memipin dan mengkoordinir
Majelis Wakil Cabang dan Ranting-ranting di daerahnya dan melaksanakan
kebijakan Pengurus Wilayah dan Pengurus Besar untuk daerahnya serta
keputusan-keputusan Konferensi Cabang.
4.
Pengurus
Cabang Istimewa (PCINU)
Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU adalah
kepengurusan yang berada di luar negeri. Pembentukan Pengurus Cabang Istimewa
(PCI) Nahdlatul Ulama dilakukan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) atas
permohonan sekurang-kurangnya 40 orang anggota.
5.
Pengurus
Majlis Wakil Cabang (MWCNU)
Pengurus
MWC adalah tingkat kepengurusan organisasi
Nahdlatul Ulama ditingkat kecamatan atau daerah yang disamakan dengannya.
Majelis
Wakil Cabang dapat dibentuk jika sekurang-kurangnya terdapat 4 ranting dan
pembentukannya disampaikan kepada Pengurus Wilayah yang dikuatkan oleh Pengurus
Cabang masa percobaan selama 3 bulan.
Pengesahan susunan Pengurus Wakil Cabang dikeluarkan oleh oleh Pengurus Wilayah setelah mendapatkan
persetujuan dari Pengurus Cabang.
Pengurus Majelis Wakil Cabang mengkoordinir
Ranting-ranting di daerahnya dan melaksanakan kebijakan Pengurus Cabang dan serta keputusan-keputusan Konferensi
Majlis Wakil Cabang.
6.
Pengurus
Ranting NU (PRNU)
Pengurus
Ranting ialah tingkat kepengurusan organisasi
Nahdlatul Ulama di tingkat Desa/Kelurahan atau daerah yang disamakan
dengannya. Dan apabila dipandang perlu karena keadaan daerah atau penduduknya,
maka dalah satu desa/kelurahan dapat dibentuk lebih dari satu Ranting.
Pengurus
Ranting dapat dibentuk jika sekurang-kurangnya terdapat 15 anggota. Dan
penetapan pembentukannya disampaikan kepada Pengurus Cabang dengan dikuatkan
oleh Pengurus Wakil Cabang, setelah melalui masa percobaan 3 bulan.
Pengesahan
Susunan Pengurus Ranting dikeluarkan oleh Pengurus Cabang setelah mendapat
persetujuan Pengurus Majelis Wakil Cabang.
Pengurus Ranting memimpin dan membina
anggota-anggota Nahdlatul Ulama di daerahnya dan melaksanakan kebijaksanaan
Pengurus Cabang dan Majelis WakilCabang untuk daerahnya serta
keputusan-keputusan rapat anggota.
7.
Pengurus
Anak Ranting NU (PARNU)
Pengurus Anak Ranting ialah tingkat
kepengurusan organisasi Nahdlatul Ulama di tingkat perdukuhan,lingkungan, majlis
ta’lim.
Pengurus
Anak Ranting Nahdlatul Ulama dapat dibentuk jika sekurang-kurangnya terdapat 25
anggota. Dan penetapan pembentukannya diusulkan oleh anggota melalui Ranting
kepada Pengurus Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama.
Pembentukan
anak ranting Nahdlatul Ulama diputuskan oleh Pengurus Majlis Wakil Cabang
Nahdlatul Ulama melalui rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah.
Pengurus
Majlis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama mengeluarkan Surat Keputusan setelah
melalui percobaan selama 3 (tiga) bulan.
BAB IV
BADAN OTONOM DALAM NAHDLATUL ULAMA
Badan
otonom adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfunsi
melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok
masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan.
Diantara
Badan Otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama adalah sebagai berikut :
1. Muslimat Nahdlatul Ulama (Muslimat NU)
Muslimat
NU lahir pada Muktamar NU ke-15 di Surabaya pada tanggal 15 – 21 Juni 1940
dengan nama Nahdlatul Ulama Muslimat (NUM). Pada wakt itu Muslimat masih
menjadi bagian dari NU dan belum berdiri sendiri.
Baru
pada Muktamar NU ke-16 di Purwokerto, Jawa Tengah, pada tanggal 26 – 29 Maret
1946, NUM disahkan menjadi organisasi yang berdiri sendiri dan menjadi Badan
Otonom (BANOM) Nahdlatul Ulama. Sehingga namanyapun juga berubah menjadi
Muslimat Nahdlatul Ulama disingkat menjadi Muslimat NU.
