BAB I
ILMU KALAM
A. Pengertian Ilmu Kalam
1. Pengertian Secara Etimologi (Bahasa)
Secara etimologis terdiri dari dua perkataan : Pertama, arti
ilmu itu sendiri yaitu pengetahuan
dan kedua, adalah kalam artinya
perkataan atau juga percakapan. Ilmu ini biasa digunakan sebagai nama dari ilmu
yang membahas aqidah-aqidah dalam Islam.
Ilmu Kalam adalah
Ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan
(agama islam) dengan bukti-bukti yang yakin. Atau Ilmu yang membahas soal-soal keimanan
2. Pengertian Secara Etimologi (Istilahi)
a.
b.
d.
Jadi Ilmu Kalam adalah
B. Nama-Nama Ilmu Kalam dan Sebab Penamaanya
Karena membahas tentang ketuhanan yang logika maksudnya dalil-dalil Aqliyah dari permasalahan sifat kalam bagi Allah seperti persoalan. Apakah Al Qur’an itu Qodim (dahulu) atau Hadits (baru)
a. Persoalan Qodimiyah Kalamullah
b. Penggunaan
dalil aqli yang sebegitu rupa hingga sedikit penggunaan dalil naqli
c. Penggunaan metode argumentasi yang menyerupai mantiq.
Sebab penamaan ilmu ushuluddin terfokus pada aqidah atau keyakinan Allah SWT,. Atau yang membahas pokok-pokok dalil Agama.
baik menyangkut dzat, sifat dan perbuatan
arena Teologi membicarakan zat Tuhan dari segalah aspeknya. Dan perhatian Tuhan dengan Alam semeseta karena teologi sangat luas sifatnyat. Teologi setiap agama bersifat luas maka bila di pautkan dengan islam (teologi islam) pengertiannya sama dengan Ilmu Kalam di sebut pula ilmu jaddal (debat) ilmu aqoid.
C. Ruang Lingkup Ilmu Kalam
Masalah yang dibahas dalam aqidah ilmu kalam adalah mempercayai adanya
Allah, Malaikat, Kitab-kitab Allah, Nabi dan Rasul Allah, hari kiyamat, Qadha’
dan Qadar, Akhirat, akal dan wahyu, surga , neraka, dosa besar, dan masalah
iman dan kafir. yang diperkuat dengan dalil-dalil rasional agar terhindar dari
aqidah yang menyimpang.
Jika
digolongkan, maka ruang lingkup Ilmu Kalam terbagi dalam 3 aspek, yakni ;
1.
Ilahiyyaat
yaitu masalah ketuhanan
a.
Masalah ketuhanan
membicarakan masalah :
b.
Dzat Tuhan
c.
Nama dan sifat Tuhan
d.
Perbuatan Tuhan.
2.
An
Nubuwwaat yaitu
masalah kenabiyan
a.
Masalah kenabian
membicarakan :
b.
Kemukjizatan
nabi-nabi
c.
Nabi-nabi terakhir
3.
As
sam’iyyaat yaitu hal-hal yang
tak mungkin kita ketahui melainkan ada informasi dari nabi, yaitu berbicara
masalah wahyu. Masalah sam’iyyaat meliputi antara lain :
a.
Masalah azab kubur
b.
Neraka
c.
Surga
D. Fungsi Ilmu Kalam
1.
Untuk menolak aqidah
yang sesat
Berusaha
menghindari tantangan-tantangan dengan cara memberikan penjelasan duduk
perkaranya timbul pertentangan itu, selanjutnya membuat suatu garis kritik
sehat berdasarkan logika. Dengan ilmu kalam bias memulihkan kembali ke jalan
yang murni, pembaharuan dan perbaikan terhadap ajaran-ajaran yang sesat.
2.
Memperkuat, membela
dan menjelaskan aqidah islam.
Dengan adanya ilmu kalam bisa menjelaskan, memperkuat dan
membelanya dari berbagai penyimpangan yang tidak sesuai dengan ajaran
Rasulullah saw.
E. Peranan Dalil dalam Ilmu Kalam
Dalil-dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadis.
a.
b.
c.
d.
e.
Kata ‘Aql dalam bahasa Arab mempunyai beberapa arti, di antaranya: Ad-diyah (denda), al-hikmah (kebijakan), husnut tasharruf (tindakan yang baik atau tepat). Secara terminologi, ‘aql (selanjutnya ditulis akal) digunakan untuk dua pengertian:
a. Akal merupakan ‘ardh atau bagian dari indera yang ada dalam diri manusia yang bisa ada dan bisa hilang.
b. Akal adalah insting yang diciptakan Allah kemudian diberi muatan tertentu berupa kesiapan dan kemampuan yang dapat melahirkan sejumlah aktivitas pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia.
Ajaran islam mendorong penggunaan akal untuk digunakan dalam kaitanya dengan hal yang bersifat positif/ baik, seperti Allah menciptakanya untuk manusia. Beberapa dalil yang menjadi dasar pengggunaan akal adalah
a. Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-Nya.
...Dan merupakan peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS. Shaad: 43)
b. Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Allah.
Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi mereka yang tidak menerima taklif. Dan di antara yang tidak menerima taklif itu adalah orang gila karena kehilangan akalnya. Sabda Nabi,
Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan; orang yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai bermimpi, orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)."
c. Allah mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Allah terhadap ahli Neraka yang tidak menggunakan akalnya.
(#qä9$s%ur öqs9 $¨Zä. ßìyJó¡nS ÷rr& ã@É)÷ètR $tB $¨Zä. þÎû É=»ptõ¾r& ÎÏè¡¡9$# ÇÊÉÈ
“ dan mereka berkata: "Sekiranya Kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah Kami Termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala". (QS. Al-Mulk: 10)
d. Adanya ungkapan dalam Al Qur’an yang mendorong penggunaan akal.
Ungkapan Al Qur’an tersebut misalnya, tadabbur, tafakkur, ta-aqqul dan lainnya. Maka kalimat seperti “la’allakum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berfikir), atau “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna Al Qur’ana” (apakah mereka tidak mentadabburi/merenungi isi kandungan Al Qur’an) dan lainnya.
e. Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran.
Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz
“…niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadalah ; 11)
f. Islam mencela taqlid yang membatasi dan melumpuhkan fungsi dan kerja akal.
Perbedaan antara taqlid dan ittiba’ adalah sebagaimana telah dikatakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, “Ittiba’ adalah seseorang mengikuti apa-apa yang datang dari Rasulullah, sedang taqlid menerima apa adanya tanpa mengetahui dasar dan latar belakangnya. QS. Al-Baqarah: 170)
#sÎ)ur @Ï% ãNßgs9 (#qãèÎ7®?$# !$tB tAtRr& ª!$# (#qä9$s% ö@t/ ßìÎ6®KtR !$tB $uZøxÿø9r& Ïmøn=tã !$tRuä!$t/#uä 3 öqs9urr& c%x. öNèdät!$t/#uä w cqè=É)÷èt $\«øx© wur tbrßtGôgt ÇÊÐÉÈ
“ dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
F. Hubungan Ilmu Kalam dengan Ilmu Lain
Ilmu Kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapnya. Jadi dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas tentang masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia atau tentang Tuhan. Sementara itu Tasawuf dengan metodenya yang tipikal berusah menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan kebenaran spiritual menuju Tuhan.
2. Perbedaan Ilmu Kalam, Tasawuf dan Filsafat
Perbedaan diantara ketiga Ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika disamping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk empertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai apologinya. Ilmu Kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional, sebagian ilmuan berpendapat bahwa ilmu ini keyakinan-keyakinan kebenaran agama, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementara itu filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional, metode yang digunakanpun adalah metode rasional. Filsafatmenghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikat oleh iketan apapun, kecuali oleh ikatan tanganya sendiri bernama logika.
Adapun ilmu tasawuf aedalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh oleh rasa, ilmu tasawuf bersifat sanagt subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang.
BAB II
SEJARAH MUNCULNYA ALIRAN ILMU KALAM
A.
Akidah pada Masa Nabi Muhammad SAW
Masa Rasulullah
saw merupakan periode pembinaan aqidah dan peraturan-peraturan dengan prinsip
kesatuan umatdan kedaulatan Islam. Segala masalah yang kabur dikembalikan
langsung kepada Rasulullah saw sehingga berhasil
menghilangkan perpecahan antara ummatnya. Masing-masing
pihak tentu mempertahankan kebenaran pendapatnya dengan dalil-dalil,
sebagaimana telah terjadi dlam agama-agama sebelum Islam. Rasulullah mengajak
kaum muslimin untuk mentaati Allah swt dan RasulNya serta menghindari dari
perpecahan yang menyebabkan timbulnya kelemahan dalam segala bidang sehingga
menimbulkan kekacauan. Allah swt berfirman dalam QS. al-Anfal ; 46, yang
artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi
gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar”.
Dan QS. Al-Maidah ;
15, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu
dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu
membelakangi mereka (mundur)”.
Pengalaman pahit
orang Kristen menjadi bukti karena perpecahan membuat mereka hancur. Mereka
melupakan perjanjian Allah swt akan beriman teguh, sehingga Allah menumbuhkan
rasa permusuhan dalam dada mereka yang mengakibatkan timbulnya golongan yang
saling bertengkar dan bercerai berai seperti golongan Nasturiyah, Ya’kubiyah
dan Mulkaniah.