Muslimat
NU didirikan dengan tujuan :
1)
Terwujudnya
wanita Islam yang bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, beramal, cakap dan
bertanggungjawab serta berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.
2)
Terwujudnya
wanita islam yang sadar akan kewajiban dan haknya menurut ajaran islam, baik
secara pribadi maupun sebagaibagian dari anggota masyarakat.
3)
Terlaksananya tujuan
jamiyyah Nahdlatul Ulama dikalangan kaum wanita, sehingga terwujud masyarakat
adil dan makmur yang merata dan diridlai Allah SWT.
Dalam
usaha mencapai tujuannya, Muslimat NU melakukan serangkaian kegiatan antara
lain:
1) Mempelajari
dan memperdalam serta mengamalkan ajaran islam ala Ahlisunnah Wal Jamaah dengan
sungguh-sungguh dan sebaik-baiknya.
2) Mempersatukan
gerak langkah kaum wanita umumnya dan wanita Nahdlatul Ulama pada Khususnya
dalam menciptakan masyarakat adil makmur yang diridlai Allah SWT.
3) Melaksanakan
nilai-nilai budi pakerti utama dalam kehidupan sehari-hari
4) Meningkatkan
kwalitas (mutu), harkat dan martabat wanita Indonesia umumnya dan Muslimat NU Khususnya,
guna memperkuat tanggungjawab terhadap agama, bangsa dan negara
5) Mengusahakan
agar wanita Indonesia mumnya dan Muslimat NU khususnya menjadi istri-istri dan
ibu-ibu yang baik guna pertumbuhan bangsa yang taat beragama
6) Bergerak
secara aktif dalam lapangan peribadatan, sosial, kesehatan, pendidikan,
penerangan atau da’wah, ekonomi dan usaha-usaha kemasyarakatan lainnya
7) Membina
kerjasama dengan badan-badan dan organisasi wanita serta lembaga-lembaga lain.
Muslimat
NU mempunyai lambang organisasi yang dilukiskan dalam bentuk sebuah Bola Dunia
yang dilingkari tali dikelilingi lima bintang yang terletak di atas garis
katulistiwa dan empat bintang yang terletak di bawah garis katulistiwa.
Sehingga jumlah bintang seluruhnya berjumlah sembilan buah. Di atasnya tertulis
kata “MUSLIMAT”. Sedangkan di ujung tali kiri dan kanan tertulis huruf “NU”. Lambang
Muslimat NU berwarna putih di atas dasar hijau, serta terdapat tulisan
“Nahdlatul Ulama” dengan huruf arab yang memanjang pada garis katulistiwa.
Dalam
organisasi Muslimat NU tingkatan kepemimpinan di atur sebagai berikut:
1. Pimpinan
Pusat (PP) untuk Tingkat Pusat
2. Pimpinan
Wilayah (PW) untuk Tingkat Propinsi
3. Pimpinan
Koordinator Daerah (PKORDA) untuk Tingkat eks Karesidenan
4. Pimpinan
Cabang (PC) untuk Tingkat Kabupaten / Kota
5. Pimpinan
Anak Cabang (PAC) untuk Tingkat Kecamatan
6. Pimpinan
Ranting (PR) untuk Tingkat Kelurahan / Desa
Sedangkan
permusyawaratan dalam Muslimat NU terdiri atas:
1. Kongres
dan Rapat Kerja Nsional, untuk tingkat pusat/nasional
2. Konfrensi
Wilayah dan Rapat Kerja Wilayah, untuk tingkat provinsi
3. Konfrensi
cabang dan rapat kerja cabang, untuk tingkat Kabupaten atau Kota
4. Konfrensi
Anak Cabang dan Rapat Kerja Anak Cabang, untuk tingkat Kecamatan
5. Rapat
Anggota untuk tingkat Desa atau Kelurahan.
Disamping
itu, Muslimat NU juga mempunyai perangkat-perangkat organisasi lain, seperti :
1. Yayasan
Kesejahteraan Muslimat (YKM), yang merupakan sarana organisasi untuk mewujudkan
program-program Muslimat NU dibidang sosial, kesehatan, kependudukan dan
lingkungan hidup
2. Yayasan
Bina Bhakti Wanita (YBBW) yang melaksanakan program Muslimat NU dalam bidang
pendidikan dan didirikan atas kerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja
3. Himpunan
Da’iyah Muslimat NU (HIDMAT NU), yang melaksanakan program Muslimat NU dibidang
da’wah, bekerja sama dengan Nahdlatul Ulama.
Sebagai pedoman berorganisasi,
Muslimat NU selain mempunyai Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga (PDPRT), juga
mempunyai pedoman-pedoman lain dalam bentuk Pola Dasar Pengembangan Perjuangan
Muslimat NU, yang menyangkut keberadaannya sebagai Khalifah fil ardli, sebagai
warga negara Republik Indonesia, maupun sebagai bagian warga nahdliyin.
Beberapa pedoman, peraturan dan ketentuan-ketentuan lain yang ada di organisasi
Muslimat NU, dimungkinkan setiap kali mengalami perubahan dan pengembangan. Hal
ini untuk menyesuaikan dengan tuntutan perjuangan dan perkembangan zaman.
2. Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor)
Gerakan
Pemuda Ansor didirikan pada tanggal 14 Desember 1949 di Surabaya, sebagai
kelanjutan dari “ANSHORU NAHDLATUL ULAMA” (ANU) yang didirikan pada tanggal 24
April 1934.
Jika
ditelusuri, sejarah kelahiran dan perkembangan GP Ansor tidak bisaa dipisahkan
dari sejarah kelahiran Nahdlatul Ulama itu itu sendiri. Pada tahun 1924, di
Surabaya berdiri suatu organisasi pmuda yang diberi nama “SYUBBANUL WATHAN” (Pemuda
Tanah Air) dibawah pimpinan Abdullah Ubaid. Kegiatan utamanya ialah da’wah
keliling, latihan kepemimpinan dan latihan bela diri.
Pada
tahun 1930, Syubbanul Wathan melebur diri menjadi “NAHDLATUS SYUBBAN” dan pada
tahun 1931 namanya berubah menjadi “PERSATUAN PEMUDA NAHDLATUL ULAMA (PPNU)”.
Setahun kemudian, kata “Persatuan” dihilangkan, menjadi Pemuda Nahdlatul Ulama
(PNU) dan kemudian berubah lagi menjadi ANSORU NAHDLATUL ULAMA (ANU). Baru pada
Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi pada tanggal 21 – 26 April 1934 ANU diterima
menjadi bagian dari jamiiyah NU.
Selama
revolusi fisik, ANU dibekukan. Akan tetapi kemudian muncul ide dari Muhammad
Husaini, seorang tokoh ANU dari surabaya, untuk menghidupkan kembali ANU. Dalam
pertemuan tersebut, dicapai kesepakatan untuk menghidupkan kembali ANU dengan
nama baru yaitu “GERAKAN PEMUDA ANSOR” yang disingkat menjadi GP ANSOR.
Gerakan
Pemuda Ansor didirikan dengan tujuan antara lain:
1. Menyadarkan
para pemuda islam akan kewajibannya memperjuangkan cita-cita islam
2. Meningkatkan
mutu pendidikan dan pengajaran
3. Mempergiat
pendidikan rohani dan jasmani dalam rangka mewujudkan masyarakat islam
4. Membimbing
dan membantu tegaknya Kepanduan Ansor
5. Meningkatkan
kerjasama dengan organisasi pemuda lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri
6. Meningkatkan
berbagai kegiatan-kegiatan olah raga, kesenian dan kemasyarakatan.
Lambang yang dipakai oleh GP Ansor ialah gambar
segi tiga sama sisi dengan garis tebal sebelah luar dan garis tipis sebelah
dalam. Di dalamnya terdapat Bulan sabit dengan sembilan bintang yang
mengelilinginya, satu diantaranya yang terbesar, terletak di atas bulan sabit
dengan lima garis sinar ke atas, tiga ke bawah, dengan tulisan “ANSOR”
dibawahnya, dan gambar tersebut terlukis dengan warna putih di atas dasar warna
hijau :
Susunan
kepengurusan dalam organisasi GP Ansor terdiri atas:
1. Pimpinan
Pusat (PP GP Ansor) di tingkat pusat/nasional
2. Pimpinan
Wilayah (PW GP Ansor) di tingkat Provinsi
3. Pimpinan
Cabang (PC GP Ansor) di tingkat Kabupaten/Kota
4. Pimpinan
Anak Cabang (PAC GP Ansor) di tingkat kecamatan dan
5. Pimpinan
Ranting (PR GP Ansor) di tingkat Desa/Kelurahan.
Didalam
organisasi GP Ansor dikenal istilah-istilah untuk forum-forum permusyawaratan
sebagai berikut :
1. Kongres
untuk tingkat pusat/PP
2. Konferensi,
untuk tingkat PW/Propinsi, PC/Kabupaten/ Kota, PAC/Kecamatan, dan
3. Rapat
Anggota, untuk tingkat PR/Ranting.