Perbedaan pendapat
memang dibolehkan tetapi jangan sampai pada pertengkaran, terutama dalam maslah
aqidah ini. Demikian pula dalam menghadapi agama lain, kaum muslimin harus
bersikap tidak membenarkan apa yang mereka sampaikan dan tidak pula
mendustainya. Yang harus dikata kaum muslimin adalah telah beriman kepada Allah
dan wahyuNya, yang telah diturunkan kepada kaum muslimin juga kepada mereka.
Tuhan Islam dan Tuhan mereka adalah satu (Esa).
Bila terjadi
perdebatan haruslah dihadapi dengan nasihat dan peringatan. Berdebat dengan
cara baik dan dapat menghasilkan tujuan dari perdebatan, sehingga terhindar
dari pertengkaran. Allah swt berfirman dalam QS. An-Nahl ; 125, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk”. Dengan demikian
Tauhid di zaman Rasulullah saw tidak sampai kepada perdebatan dan polemik yang
berkepanjangan, karena Rasul sendiri menjadi penengahnya.
B. Akidah pada Masa Sahabat
Masa permulaan
khalifah Islam khususnya khalifah pertama dan kedua, Ilmu Tauhid masih tetap
seperti masa Rasulullah SAW,. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak sempat membahas dasar-dasar aqidah
dimaksud. Waktu semuanya tersita untuk menghadapi musuh, mempererat persatuan
dan kesatuan umat.
Kaum muslimin
tidak mempersoalkan bidang aqidah, mereka membaca dan memahami Al
Quran tanpa takwil, mengimani dan mengamalkannya menurut
apa adanya. Menghadapi ayat-ayat mutasyabihat segera mereka imani dan
menyerahkan pentakwilannya kepada Allah swt sendiri.
Masa kha;ifah ke
tiga, Usman bin Affan, mulai timbul kekacauan yang berbau politik dan fitnah,
sehingga Usman sendiri terbunuh. Usman Islam pecah berpuak-puak dengan
pandangan sendiri. Untuk mendukung pandangan mereka tanpa segan mereka
menakwilkan ayat-ayat suci dan Hadits Rasulullah SAW. Malahan ada diantara
mereka menciptakan hadits-hadits palsu.
Sejarah mencatat bahwa ketika
Rasulullah SAW wafat, orang begitu sibuk mencari pengganti beliau sebagai
pemimpin pemerintahan (sebagai Nabi dan Rasul tentu saja tidak bisa
digantikan). Kesibukan dan pencurahan
perhatian mencari khalifah (pengganti) Muhammad itu sedemikian rupa sehingga
melalaikan mereka dari pemakaman Rasul sendiri. Hal ini disebabkan karena
kawasan Islam pada saat itu sudah cukup luas, meliputi seluruh jazirah Arabia
dan telah memperlihatkan potensi pengembangan yang lebih jauh lagi. Maka
masalah kepemimpian menjadi sangat penting. Akhirnya Abu Bakar yang terpilih.
Meskipun khalifah pertama ini dipilih dengan aklamasi formal, namun pasti ada
yang tidak sepenuhnya rela hati.
Pada waktu Abu Bakar meninggal, beliau digantikan
oleh Umar bin Khattab, khalifah yang sangat kreatif dalam mengembangkan hukum
maupun tata pemerintahan. Banyak kebijaksanaan Umar yang sesungguhnya
kontroversial akan tetapi dengan dukungan wibawanya yang tinggi, orang
mengikutinya dengan patuh.
Ketika meninggal, Umar bin Khattab digantikan oleh
Utsman bin Affan, seorang yang saleh dan berilmu tinggi. Sebagai anggota
keluarga pedagang Makkah yang cukup terkemuka, Utsman memiliki kemampuan
administratif yang baik, tetapi lemah dalam kepemimpinan. Beliau banyak
melanjutkan kebijaksanaan Umar namun tanpa wibawa tinggi seperti Umar.
Kelemahan Utsman yang mencolok dan mengakibatkan
ketidaksenangan kepada beliau adalah ketidak-mampuan mencegah ambisi di
lingkungan keluarganya untuk menempati kedudukan-kedudukan penting di
lingkungan pemerintahan. Akibatnya banyak orang yang tidak senang. Lalu ada
lagi orang-orang yang menggunakan kesempatan untuk mengipas-ngipas guna
memperoleh keuntungan pribadi.
Di Mesir, penggantian gubernur yang diangkat Umar
bin Khattab, yakni Umar Ibnu Al Ash dengan Abdullah ibnu Sa'd, salah seorang
keluarga Utsman, mengakibatkan pemberontakan. Mereka mengerahkan pasukan menyerbu
Madinah dan berhasil membunuh Khalifah. Peristiwa pembunuhan Khalifah ini
dikenal sebagai Al Fitnatul Kubro yang pertama.
Ketika Utsman wafat, musyawarah para pemimpin
kelompok dan suku menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Tetapi kemudian
beliau ditentang oleh beberapa pihak, antara lain oleh Tholhah dan Zubeir, yang
dibantu oleh Aisyah isteri Rasulullah SAW. Penentangan timbul terutama karena
Ali dianggap tidak tegas dalam mengadili pembunuh Utsman. Tentara gabungan
pimpinan Tholah, Zubeir dan Aisyah dikalahkan dengan telak. Tholhah dan Zubeir
terbunuh, sedang Aisyah yang tertangkap kemudian dikirimkan kembali ke Madinah.
Tentangan kedua datang dari Mu'awiyah bin Abu
Sufyan, Gubernur Damaskus yang masih keluarga Utsman. Dia menuntut Ali agar
segera mengadili para pembunuh khalifah ketiga itu. Beberapa waktu kemudian,
ketika tuntutannya tidak dipenuhi dia malahan menuduh Ali turut serta dalam
pembunuhan tersebut. Apalagi ketika salah seorang pemimpin pemberontakan yaitu
Ibnu Abi Bakr, kemudian malahan diangkat sebagai Gubernur Mesir.
Dalam pertempuran yang terjadi di Shiffin, Ali bin
Abi Thalib yang merupakan pemimpin militer yang andal, dapat mendesak tentara
Mu'awiyah. Tetapi pada saat kritis itu tangan kanan Mu'awiyah yang bernama Amr
ibnu Al As minta berunding dengan mengangkat Kitab Al Qur’an ke atas.
Permintaan itu diterima oleh Ali dengan tulus. Maka Amr ibnu Al As sebagai
perunding kelompok Mu'awiyah yang seorang ahli diplomasi dapat mengalahkan Abu
Musa Al Asy'ari yang mewakili pihak Khalifah Ali di meja perundingan. Peristiwa
itu megecewakan sebagian dari pendukung Ali. Mereka sangat menyesalkan
kesediaan Ali untuk menyelesaikan perselisihan melalui perundingan.
Kelompok ini kemudian menyatakan memisahkan diri
dari Ali bin Abi Thalib dan menamakan dirinya Khawarij (orang yang keluar).
Hasil perundingan tersebut jelas merugikan Ali sebagai khalifah yang resmi
karena harus mengundurkan diri bersama-sama Mu’awiyah, sedangkan Mu’awiyah
sendiri ternyata tidak menepati kesepakatan. Maka beliau tidak mau meletakkan
jabatan dan menghadapi dua front, yakni Mu'awiyah di satu pihak dan Khawarij di
pihak lain. Tentara Ali menghadapi Khawarij terlebih dahulu dan dapat
menghancurkannya.
Namun mereka sudah menjadi lemah dan tidak mampu
lagi meneruskan pertempuran dengan Mu'awiyah. Akhirnya beliau bahkan terbunuh
pada tahun 661 M oleh seorang anggota Khawarij yang bernama Abdurrahman bin
Muljam. (Peristiwa ini dikenal dengan istilah Al Fitnatul Kubro yang kedua).
C. Faktor-faktor Timbulnya Aliran-Aliran Ilmu Kalam
a. Adanya pemahaman dalam islam yang berbeda.
Perbedaan ini terdapat dalam hal pemahaman ayat Al Qur’an,
sehingga berbeda dalam menafsirkan pula. Mufasir satu menemukan penafsiranya
berdasarkan hadist yang shahih, sementara mufasir yang lain penafsiranya belum
menemukan hadist yang shahih. Bahkan ada yang mengeluarkan pendapatnya sendiri
atau hanya mengandalkan rasional belaka tanpa merujuk kepada hadist.
b.
Adanya pemahaman ayat Al Qur’an yang berbeda.
Para pemimpin aliran pada waktu itu dalam mengambil dalil Al
Qur’an beristinbat menurut pemahaman masing-masing
c. Adanya penyerapan tentang hadis yang berbeda.
Penyerapan hadist berbeda, ketika para sahabat menerima
berita dari para perawinya dari aspek “matan”
ada yang disebut hadist riwayah (asli dari Rasul) dan diroyah (redaksinya
disusun oleh para sahabat), ada pula yang di pengaruhi oleh hadist
(isra’iliyah), yaitu: hadist yang disusun oleh orang-orang yahudi dalam rangka
mengacaukan islam.
d.
Adanya kepentingan kelompok atau golongan
Kepentingan kelompok pada umumnya mendominasi sebab
timbulnya suatu aliran, sangat jelas, dimana syiah sangat berlebihan dalam
mencintai dan memuji Ali bin Abi Thalib, sedangkan khawarij sebagai
kelompokyang sebaliknya.
e. Mengedepankan akal
Dalam hal ini, akal di gunakan setiap keterkaitan dengan
kalam sehingga terkesan berlebihan dalam penggunaan akal, seperti aliran
Mu’tazilah.
f. Adanya kepentingan politik
Kepentingan ini bermula ketika ada kekacauan politik pada
zaman Ustman bin Affan yang menyebabkan wafatnya beliau, kepentingan ini
bertujuan sebagai sumber kekuasaan untuk menata kehidupan.
g. Adanya beda dalam kebudayaan
Orang islam masih mewarisi yang di lakukan oleh bangsa
quraish di masa jahiliyah. Seperti menghalalkan kawin kontrak yang hal itu
sebenarnya sudah di larang sejak zaman Rasulullah. Kemudian muncul lagi pada
masa khalifah Ali bin Abi Thalib oleh aliran Syi’ah.
2.
b.
c.
BAB III
PERKEMBANGAN
ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
A. Aliran Mu’tazilah
1.Definisi
Secara
etimologi, Mu'tazilah atau I'tizaal adalah kata yang dalam bahasa Arab
menunjukkan kesendirian, kelemahan dan keterputusan. Sedang dalam pengertian
terminology, para ulama
mendefinisikannya
sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam
permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Waashil bin Atho' dan
Amr bin Ubaid pada zaman Al Hasan Al Bashry.
2.
Sejarah Munculnya Mu'tazilah
Kelompok
pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H.
Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang
gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu
pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah.
Seiring
dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian
banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku
filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat
itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah).
Oleh
karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih
didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah
sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal
menurut persangkaan mereka, maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau
ditakwil.
Ini
merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat
maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan.
Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu
lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada
tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar
sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari
syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak
hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini.
3.
Sebab penamaannya
Para
Ulama telah berselisih tentang sebab penamaan kelompok (aliran) ini dengan nama
Mu'tazilah menjadi beberapa pendapat:
a.
Berpendapat
bahwa sebab penamaannya adalah karena berpisahnya Waashil bin Atho' dan Amr bin
Ubaid dari majlis dan halaqohnya Al Hasan Al Bashry. Hal ini didasarkan oleh
riwayat yang mengisahkan bahwa ada seseorang yang menemui Al Hasan Al Bashry,
lalu berkata:wahai imam agama...telah muncul pada zaman kita ini satu jamaah
yang mengkafirkan pelaku dosa besar dan dosa besar menurut mereka adalah
kekafran yang mengeluarkan pelakunya dari agama, dan mereka adalah Al
Wa'iidiyah khowarij dan jamaah yang menangguhkan pelaku dosa besar, dan dosa
besar menurut mereka tidak mengganggu (merusak) iman, bahkan amalan menurut
mazhab mereka bukan termasuk rukun iman, dan iman tidak rusak oleh kemaksiatan,
sebagaiman tidak bermanfaat ketaatan bersama kekufuran, dan mereka adalah
murjiah umat ini, maka bagaimana engkau memberikan hukum bagi kami dalam hal
itu secara i'tikad? Lalu Al Hasan merenung sebentar tentang hal itu, dan
sebelum beliau menjawab, berkata Waashl bin Atho': saya tidak akan mengatakan
bahwa pelaku dosa besar itu mu'min dan tidak juga kafir, akan tetapi dia di
dalam satu kedudukan diantara dua kedudukan tersebut (manzlah baina
manzilatain), tidak mu'min dan tidak kafir. Kemudian dia berdiri dan memisahkan
diri ke satu tiang dari tiang-tiang masjid menjelaskan jawabannya kepada para
murid Al Hasan, lalu berkata Al Hasan : telah berpisah (i'tizal) dari kita
Washil, dan Amr bin Ubaid mengikuti langkah Waashil, maka kedua orang ini
beserta pengikutnya dinamakan Mu'tazilah.
Berkata
A Qodhi Abdul Jabaar Al Mu'tazily dalam menafsirkan sebab penamaan mereka
ini:telah terjadi dialog antara Waashil bin Atho' dan Amr bin Ubaid dalam
permasalahan ini -permasalahan pelaku dosa besar-lalu Amr bin Ubaid kembali ke
mazhabnya dan meninggalkan halaqoh Al Hasan Al Bashry dan memisahkan diri, lalu
mereka menamainya Mu'tazily, dan ini adalah asal penggelaran Ahlul Adil dengan
Mu'tazilah.
b.
Berpendapat
bahwa mereka dinamai demikian karena ucapan imam Qatadah kepada Utsman Ath
Thowil: siapa yang menghalangimu dari kami? apakah mereka Mu'tazilah yang telah
menghalangimu dari kami? Aku jawab:ya.
Berkata Ibnu Abl Izzy : dan mu'tazilah
adalah Amr bin Ubaid dan Waashil bin Atho' Al Ghozaal serta para pengikutnya,
mereka dinamakan demikian karena mereka memisahkan diri dari Al Jamaah setelah
wafatnya Al Hasan Al Bashry di awal-awal abad kedua dan mereka itu bermajlis
sendiri dan terpisah, sehngga berkata Qotadah dan yang lainnya: merekalah
Mu'tazilah.
4. Perkembangannya
Mu'tazilah
berkembang sebagai satu pemikiran yang ditegakkan diatas pandangan bahwa akal
adalah sumber kebenaran pada awal abad ke dua hijriyah tepatnya tahun 105 atau
110 H di akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah di kota bashroh di bawah pimpinan
Waashil bin Atho' Al Ghozali. Kelompok atau sekte ini berkembang dan
terpengaruh oleh bermacam-macam aliran pemikiran yang berkembang dimasa itu
sehingga didapatkan padanya kebanyakan pendapat mereka mengambil dari pendapat
aliran pemikiran Jahmiyah, kemudian berkembang dari kota Bashroh yang merupakan
tempat tinggalnya Al Hasan Al Bashry, lalu menyebar dan merebak ke kota Kufah
dan Baghdad.
Aliran Mu’tazilah mengalami kejayaan semasa Kekhalifahan
Abbasiyah dipegang oleh al-Ma’mun, al-Mu;tazim dan al-Watsiq. Mu’tazilah telah
menyumbangkan banyak jasa terhadap dunia Islam, terutama di bidang teologi dan
cara-cara berfikir sistematis. Satu faktor yang membuat mereka mampu
menyebarkan kekuasaan mereka dan mampu menekan setiap orang yang menyelisihi
mereka, lalu mereka menjadikan padang sebagai ganti dari hujjah dan dalil. Maka
berkembanglah aliran ini di negeri-negeri muslimin dengan bantuan dari sebagian
pemimpin-pemimpin Bani Abasyah.
Kemudian
mereka terpecah menjadi dua cabang :
a.
Cabang Bashroh, yang terwakili oleh
tokoh-tokoh seperti Waashil bin Atho', Amr bin Ubaiid, Utsman Ath Thowil, Abu
Al Hudzail Al 'Alaaf, Abu Bakr Al Ashom, Ma’mar bin Ubaad, An Nadzom, Asy
Syahaam, Al Jaahidz, Abu Ali Aljubaa'i, Abu Hasyim Al Jubaa'i dan yang
lain-lainnya.
b.
Cabang Baghdad, yang terwakili oleh
tokoh-tokoh seperti Bisyr bin Mu'tamir, Abu Musa Al Mardaar, Ahmad bin Abii
Duaad, Tsumamah bin Al Asyras, Ja'far bin Harb, Ja'far bin Mubasyir, Al
Iskaafy, Isa bin Al Haitsam Al Khayaath, Abul Qasim Al Balkhy Al Ka'by dan yang
lain-lainnya.
Walaupun
mu'tazilah telah melakukan usaha yang besar dalam menekuni dan menyelami
kehidupan akal sejak abad ke dua sampai ke lima hijriyah, akan tetapi tidak
mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan bahkan akhirnya mengalami kemunduran
dan kegagalan.
Hal
ini tampaknya terjadi karena mereka tidak mengambil sumber metodologi pemikiran
mereka dari Al Qur'an dan As Sunnah, bahkan mereka mendasarinya dengan
bersandar kepada akal semata yang telah dirusak oleh pemikran filsafat Yunani yang
dipermudah oleh adanya kegiatan penerjemahan buku-buku Yunani, ditambah dengan
buku-buku Persi dan India, ke dalam bahasa Arab. Kegiatan itu memuncak di bawah
pemerintahan al-Ma’mun ibn Harun al-Rasyid. Penterjemahan itu telah mendorong
munculnya Ahli Kalam dan Falsafah.
5.
Asas dan Landasan Mu’tazilah
Mu’tazilah
mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di
atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas
dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan
pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut :
a.
At-Tauhid
At-Tauhid adalah prinsip dan dasar pertama dan yang paling
utama dalam aqidah islam. Dengan demikian prinsip ini bukan hanya milik
mu’tazilah, melainkan milik semua umat islam. Akan tetapi mu’tazilah lebih
mengkhususkannya lagi kedalam empat beberapa pendapat diantaranya
1) Menafikan
sifat-sifat Allah.
Dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada
allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah
Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak mempunyai sifat karena yang
mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua
yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan
dzatnya bukan dengan sifatnya.
2) Al-Qur’an adalah
Makhluk.
Dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak
qadim dan perlu diyakini bahwa segala sesuatu selain Allah itu adalah makhluk.
3) Allah tidak
dapat dilihat dengan mata.
Karena Allah adalah dzat yang ghaib, dan tidak mungkin dapat
dilihat dengan mata akan tetapi kita harus meyakininya dengan keyakinan yang
pasti.
4) Berbeda dengan
makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)
b.