Sebagaimana
organisasi yang lain, GP Ansor juga mempunyai perangkat organisasi yang berada
di bawah naungannya. Adapun perangkat organisasi dalam GP Ansor yang terpenting
ialah BANSER, singkatan dari “Barisan Ansor Serbaguna”. Banser merupakan
pasukan yang terlatih yang berfungsi serba guna, terutama dibidang pertahanan
dan keamanan, baik untuk kepentingan GP Ansor sendiri, NU maupun masyarakat
pada umumnya. Banser mulai didirikan pada tahun 1968, bertepatan dengan Kongres
GP Ansor VII di Jakarta.
3. Fatayat Nahdlatul Ulama
Fatayat
NU didirikan pada 7 Rajab 1369 H/ 24 April 1950. Akan tetapi rintisannya
sebenarnya sejak 1940. Diantara tokoh perintisnya adalah : murthasiyah (Surabaya),
KH.uzaimah Mansur (Gresik), dan Aminah (Sidoarjo). Fatayat NU resmi menjadi
Badan Otonom NU setelah disahkan dalam Muktamar NU ke-18, pada tanggal 20 April
– 3 Mei 1950 di Jakarta.
Tujuan
Fatayat NU adalah:
1. Membentuk
pemudi atau wanita muda islam bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,
beramal, cakap, dan bertanggung jawab serta berguna bagi agama, nusa, dan
bangsa.
2. Mewujudkan
rasa kesetiaan terhadap asas, aqidah dan tujuan Nahdlatul Ulama dalam
menegakkan syariat islam.
3. Mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata serta diridlai Allah SWT.
Untuk
mencapai tujuan tersebut di atas, Fatayat NU melakukan serangkaian usaha
sebagai berikut:
1. Menghimpun
dan membina pemudi atau wanita muda islam dalam suatu organisasi.
2. Meningkatkan
mutu pendidikan, pengajaran, ketrampilan dan memperluas ilmu pengetahuan yang
bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.
3. Meningkatkan
peranan wanita Indonesia daam segala bidang kehidupan beragama, bernegara dan
bermasyarakat.
4. Mempertinggi
budi (aKH.lakul karimah) dalam kehidupan sehari-hari.
5. Menjalankan
kegiatan dan menjalin kerjasama yang menunjang syiar islam dan kesejahteraan
masyarakat.
6. Membina
persahabatan dengan organisasi lain, terutama organisasi pemuda dan wanita.
Lambang
Fatayat NU adalah setangkai bunga melati tegak di atas dua helai daun, sebuah
bintang besar dikelilingi delapan bintang kecil dengan dilingkari tali
persatuan. Lambang ini dilukiskan dengan warna putih di atas dasar hijau.
Kepengurusan Fatayat NU terdiri atas Pucuk Pimpinan (PP), Pimpinan Wilayah (PW),
Pimpinan Cabang (PC), Pimpinan Anak Cabang (PAC), Pimpinan Ranting (PR).
Kekuasaan tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional
(PP), Konferensi Wilayah pada tingkat wilayah (PW), Konferensi Cabang pada
tingkat cabang (PC), Konferensi Anak Cabang pada tingkat anak cabang (PAC) dan
Rapat Anggota ditingkat Ranting (PR). Sedangkankeanggotaan Fatayat NU terdiri
atas anggota biasa dan anggota luar biasa.
4. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama (disingkat IPNU) adalah badan otonom Nahldlatul Ulama
yang berfungsi untuk membantu melaksanakan kebijakan NU pada segmen pelajar dan
santri putra. IPNU didirikan di Semarang pada tanggal 20 Jumadil AKH.ir 1373 H/
bertepatan dengan tanggal 24 Pebruari 1954, yaitu pada Konferensi besar
(Konbes) LP Ma’arif NU. Pendiri IPNU adalah M. Shufyan Cholil (mahasiswa UGM),
H. Musthafa (Solo), Abdul Ghony Farida (Semarang) dan Thalhah Mansur.
Ketua
Umum Pertama IPNU adalah M. Tholhah Mansoer yang terpilih dalam Konferensi Segi
Lima yang diselenggarakan di Solo pada 30 April-1 Mei 1954 dengan melibatkan
perwakilan dari Yogyakarta, Semarang, Solo, Jombang, dan Kediri.