Al-‘Adl (keadilan
Allah)
Prinsip ini mengajarkan bahwa, Allah
tidak menghendaki keburukan bagi hambanya, manusia sendirilah yang menghendaki
keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam kedaan fitrah
(Suci). Hanya dengan kemampuan yang diberikan tuhanlah, manusia dapat melakukan
yang baik. Karena itu, jika ia melakukan kejahatan, berarti manusia itu
sendirilah yang menghendaki hal tersebut. Dari prinsip inilah, timbul
ajaran mu’tazilah yang dikenal dengan nama Al-Shalah Wa Al-Ashlah,
artinya allah hany menghendaki sesuatu yang baik, bahkan sesuatu terbaik untuk
kemaslahatan manusia.
c.
Al-Wa’du
Wal-Wa’id
Wajib
bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi
pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar,
kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.
Dalam hal ini allah menjanjikan akan memberikan pahala
kepada orang yang berbuat baik dan akan menyiksa kepada orang yang berbuat
jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan karena Allah tidak akan ingkar
terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at atau
pertolonagn dihari kiamat. Sebab syafaat bertentangan dengan janji tuhan.
d.
Suatu keadaan
di antara dua keadaan (Al Manzila baina manzilatain)
Pendapat ini dikemukakan oleh Washil Bin Atha’ dan merupakan
pendapat yang pertama dari aliran mu’tazilah. Menurut ajaran ini, seorang
muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertaubat kepada allah SWT
maka ia tidaklah mukmin dan tidak pula kafr. Ia berada diantara keduanya.
Dikatakan tidak mukmin karena ia melakukan dosa besar dan dikatakan tidak kafir
karena ia masi percaya kepada allah dan berpegang teguh pada dua kalimat
syahadat. Dengan demikian Washil bin atha’ menyebutnya sebagai orang fasiq.
e.
Amar Ma’ruf
Nahi Mungkar
Adapun
”amar ma’ruf” dan ”nahi mungkar” adalah wajib bagi setiap orang Islam, tetapi
yang ma’ruf bagi kaum Mu’tazilah ialah hanya pendapat mereka, bukan ma’ruf yang
sesuai dengan Al Qur’an dan Hadist. Prinsip ini menitik beratkan kepada
permasalahan hukum fiqh. Kaum mu’tazilah sangat gigih melaksanakan prinsip ini,
bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf dan nahi munkar.
6.
Doktrin-doktrin Mu'tazilah
a. Ketauhidan
Mu’tazilah menafikan dan meniadakan Allah Ta’ala itu bersifat dengan
sifat-sifat yang azali dari ilmu, qudrat, hayat dan sebagainya sebagai
dzat-Nya.
b. Dosa Besar
Orang Islam yang mengerjakan dosa besar, yang sampai matinya belum
taubat, orang tersebut dihukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi
diantara keduanya itu. Mereka itu dinamakan orang ”fasiq”.
c. Qadar
Mereka berpendapat : Bukanlah Allah yang menjadikan segala perbuatan
makhluk, tetapi makhluk itu sendirilah yang menjadikan dan menggerakkan segala
perbuatannya. Oleh karena itulah, mereka diberi dosa dan pahala.
d. Kedudukan Akal
Sepanjang sejarah telah diketahui bahwa kaum Mu’tazilah membentuk
madzhabnya lebih mengutamakan akal, bukan mengutamakan Al Qur’an dan Hadist.
7.
Tokoh Aliran Mu’tazilah
a.
Washil
bin Atha’
Pokok-pokok pikiran teologis washil bin atha’ dapat
disimpulkan kepada tiga hal yang penting diantaranya : a) tentang seorang
muslim yang melakukan dosa besar.b) kekuasaan berbuat atau berkehendak bagi
manusia (Free will) c) tentang sifat tuhan.
b.
Abu
Huzail Al-Allaf
Beliau merupakan generasi kedua dari aliran mu’tazilah yang
menyusun dasar-dasar faham mu’tazilah yang lima (At-Tauhid, Al-‘Adl, Al-Wa’d
Wa-Al-Wai’d, Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain, Amar Makruf dan Nahi munkar).
c.
An-Nazham ( wafat 231 H/
845 M)
Nama
lengkapnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazham. Ia merupakan tokoh
mu’tazilah yang terkemuka, lancar bicara, dan banyak mendalami filsafat. Ia
sangat bebas berpikir dan berani menyerang ahli hadis karena tidak banyak
percaya pada kesahihan hadis-hadis. Karena ia sangat menjunjung Al-Qur’an.
d. Al-Jubbai (wafat 303 H/ 915 M)
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Muhammad bin Ali Al-Jubbai, tokoh mu’tazilah basrah
dan murid as-Syahham. Al-Jubbai dan anaknya yaitu Abu Hasim Al-Jubbai
mencerminkan akhir masa kejayaan aliran mu’tazilah.
B. Aliran Asy’ariyah
1. Definisi
Asy`ariyah
adalah sebuah paham aqidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy.
Al-Asy`ariyah membuat sistem hujjah yang dibangun berdasarkan perpaduan antara
dalil nash (naql) dan dalil logika (`aql). Paham Al-Asy’ary mengambil jalan tengah antara golongan
yang rasionalis dan golongan textualis yang ternyata jalan tersebut dapat
diterima oleh mayoritas kaum muslim.
Munculnya
kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik
terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah
di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia,
bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
2. Sebab-sebab Penamaan
Awalnya Al-Asy`ari pernah belajar kepada Al-Jubba`i, seorang tokoh dan
guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga untuk sementara waktu, Al-Asy`ariy
menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami
paham Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara dia
dan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah terutama masalah Kalam. Debat
itu membuatnya tidak puas dengan konsep Mu`tazilah.
Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari,
seorang sahabat Rasulullah SAW. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya
sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan
Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di
Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang
fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari
Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
3. Perkembangan Aliran As’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab
tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada
waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat
yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan
tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting
yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam.
Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan
antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari
ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada
saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka
begitu mempertahankan hubungan Tuhan -manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk
pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham
Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah,
baik yang ada di Baghdad maupun dikota Naisabur. Madrasah
Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia.
Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan
Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para
fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga
wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang
paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
4. Pokok Ajaran
a. Sifat Allah.
Al-Asy’ari
mengakui sifat-sifat Tuhan (Wujud, qidam, baqa, wahdania, sama’, basyar, dan
lain-lain), sesuai dengan dzat Tuhan itu sendiri dan sama sekali tidak
menyerupai sufat-sifat makhluk. Tuhan dapat mendengar tetapi tidak
seperti kita, mendengar dan seterusnya.
b. Kekuasaan Tuhan
dan Perbuatan Manusia.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa
menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu perbuatan.
c. Melihat Tuhan
pada Hari Kiamat.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi
tidak menuntut cara tertentu dan tidak pula arah tertentu. Al-Maturidi
mengatakan juga bahwa manusia dapat melihat Tuhan . Firman Allah dalam QS
Al-Qiyamah ayat 22 dan 23:
d. Dosa besar
Al-Asy’ari mengatakan bahwa orang mukmin yang mengesakan
Tuhan tetapi fasik, terserah kepada Tuhan, apakah akan diampuni-Nya dan
langsung masuk syurga atau akan dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi
dimasukkan-Nya kedalam surga .
5. Tokoh Aliran As’ariyah
a.
Al-Baqilany ( wafat
403 H / 1013 M )
Namanya Abu Bakkar Muhammad bin Tayyib, diduga
kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ary. Ia seorang yang
cerdas otakya, simpatik dan banyak jasanya dalam pembelaan agama. Kitabnya yang
terkenal adalah “at-Tahmid” (pendahuluan / persiapan).
b.
Al-Juwaini (
419-478 H/ 1028-1085 M )
Namanya Abu al-Ma’aly bin Abdillah, dilahirkan di
Nisabur, kemudian pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya sampai ke negara Bagdad.
Ia mengikuti jejaknya Al-Baqilany dan Al-Asy’ary dalam menjujung
setinggi-tingginya akal-fikiran, suatu hal yang menjadikan marahnya para
ahli-ahli hadist. Akhirnya ia sendiri terpaksa meninggalkan Bagdad menuju Hijaz
dan bertempat tinggal di Mekkah dan Madinah untuk mengajarkan pelajaran disana.
Karena itu ia mendapat gelar “Imam Al-Haramain” ( Imam kedua tanah suci, Makkah
dan Madinah ) setelah Nizamul-Mulk memegang pemerintahan dan mendirikan sekolah
Nizamiyah di Nisabur al-Juwaini diminta kembali ke negerinya tersebut untuk
memberikan pelajaran disana.
c.
Al-Ghazali (
450-505 H )
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, sebuah kota di negeri Khurasan. Gurunya
antara lain Al-Juwaini, sedang jabatan yang pernah dipegagnya adalah mengajar
di sekolah Nizamiyah Bagdad.
Al-Ghazali adlah salah seorang ahli fikir Islam
terkenal dan yang paling besar pengaruhnya. Kegiatan ilmiyahnya meliputi
berbagai lapangan, antara lain logika, jadal ( ilmu berdebat ), fiqh dan
ushulnya, ilmu kalam, filsafat dan tasawuf. Kitab-kitab yang dikarangnya banyak
sekali, berbahasa Arab dan Persi.
Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyyah
sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang pernah ada dan
memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi Ulam-ulama
Islam, yang karenanya ia mendapatkan julukan “Hujjatul Islam”.
d.
As-Sanusy ( 833-895
H / 1427-14990 )
Nama lengkapnya Abu Abdillah bin Muhammad bin
Yusuf. Dilahirkan di Tilasam, sebuah kota di Al-Jazair. Ia belajar pada ayahnya
sendiri dan orang-orang lain terkemuka di negaarnya, kemudian ia melanjutkan
pelajaranya di kota Al-Jazair pada seorang alim yang bernama Abd. Rahman
ats-Tsa’laby. Ulama Maghrib/ Maroko ini dianggap ia sebagai pembangun
Islam, karena jasa dan karyanya yang banyak dalam lapangan kepercayaan (aqa’id)
dan ketuhanan (ilmu Tauhid).
C. Pemikiran Kalam setelah Al Mihnah
Dalam sejarah teologi
Islam, al-mihnah mempunyai arti “menguji dan mencoba”. Al Mihnah lebih
tepat diartikan sebagai test
of faith, yaitu pengujian atas
keyakinan tentang kemakhlukan Al Qur’an serta sangsi-sangsi hukum yang diterima
sehubungan dengan keyakinan tersebut. Dengan
kata lain Al-Mihnah adalah pemeriksaan atau pengadilan terhadap seluruh
rakyat, terutama pejabat-pejabat kerajaan dan ulama, khususnya fuqahâ dan ahli
hadîts, agar mengakui doktrin khalq al-qur’ân (penciptaan Al Qur’an).
Kebijakan tersebut mulai diberlakukan sejak tahun-tahun terakhir
pemerintahan al-Ma’mun (198-218 H./ 813-833 M.), al-Mu’tashim
(218-227 H./ 833-842 M.) dan al-Watsiq (227-232 H./ 842-847 M.), hingga baru
berakhir sesaat setelah Al-Mutawakkil naik tahta, tersebut telah menimbulkan
keresahan di masyarakat akibat aksi-aksi teror dan sangsi penyiksaan berat
terhadap banyak tokoh Muslim terkemuka.
Bagimana tidak, di
belakang para penguasa tersebut, alat-alat kerajaan dan para petinggi hukum
senantiasa siap mengemban tugas investigasi, untuk mencari kesalahan mereka
yang tidak mau tunduk kepada pemerintah, serta menuntut kelompok yang masih ambivalen
(tawaqquf) dalam menyikapi kepercayaan akan doktrin ”Al-Qur’an
sebagai satu satunya jalan keimanan yang dijamin oleh negara.
Khalifah al-Ma’mun sendiri, di tengah-tengah
pertikaian paham berbagai kelompok Islam, memihak kaum Mu’tazilah melawan kaum
Hadits yang dipimpin oleh Ahmad ibn Hanbal (pendiri mazhab Hanbali, salah satu
dari empat mazhab Fiqh). Lebih dari itu, Khalifah al-Ma’mun, dilanjutkan oleh
penggantinya, Khalifah al-Mu’tashim, melakukan mihnah (pemeriksaan paham
pribadi, inquisition), dan menyiksa serta menjebloskan banyak orang,
termasuk Ahmad ibn Hanbal, ke dalam penjara.
Salah satu masalah yang diperselisihkan ialah
apakah Kalam atau Sabda Allah, berujud al-Qur’an, itu qadim (tak terciptakan
karena menjadi satu dengan Hakikat atau Dzat Ilahi) ataukah hadits
(terciptakan, karena berbentuk suara yang dinyatakan dalam huruf dan bahasa
Arab)? Khalifah al-Ma’mun dan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Kalam Allah itu
hadits, sementara ulama yang lain berpendapat al-Qur’an itu qadim seperti Dzat Allah
sendiri.
Mihnah itu memang tidak berlangsung terlalu lama,
dan orang pun bebas kembali. Tetapi ia telah meninggalkan luka yang cukup dalam
pada tubuh pemikiran Islam, yang sampai saat inipun masih banyak dirasakan
orang-orang Muslim. Namun jasa al-Ma’mun dalam membuka pintu kebebasan berpikir
dan ilmu pengetahuan tetap diakui besar sekali dalam sejarah umat manusia. Maka
kekhalifahan al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), dengan campuran unsur-unsur
positif dan negatifnya, dipandang sebagai salah satu tonggak sejarah
perkembangan pemikiran Islam, termasuk perkembangan Ilmu Kalam, dan juga
Falsafah Islam.
Peristiwa mihna sangat menggoncangkan umat
Islam dan baru berakhir setelah al Mutawakkil (memerintah 847-861),
menggantikan al Wasiq (memerintahkan 842-847 M). Di masa al Mutawakkil dominasi
aliran Mu’tazilah menurun dan semakin menjadi tidak simpatik di mata
masyarakat. Keadaan ini semakin buruk setelah Mutawakkil membatalkan pemakaian
mazhab Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara dan menggantinya dengaan aliran
Asy’ariyah.
Akan tetapi meskipun secara definitif telah tersingkir
sejak tahun 848 M., Mu’tazilah mampu bangkit lagi pada masa-masa kekuasaan Bani
Buwayh (945-1055 M.), yang sukses merebut ibu kota Baghdad dari tangan keluarga
Abasiyah. Agaknya tidak terlalu sulit memahami mengapa Mu’tazilah dapat meraih
perlindungan politiknya kembali di bawah imperium ini. Sebagaimana pengalaman
di masa silam, dimana al-Ma’mun, seorang khalifah Abbasiyah yang menganut paham
Mu’tazilah meraih dukungan politis dari kalangan kaum Syi’ah, maka kali ini pun
dukungan terhadap Mu’tazilah datang dari keluarga istana Buwayh yang nota-bene menganut
paham Syi’ah.
Lagi pula, secara kebetulan, pada periode Buwayh ini,
Syi’ah dan Mu’tazilah tengah menghadapi tekanan dan pengucilan oleh kelompok
besar Suni-‘Asy’ariyah yang dianut mayoritas umat Islam (al-sawâd al-a’dzam)
waktu itu, hingga keduanya menjadi kelompok minoritas yang tidak populer. Orang-orang Mu’tazilah pun kembali menduduki
pos-pos penting dalam kerajaan, seperti Abu Muhammad Abdullah bin Ma’ruf yang
menjadi Hakim Agung di Baghdad, dan Abd al-Jabbar Ahmad bin ‘Abd al-Jabbar di
wilayah Ray.
Majelis-majelis pengkajian keagamaan yang bercorak
rasionalistis semakin semarak pula diselenggarakan. Pada masa Buwayh ini lahir ulama-ulama
kenamaan seperti Abubakr al-Ikhsyari (w. 923 M.), dan Abu Husayn al-Khayyath
yang dianggap sebagai nara sumber asli untuk mengetahui pendapat atau pemikiran
madzhab Mu’tazilah. Di tahun 1055 M. bangsa Turki Saljuk mengusir Buwayh dari
keraton Baghdad.
Namun peralihan pemerintahan tidak menggeser kedudukan
Mu’tazilah dari lingkaran kekuasaan, khususnya pada masa kesultanan yang
pertama, Tughril. Hal ini terjadi karena sang Wazîr (“Perdana Menteri”) yang bernama
al-Kunduri masih tergolong penganut setia paham Mu’tazilah. Bahkan atas
perintah-perintahnya kala itu banyak pengikut ‘Asy’ariyah ditangkap dan
dipenjarakan.
Barulah ketika penguasa Saljuk, Alp Arselan (1069-1072
M.) mengangkat Nizâm al-Mulk, seorang pembela ‘Asy’ariyah yang paling gigih, menggantikan
kedudukan al-Kunduri, secara tragis Mu’tazilah tersingkir dari percaturan
politik, dan tidak pernah lagi mendapat perlindungan istimewa dari dinasti-dinasti Islam mana pun. Madzhab
teologi yang dahulunya sangat kuat berkat dukungan dari para pemegang kekuasaan
ini lambat laun berangsur-angsur lemah dan menderita kemunduran sangat telak
seiring dengan hilangnya koneksi politik.
Kendati demikian, kehancuran Mu’tazilah ternyata cuma
terbatas pada atributnya sebagai madzhab teologi, sementara semangat dan metoda
berfikirnya tidak begitu mudah dipatahkan. Terbukti, pemikir-pemikir Mu’tazilah
“angkatan baru” terus bermunculan. Misalnya di abad ke-12, tercatat
al-Zamakhsyari (467-538 H./ 1075-1144 M.) pengarang al-Kasysyâf; sebuah
tafsîr Mu’taziliy yang sangat berpengaruh dan lama menjadi rujukan golongan
Suni.
Memasuki abad ke-20 M. Mu’tazilah seperti menemukan
kembali era kebangkitannya. Ajaran-ajarannya ditelaah lagi dengan penuh minat
di pusat-pusat kajian keislaman. Sehingga kesalah pahaman terhadap madzhab ini mulai
dipandang secara lebih objektif. Kemudian, atas pengaruh dari Jamaluddin
al-Afghani dan Muhammad Abduh dua orang pendekar modernisme Islam yang utama,
keadaan benar-benar telah mulai berubah.
Perkembangan modernitas dan kemajuan iptek terbukti
kondusif dengan Mu’tazilisme ini, meskipun sampai kini tetap saja tidak ada
satu orang atau kelompok pun yang mengaku secara formal sebagai penerus aliran
teologi itu.
BAB IV
ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM DAN DOKTRIN-DOKTRINNYA
A. Aliran Khowarij
1. Pengertian
Khowarij secara
bahasa diambil dari Bahasa Arab khowaarij,
secara harfiah berarti mereka yang keluar.