Pada
tahun 1988, sebagai implikasi dari tekanan rezim Orde Baru, IPNU mengubah
kepanjangannya menjadi Ikatan PelajarNahdlatul Ulama. Sejak saat itu, segmen
garapan IPNU meluas pada komunitas remaja pada umumnya. Pada Kongres XIV di
Surabaya pada tahun 2003, IPNU kembali mengubah kepanjangannya menjadi “Ikatan
Pelajar Nahdlatul Ulama”. Sejak saat itu babak baru IPNU dimulai. Dengan
keputusan itu, IPNU bertekad mengembalikan basisnya di sekolah dan pesantren.
Tujuan IPNU adalah terbentuknya pelajar bangsa yang
bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, beraKH.lak mulia dan berwawasan kebangsaan
serta bertanggungjawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut
faham ahlussunnah wal jama’ah yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut, dilakukan serangkaian usaha, yaitu :
1. Menghimpun
dan membina putra-putra Nahdlatul Ulama dalam satu wadah organisasi
2. Mempersiapkan
kader-kader intelektual sebagai penerus perjuangan bangsa
3. Mengusahakan
tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan perjuangan sesuai dengan
perkembangan masyarakat (maslahah al-ammah), guna terwujudnya KH.aira ummah
4. Mengusahakan
jalinan komunikasi dan kerjasama program dengan pihak lain selama tidak
merugikan organisasi.
Lambang
IPNU berbentuk bulat dengan warna dasar hijau, berlingkar kuning ditepinya
dengan diapit dua lingkaran putih. Dibagian atas tercantum huruf IPNU dengan
titik diantaranya dengan di apit oleh tiga garis lurus pendek yang satu diantaranya
lebih panjang pada bagian kanannya. Semua berwarna putih. Di bawahnya terdapat
bintang sembilan, lima terletak sejajar yang satu diantaranya lebih besar
terletak di tengah dan empat bintang lainnya terletak mengapit membentuk sudut
segitiga. Semua berwarna kuning. Diantara bintang yang mengapit terdapat dua
kitab dan dua bulu angsa bersilang berwarna putih.
Struktur
organisasi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan
tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pimpinan Pusat IPNU (PP IPNU)
2. Pimpinan
IPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPNU (PW IPNU)
3. Pimpinan
IPNU di kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPNU (PC IPNU)
4. Pimpinan
IPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPNU (PAC IPNU)
5. Pimpinan
IPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPNU (PR IPNU)
6. Pimpinan
IPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs,
SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPNU (PK IPNU).
Kekuasaan
tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional, Konferensi
wilayah pada tingkat wilayah, Konferensi Cabang pada tingkat Cabang, Konferensi
Anak Cabang pada tingkat anak cabang dan Rapat Anggota pada tingkat Ranting.
Sedangkan keanggotaan IPNU terdiri atas anggota biasa dan anggota istimewa.
5. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Ikatan Pelajar
Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) adalah salah satu organisasi remaja yang
menghimpun Pelajar Putri NU. Organisasi ini didirikan pada tanggal 8 Rajab 1374
H atau bertepatan dengan tanggal 2 Maret 1955 di Solo, Jawa Tengah. Salah
seorang pendirinya adalah Ny. Umrah Mahfudha. Semula organisasi ini merupakan
bagian dari lembaga pendidikan maarif, tetapi semenjak kongres di Surabaya pada
tahun 1966, IPPNU melepaskan diri dari LP. Maarif dan menjadi salah satu badan
otonom Nahdlatul Ulama.
Sebagai
bagian dari badan otonom Nahdlatul Ulama, IPPNU mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu :
1.
Sebagai wadah
berhimpun Pelajar Putri NU untuk melanjutkan semangat jiwa dan
nilai-nilai ke-NU-an.
2.
Sebagai wadah
komunikasi Pelajar Putri NU untuk menggalang uKH.uwah islamiyah
dan syiar islam.
3.
Sebagai wadah
kaderisasi Pelajar Putri NU untuk mempersiapkan kaderisasi
bangsa.
Dari
ketiga
fungsi di atas, maka tujuan IPPNU adalah :
1. Terbentuknya
kesempurnaan putri Indonesia yang beraKH.lakul karimah, dan bertaqwa kepada
Allah SWT.
2. Tegak
dan berkembangnya syariat islam menurut faham Ahlus-sunnah wal jamaah
3. Terbentuknya
kader bangsa yang berilmu dan berwawasan nasional
4. Terbentuknya
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Untuk
mewujudkan tujuan tersebut di atas, IPPNU melakukan usaha-usaha seperti :
1.