Istilah khowarij adalah istilah umum yang mencakup sejumlah aliran dalam islam
yang pada awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi Thalib lalu menolaknya. Pertama
kali muncul pada pertengahan abad ke-7, berpusat di daerah yang kini terletak
di bagian negara Irak Selatan dan merupakan bentuk yang berbeda dari kaum sunni
dan syiah. Disebut atau dinamakan khawarij karena keluarnya mereka dari kepemimpinan
Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Kebanyakan dari kaum Khawarij adalah Arab dusun yang tinggal di
kawasan pegunungan dan karena itu hidup dengan sangat sederhana. Mereka sangat
keras hati tetapi amat taat menjalankan agama. Karena pemikirannya yang
sederhana, Khawarij mengartikan Al Qur’an benar-benar secara tekstual; tetapi
betapapaun beratnya mereka toh melaksanakannya.
Aliran Khawarij
dipergunakan oleh kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang
keluar dari barisan Ali ibn Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap
sikapnya yang telah menerima tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok
Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657).
2. Latar Belakang
Khawarij lahir
dari komponen paling berpangaruh dalam khilafah Ali ra. Yaitu dari tubuh
militer pimpinan Ali ra. sendiri. Pada saat kondisi politik yang makin tidak
terkendali dan dirasa sulit untuk mereda dengan prinsip masing-masing. Maka
kubu Mu’awiyah ra. yang merasa akan dikalahkan dalam perang syiffin menawarkan
untuk mengakhiri perang saudara itu dengan “Tahkim
dibawah Al Qur’an”.
Semula Ali ra. tidak
menyetujui tawaran ini, dengan prinsip bahwa kakuatan hukum kekhilafahannya
sudah jelas dan tidak dapat dipungkiri. Namun sebagian kecil dari kelompok
militer pimpinannya memaksa Ali ra. menerima ajakan kubu Mu’awiyah ra. Kelompok
ini terbukti dapat mempengaruhi pendirian Ali ra. Bahkan saat keputusan yang
diambil Ali ra. Untuk mengutus Abdullah bin Abbas ra. menghadapi utusan kubu
lawannya Amru bin al-Ash dalam tahkim, Ali ra. malah mengalah pada nama Abu
Musa Al Asy’ary yang diajukan kelompok itu menggantikan Abdullah bin Abbas ra.
Anehnya, kelompok
ini yang sebelumnya memaksa Ali ra. untuk menyetujui tawaran kubu Mu’awiyah ra.
Untuk mengakhiri perseteruannya dengan jalan Tahkim. Pada akhirnya setelah
Tahkim berlalu dengan hasil pengangkatan Mu’awiyah ra. Sebagai khilafah
menggantikan Ali ra. Mereka kemudian menilai dengan sepihak bahwa genjatan
senjata dengan cara Tahkim tidak dapat dibenarkan dan illegal dalam hukum
Islam.
Artinya menurut
mereka, semua kelompok bahkan setiap individu yang telah mengikuti proses itu
telah melanggar ketentuan syara’, karena telah melanggar prinsip dasar bahwa
setiap keputusan berada pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa lillâh).
Dan sesuai
dengan pokok-pokok pemikiran mereka bahwa setiap yang berdosa maka ia telah
kafir, maka mereka menilai bahwa setiap individu yang telah melangar prinsip
tersebut telah kafir, termasuk Ali ra. Sehingga Mereka memaksanya untuk
bertobat atas dosanya itu sebagaimana mereka telah bertobat karena ikut andil
dalam proses Tahkim.
Demikian watak
dasar kelompok ini, yaitu keras kepala dan dikenal kelompok paling keras
memegang teguh prinsipnya. Inilah yang sebenarnya menjadi penyebab utama
lahirnya kelompok ini. Khawarij adalah kelompok yang didalamnya dibentuk oleh
mayoritas orang-orang Arab pedalaman (a’râbu
al-bâdiyah). Mereka cenderung primitive, tradisional dan kebanyakan dari
golongan ekonomi rendah, namun keadaan ekonomi yang dibawah standar tidak
mendorong mereka untuk meningkatkan pendapatan. Ada sifat lain yang sangat
kontradiksi dengan sifat sebelumnya, yaitu kesederhanaan dan keikhlasan dalam
memperjuangkan prinsip dasar kelompoknya.
Walaupun
keikhlasan itu ditutupi keberpihakan dan fanatisme buta. Dengan komposisi
seperti itu, kelompok ini cenderung sempit wawasan dan keras pendirian. Prinsip
dasar bahwa “tidak ada hukum, kecuali
hukum Tuhan” mereka tafsirkan secara dzohir saja.
Bukan hanya itu,
sebenarnya ada kepentingan lain yang
mendorong dualisme sifat dari kelompok ini. Yaitu kecemburuan atas kepemimpinan golongan
Quraisy. Dan pada saatnya kemudian Khawarij memilih Abdullâh bin Wahab ar-Râsiby yang diluar golongan Quraisy sebagai
khalifah. Bahkan al-Yazidiyah salah satu sekte dalam Khawarij, menyatakan bahwa
Allah sebenarnya juga mengutus seorang Nabi dari golongan Ajam (diluar golongan
Arab) yang kemudian menghapus Syari’at Nabi Muhammad SAW.
Nama khawarij
diberikan pada kelompok ini karena mereka dengan sengaja keluar dari barisan
Ali ra. dan tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra. namun dari mereka menganggap
bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang terdapat pada QS. An Nisa’
; 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar dari rumahnya untuk hijrah di
jalan Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya mereka juga menyebut kelompoknya sebagai
Syurah yang berasal dari kata Yasyri (menjual), sebagaimana disebutkan dalam
QS. Al Baqarah ; 207. tentang seseorang yang menjual dirinya untuk mendapatkan
ridla Allah. Selain itu mereka juga disebut “Haruriyah”
yang merujuk pada “Harurah’ sebuah
tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka
memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini
juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”.
Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ
hukma illa lillâh”.
3. Doktrin Ajaran
Secara umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum
muslimin yang berbuat dosa besar adalah kafir. Kemudian, kaum muslimin yang
terlibat dalam perang jamal, yakni perang antara Aisyiah, Thalhah, dan dan
Zubair melawan Ali bin Abi Thalib dihukumi kafir. Kaum Khawarij
memutuskan untuk membunuh mereka berempat tetapi hanya berhasil membunuh Ali.
Menurut mereka Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus
dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi,
seorang muslim dari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu
memimpin dengan benar.
Dalam upaya kafir mengkafirkan ini, terdapat suatu golongan
yang menolak ajaran kaum Khawarij yang mengkafirkan orang mukmin yang melakukan
dosa besar. Sehingga mereka membentuk sautu golongan yang menolak ajaran
pengkafiran tersebut, golongan ini disebut dengan golangan Murji’ah.
Berikut
pokok-pokok doktrin ajaran aliran Khawarij
a. Setiap ummat
Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum melakukan
tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
b. Membolehkan tidak
mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat dan
zalim.
c. Ada faham bahwa
amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para pelaku
dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar belakang watak
dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang suci) kepada
pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
d. Keimanan itu tidak
diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri. Namun
demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya, kaum
Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah dalam
berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya itu
tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Dengan mengutip
beberapa ayat Al-Quran, mereka berusaha untuk mempropagandakan
pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis itu, sebagaimana
tercermin di bawah ini :
a.
Mengakui kekhalifahan
Abu Bakar dan Umar; sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam “Perang Unta”, dipandang telah berdosa.
b.
Dosa dalam pandangan
mereka sama dengan kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar
apabila ia tidak bertobat. Dari sinilah muncul term “kafir” dalam faham kaum
Khawarij.
c.
Khalifah tidak sah,
kecuali melalui pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka
menolak pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
d.
Ketaatan kepada khalifah
adalah wajib, selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang,
wajib diperangi dan bahkan dibunuhnya.
e.
Mereka menerima Al
Qur’an sebagai salah satu sumber
diantara sumber-sumber hukum Islam.
f.
Khalifah sebelum Ali
(Abu Bakar, Umar, dan Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7
kekhalifahannya Utsman r.a. dianggap telah menyeleweng.
g.
Khalifah Ali adalah
sah, tetapi setelah terjadi arbitras (tahkim) ia
dianggap telah menyeleweng.
h.
Mu’awiyah dan Amr bin
Al-Asy dan Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi
kafir.
Selain
pemikiran-pemikiran politis yang berimplikasi teologis, kaum Khawarij juga memiliki
pandangan atau pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial yang
berorientasi pada teologi, sebagaimana tercermin dalam pemikiran-pemikiran
sebagai berikut :
a.
seorang yang berdosa
besar tidak lagi disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis
lagi, mereka menganggap seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau
membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung
beban harus dilenyapkan pula.
b.
Setiap muslim harus
berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi
karena dianggap hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap
berada dalam negeri islam,
c.
Seseorang harus
menghindar dari pimpinan yang menyeleweng,
d.
Adanya wa’ad dan wa’id
(orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus
masuk neraka),
e.
Amar ma’ruf nahi
munkar,
f.
Manusia bebas
memutuskan perbuatannya bukan dari tuhan,
g.
Qur’an adalah makhluk,
h.
Memalingkan ayat-ayat Al
Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar)
Jadi
secara umum pokok ajaran aliran Khawarij adalah
a.
Orang Islam yang
melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
b.
Orang-orang yang
terlibat dalam perang jamal (perang antara Aisyah, Talhah, dan zubair, dengan
Ali bin abi tahAlib) dan para pelaku tahkim—termasuk yang menerima dan
mambenarkannya – di hukum kafir;
c.
Khalifah harus dipilih
langsung oleh rakyat.
d.
Khalifah tidak harus
keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi Khalifah
apabila suda memenuhi syarat-syarat.
e.
Khalifah di pilih
secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syari’at
islam, dan di jatuhi hukuman bunuh bila zhalim.
f.
Khalifah sebelum Ali
adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya Usman r.a
dianggap telah menyeleweng,
g.
Khalifah Ali dianggap
menyelewang setelah terjadi Tahkim (Arbitrase).
4. Tokoh
5. Sekte
Munculnya banyak cabang dan sekte Khawarij ini
diakibatkan banyaknya perbedaan dalam bidang akidah yang mereka anut dan
banyaknya nama yang mereka pergunakan sejalan dengan perbedaan akidah mereka
yang beraneka ragam itu. Asy-syak’ah menyebutkan adanya delapan firqah besar,
dan firqah-firqah ini terbagi lagi menjadi firqah-firqah kecil yang jumlahnya
sangat banyak. Perpecahan ini menyebabkan gerakan kaum Khawarij lemah, sehingga
mereka tidak mampu menghadapi kekuatan militer Bani Umayyah yang berlangsung bertahun-tahun.
Menurut Prof.
Taib Thahir Abdul Mu’in, bahwa sebenarnya ada dua golongan utama yang terdapat
dalam aliran Khawarij, yakni :
a. Sekte Al-Azariqoh
Nama
ini diambil dari Nafi Ibnu Al-Azraq, pemimpin utamanya, yang memiliki pengikut
sebanyak dua puluh ribu orang. Di kalangan para pengikutnya, Nafi digelari
“amir al-mukminin”. Golongan al-azariqoh dipandang sebagai sekte yang besar dan
kuat di lingkungan kaum Khawarij.
Dalam
pandangan teologisnya, Al-Azariqoh tidak menggunakan term kafir, tetapi menggunakan
term musyrik atau politeis. Yang dipandang musyrik adalah semua orang yang
tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan, orang Islam yang tidak ikut hijrah
kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena
kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak dan istri yang
bukan golongan Al-Azariqoh. Golongan ini pun membagi daerah kekuasaan, yakni “dar al-Islam” dan “dar al-kufur”. Dar al-Islam adalah daerah yang dikuasai oleh
mereka, dan dipandang sebagai penganut Islam sebenarnya. Sedangkan Dar al-Kufur
merupakan suatu wilayah atau negara yang telah keluar dari Islam, karena tidak
sefaham dengan mereka dan wajib diperangi.
b. Sekte Al-Ibadiah
Golongan
ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh sekte Khawarij. Nama
golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun 686 M.
memisahkan diri dari golongan Al-Azariqoh.
Adapun
faham-fahamnya yang dianggap moderat itu, antara lain :
1)
Orang Islam yang tidak
sepaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir.
Orang Islam demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris.
Syahadat mereka diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan
haram.
2)
Muslim yang melakukan
dosa besar masih dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin.
Dan yang dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh
karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berartyi sudah keluar
dari Islam.
3)
Harta kekayaan hasil
rampasan perang yang boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta
kekayaan lainnya, seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
4)
Daerah orang Islam yang
tidak sefaham dengan mereka, masih merupakan “dar at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.
B. Aliran Murji’ah
1. Pengertian
Kata Murji’ah
berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau
menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad
pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani
menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang
perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang
pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka
menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti.
Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar
dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai
tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka
menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada
Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda
penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman
baginya.
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan
teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa
besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak
berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah
mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan
Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari
pembalasan tiba.
Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada
masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang
melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar
tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati
seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan. Selama
seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau
perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah
mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar,
Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan
politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib
(khalifah ke-4; w. 661).
2. Latar Belakang
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan
politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah
Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok
Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu
golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari
barisan Ali (disebut Khawarij). Ketika berhasil mengungguli dua kelompok
lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah
lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang
kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut
kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij
tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam
pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di
tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan
diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok
inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat
melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu
terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah
menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir
selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai
rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang
mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam
kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih
beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa
besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni
atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.
3. Doktrin Ajaran
Doktrin-doktrin
aliran Murji’ah bisa diketahui dari
makna yang terkandung dalam “murji’ah”
dan dalam sikap netralnya. Pandangan “netral”
tersebut, nampak pada penamaan aliran ini yang berasal dari kata “arja’a”, yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberi pengharapan. Menangguhkan berarti menunda soal siksaan seseorang ditangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau
memaafkan, dia akan langsung masuk surga. Jika sebaliknya, maka akan
disiksa sesuai dengan dosanya.
Istilah “memberi harapan” mengandung arti bahwa,
orang yang melakukan maksiat padahal ia seorang mukmin, imannya masih tetap
sempurna. Sebab, perbuatan maksiat tidak mendatangkan pengaruh buruk terhadap
keimanannya, sebagaimana halnya perbuatan taat atau baik yang dilakukan oleh
orang kafir, tidak akan mendatangkan faedah terhadap kekufurannya. Mereka
“berharap” bahwa seorang mukmin yang melakukan maksiat, ia masih dikatakan
mukmin.
Menurut Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah
memiliki empat ajaran pokok, yaitu :
a.
Menunda hukuman atas
Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim
dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b.
Menyerahkan keputusan
kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.
Meletakkan
(pentingnya) iman dari amal.
d.
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat dari Allah.
4. Tokoh
a. Abu
Hasan Ash-Shalihi
b. Yunus
bin An-Namiri
c. Ubaid
Al-Muktaib
d. Ghailan
Ad-Dimasyq
e. Bisyar
Al-Marisi
f. Muhammad
bin Karram
5. Sekte
Kaum Murji’ah
pecah menjadi beberapa golongan kecil. Namun, pada umumnya Aliran Murji’ah menurut Harun Nasutuion,
terbagi kepada dua golongan besar, yakni “golongan
moderat” dan “golongan ekstrim”.
a. Golongan
Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan
tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya
dosa yang dilakukan.
b. Golongan
Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang
Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan,
tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati. Bahkan,
orang yang menyembah berhala, menjalankan agama Yahudi dan Kristen sehingga ia
mati, tidaklah menjadi kafir. Orang yang demikian, menurut pandangan Allah,
tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
Golongan
ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok, yaitu :
1)
Al-Jahmiyah,
kelompok Jahm bin Syafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang
percaya kepada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan, tidaklah
menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada
bagian lain dalam tubuh manusia.
2)
Shalihiyah,
kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan,
sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah,
yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui tuhan. Begitu
pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan
kepatuhan.
3)
Yumusiah
dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau
perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak
atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
4)
Hasaniyah,
jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya
tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang
tersebut tetap mukmin, bukan kafir
C. Aliran Syi’ah
1. Pengertian
Istilah Syi'ah
berasal dari kata Bahasa Arab Syī`ah. Bentuk tunggal dari kata
ini adalah Syī`ī. Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat bersejarah Syi`ah
`Ali artinya "pengikut Ali",
yang berkenaan tentang Q.S. Al-Bayyinah ayat khoirulbariyyah, saat
turunnya ayat itu Nabi SAW bersabda: "Wahai
Ali, kamu dan pengikutmu adalah orang-orang yang beruntung" (ya Ali
anta wa syi'atuka humulfaaizun)
Syi'ah menurut
etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga
bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara.
Adapun menurut
terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin
Abu Thalib sangat utama
di antara para sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk
kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau.
Muslim Syi'ah
percaya bahwa Keluarga
Muhammad (yaitu para
Imam Syi'ah) adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an dan Islam, guru terbaik tentang Islam setelah
Nabi Muhammad, dan pembawa serta penjaga tepercaya
dari tradisi Sunnah.
Secara khusus,
Muslim Syi'ah berpendapat bahwa Ali
bin Abi Thalib, yaitu
sepupu dan menantu Muhammad dan kepala keluarga Ahlul
Bait, adalah
penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad, yang berbeda dengan khalifah lainnya yang diakui oleh Muslim Sunni.
Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi
Muhammad, dan perintah Nabi berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan antara
pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar menjadikan perbedaan pandangan yang tajam
antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur’an , Hadits,
mengenai Sahabat, dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits
dari Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul
Bait, sementara
yang lainnya seperti Abu Hurairah tidak dipergunakan.
Tanpa
memperhatikan perbedaan tentang khalifah, Syi'ah mengakui otoritas Imam Syi'ah (juga dikenal dengan Khalifah Ilahi)
sebagai pemegang otoritas agama, walaupun sekte-sekte dalam Syi'ah berbeda
dalam siapa pengganti para Imam dan Imam saat ini.
2. Latar Belakang
Mengenai latar
belakng munculnya aliran Syi’ah, terdapat dua pendapat ;
a. Menurut Abu Zahrah
Syi’ah mulai
muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin Affan kemudian tumbuh dan
berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Adapun
b. Menurut Mongomary
Watt
Syi’ah muncul
ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Mu’awiyah yang dikenal
denganPerang siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan ali
terhadap arbitrase yang diatwarkan Mu’awiyah, pasukan Ali di ceritakan terpecah
menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali, kelak di sebut Syi’ah dan
kelompok lain menolak sikap Ali, kelak di sebut Khawarij.