Menghimpun dan
membina Pelajar Putri
islam
dalam wadah organisasi.
2.
Mempersiapkan
kader-kader intelektual sebagai proses perjuangan bangsa.
3.
Mengusahakan
tercapainya tujuan organisasi dengan menyusun landasan perjuangan sesuai dengan
perkembangan masyarakat.
4.
Membina persahabatan
dengan organisasi putri islam pada Khususnya dan organisasi lain pada umumnya
selama tidak merugikan kepentingan organisasi IPPNU.
Lambang
organisasi IPPNU berbentuk segitiga sama kaki dengan ukuran alas sama dengan
tinggi. Warna dasarnya hijau, bergaris dua warna kuning di tepinya. Isi lambang
terdiri atas: Bintang sembilan. Satu diantaranya di tengah, empat buah menurun
di sisi sebelah kiri dan empat buah lainnya di sisi sebelah kanan dan semuanya
berwarna kuning. Di bawah bintang terdapat dua buah kitab dan dua buah bulu
ayam bersilang dengan warna putih. Di bawah blu ayam terdapat tulisan IPPNU
dengan lima titik di antaranya dan dilukis dengan warna putih.
Struktur
organisasi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) terdiri atas :
1. Pimpinan
tertinggi IPNU di ibu kota Negara disebut Pucuk Pimpinan IPPNU (PP IPPNU)
2. Pimpinan
IPPNU di provinsi disebut Pimpinan Wilayah IPPNU (PW IPPNU)
3. Pimpinan
IPPNU di tingkat kabupaten/kota disebut Pimpinan Cabang IPPNU (PC IPPNU)
4. Pimpinan
IPPNU di kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang IPPNU (PAC IPPNU)
5. Pimpinan
IPPNU di desa/kelurahan disebut Pimpinan Ranting IPPNU (PR IPPNU)
6. Pimpinan
IPPNU di Lembaga Pendidikan perguruan tinggi, pondok pesantren, SLTP/MTs,
SLTA/MA dan yang sederajat disebut Pimpinan Komisariat IPPNU (PK IPPNU).
Kekuasaan
tertinggi organisasi dipegang oleh kongres pada tingkat nasional, Konferensi
wilayah pada tingkat wilayah, Konferensi Cabang pada tingkat Cabang, Konferensi
Anak Cabang pada tingkat anak cabang dan Rapat Anggota pada tingkat Ranting.
Sedangkan keanggotaan IPNU terdiri atas anggota biasa dan anggota istimewa.
B.
Badan
Otonom Nahdlatul Ulama yang Berbasis Profesi dan Kekhususan
Diantara
badan otonom yang dimiliki oleh Nahdlatul Ulama dalam bidang yang berbasis
profesi dan kekhususan adalah:
1.
Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh
Al-Mu’tabaroh An-Nahdliyah.
2.
Jam’iyyatul Qurro’ wal
huffadz
3.
Ikatan Sarjana Nahdlatul
Ulama (ISNU)
4.
Serikat Buruh Muslimin
Indonesia (SARBUMUSI)
5.
Pagar Nusa Nahdlatul Ulama
(PN NU)
6.
Persatuan Guru Nahdlatul
Ulama (PERGUNU).
DAFTAR PUSTAKA
Anggaran
Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama diterbitkan oleh Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama dan diperbanyak oleh PC. NU Kabupaten Blitar.
"KARISMA
ULAMA”, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Editor: Saifullah Ma'shum,
Penerbit: Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN.
Pendidikan
Aswaja & Ke-NU-An Madrasah Tsanawiyah (MTs) Kelas 7, diterbitkan oleh
Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur.
Pendidikan
Aswaja & Ke-NU-An Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelas 4, diterbitkan oleh
Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur.
Pendidikan
Aswaja & Ke-NU-An Madrasah Ibtidaiyah (MI) Kelas 5, diterbitkan oleh
Pimpinan Wilayah Lembaga Pendidikan Maarif NU Jawa Timur.
Biografi
dan Karamah KH M Khalil Bangkalan; Surat Kepada Anjing Hitam (2001)
cetakan edisi ke 2;
"KH
Bisri Syamsuri, Pecinta Hukum Fiqh sepanjang Hayat", KH Abdurahman
Wahid, Majalah Amanah, 1989
SANGAT BAGUS
BalasHapussiiip. matur nuwun
BalasHapus