Secara historis, akar aliran Syi’ah terbentuk segera
setelah kematian Nabi Muhammad, yakni ketika Abu Bakar terpilih sebagai
khalifah pertama pada pertemuan tsaqifah yang diselenggarakan di Dar al-Nadwa,
di Madinah. Pemilihan tersebut dilaksanakan secara tergesa-gesa sebagai wujud
persaingan antara kelompok Anshar dan Muhajirin yang sempat mengancam
perpecahan Islam. Dalam pertemuan itu Ali tidak hadir karena sibuk mengurus
jenazah Nabi. Pada waktu itu usia Ali 30 tahun, di mana bangsa Arab menjadikan
usia sebagai syarat penting kecakapan dalam kepemimpinan, meskipun secara
historis terdapat sejumlah pengecualian akan hal tersebut. Tetapi pengikut Ali,
pada saat itu, merasa bahwa klaim mereka telah direbut secara tidak adil.
Selanjutnya Umar
ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai penggantinya, menjadi khalifah kedua yang
kemudian dilanjutkan oleh Usman. Setelah Usman terbunuh oleh pemberontak yang
mengatasnamakan diri mereka sebagai anti depotisme keluarga Umayah, Ali
kemudian diangkat menjadi khalifah keempat pada tahun 35H/656M.
Perjalanan
sejarah menunjukkan bahwa peristiwa pembunuhan khalifah ke-3 Usman Bin Affan,
telah melahirkan rentetan sejarah yang sangat panjang dan membawa dampak pada
khalifah setelahnya, Ali bin Abi Thalib. Di antaranya adalah penolakan
Muawiyah, gubernur Damaskus atas Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, dengan alasan
bahwa Ali tidak melakukan pengusutan terhadap pembunuhan Usman. Ketegangan
antara Ali dan Muawiyah ini berbuntut dengan terjadinya perang Siffin yang
berakhir dengan peristiwa arbitrase (tahkim), yang dianggap sebagai titik temu
penyelesaian persengketaan yang terjadi antara khalifah (Ali Bin Abi Thalib)
dengan Muawiyah.
Namun peristiwa
itu justru melahirkan berbagai reaksi dan aksi, seiring dengan tidak bisanya
menyatukan pemikiran dan pendapat dari masing-masing kelompok. Pada akhirnya
membuat umat menjadi bagian-bagian (firqah-firqah). Sejarah mencatat, bermula
dari perpecahan politik ini, pada kelanjutannya melahirkan aliran-aliran
teologi dalam Islam.
Aliran yang
paling terkenal dengan peristiwa ini adalah Khawarij yang muncul sebagai
pasukan yang keluar dari barisan Ali atau memisahkan diri sebagai bentuk protes
terhadap keputusan Ali dan pada saat yang bersamaan juga muncul satu golongan
yang tetap setia mendukung Ali bin Abi Thalib, yang pada berikutnya terkenal
dengan nama Syi’ah, yang dalam perekembangnya hadir sebagai sebuah aliran yang memiliki
konsep dan ajaran tersendiri.
Dalam
perkembangannya, Syi’ah dapat diterima oleh banyak kalangan namun dengan banyak
perbedaan dan perpecahan yang melahirkan sekte yang tidak sedikit dalam Syi’ah
itu sendiri. Tetapi sekalipun Syi’ah terpecah kepada beragam sekte, namun
mereka mempunyai keyakinan yang sama pada umumnya, yang merupakan ciri Syi’ah
secara menyeluruh.
3. Doktrin Ajaran
Dalam Syi'ah
terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu'uddin
(masalah penerapan agama). Syi'ah memiliki Lima Ushuluddin:
b.
Al-‘Adl, bahwa Allah
SWT adalah Maha Adil.
c.
An-Nubuwwah, bahwa
kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari
Tuhan kepada umat manusia
d.
Al-Imamah, bahwa Syiah
meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai penerus risalah
kenabian.
e.
Al-Ma'ad, bahwa akan
terjadinya hari kebangkitan.
Dimensi ini
merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menginformasikan bahwa
Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal
dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah tidak
terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini
atau akan datang). Dimensi ketuhanan ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al
Qur’an yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu
termasuk menciptakan Takdir.
Dialah Yang Awal
dan Yang Akhir ,Yang Zhahir dan Yang Bathin [QS. Al Hadid (57) :3]. Allah tidak
terikat ruang dan waktu, bagi-Nya tidak memerlukan apakah itu masa lalu, kini
atau akan datang). Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh
telah menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2] Apakah kamu tidak tahu
bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya
itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah [QS.
Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5)
:17] Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya
[QS. Al-An'am (6) :149] Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat
(37) :96] Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31)
:22]. Allah yang menentukan segala akibat. Dia (Allah) telah menciptakan segala
sesuatu dan sungguh telah menetapkannya (takdirnya) [QS. Al-Furqaan (25) :2]Apakah
kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan
bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat
mudah bagi Allah [QS. Al-Hajj (22) :70] Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya [QS. Al-Maa'idah (5) :17] Kalau Dia (Allah) menghendaki maka
Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya [QS. Al-An'am (6) :149] Allah
menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat [QS. As-Safat (37) :96] Dan hanya
kepada Allah-lah kesudahan segala urusan [QS. Luqman (31) :22]. Allah yang
menentukan segala akibat. nabi sama seperti muslimin lain.
I’tikadnya
tentang kenabian ialah:
a.
Jumlah nabi dan rasul
Allah ada 124.000.
b.
Nabi dan rasul terakhir
ialah Nabi Muhammad SAW.
c.
Nabi Muhammad SAW suci
dari segala aib dan tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh
Nabi yang ada.
d.
Ahlul Baitnya, yaitu
Ali, Fatimah, Hasan, Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah
manusia-manusia suci.
4. Tokoh
a.
Abu Dzar al Ghiffari
b.
Miqad bin Al aswad
c.
Ammar bin Yasir
5. Sekte
Syi'ah terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya
tiga sekte yang masih ada sampai sekarang, yakni:
a. Dua Belas Imam
Disebut juga
Imamiah atau Itsna 'Asyariah (Dua Belas Imam); dinamakan demikian sebab mereka
percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada dua
belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam mereka
yaitu:
b. Ismailiyah
Disebut juga
Tujuh Imam; dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya tujuh
orang dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah
Isma'il. Urutan imam mereka yaitu:
c. Zaidiyah
Disebut juga
Lima Imam; dinamakan demikian sebab mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin
Husain bin 'Ali bin Abi Thalib. Mereka dapat dianggap moderat karena tidak
menganggap ketiga khalifah sebelum 'Ali tidak sah. Urutan imam mereka yaitu:
5)
Zaid
bin Ali (658–740),
juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain
dan saudara tiri Muhammad al-Baq
D. Aliran Jabariyah
1. Pengertian
Secara bahasa Jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian memaksa. Di dalam
kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata jabara
yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Salah satu
sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa.
Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia
dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia
mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Menurut Harun
Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia
telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya adalah bahwa
setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia,
tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak
mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak memiliki kemampuan. Ada yang
mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran manusia menjadi wayang dan Tuhan
sebagai dalangnya.
Menurut catatan
sejarah, paham jabariyah ini di duga telah ada sejak sebalum agama Islam
datangke masyarakat arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir
sahara telah memberikan pengaruh besar terhadap hidup mereka, dengan keadaan yang
sangat tidak bersahabat dengan mereka pada waktu itu. Hal ini kemudian
mendasari mereka untuk tidak bisa berbuat apa-apa, dan menyebankan mereka
semata-mata tunduk dan patuh kepada kehendak tuhan.
2. Latar Belakang
Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah
tidak adanya penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini
muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama
membicarakan tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika
berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Adapaun tokoh
yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan al-Qasimi adalah Jahm bin
Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran
Qadariayah.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah
muncul sejak sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa
Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar
dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air
yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan
kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh
hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya
musim serta keringnya udara.
Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian
masyatalkat arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka
sesuai dengan kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam,
sehingga menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.
3. Doktrin Ajaran
Adapun ajaran-ajaran Jabariyah
dapat dibedakan berdasarkan menjadi dua kelompok, yaitu ekstrim dan moderat.
a. Aliran ekstrim.
Diantara
tokoh adalah Jahm bin Shofwan dengan pendaptnya adalah bahwa manusia tidak
mempu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak
sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini
lebih dikenal dibandingkan dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep
iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan, dan melihat Tuhan di akherat. Surga
dan nerka tidak kekal, dan yang kekal hanya Allah. Sedangkan iman dalam
pengertianya adalah ma'rifat atau membenarkan dengan hati, dan hal ini sama
dengan konsep yang dikemukakan oleh kaum Murjiah. Kalam Tuhan adalah makhluk.
Allah tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar,
dan melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat
kelak. Aliran ini dikenal juga dengan nama al-Jahmiyyah
atau Jabariyah Khalisah.
Ja'ad
bin Dirham, menjelaskan tentang ajaran pokok dari Jabariyah adalah Al Qur’an adalah makhluk dan sesuatu yang baru dan tidak
dapat disifatkan kepada Allah. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan
makhluk, seperti berbicara, melihat dan mendengar. Manusia terpaksa oleh Allah
dalam segala hal.
Dengan
demikian ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak
berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak
dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan
dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah.
Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
b. Aliran Moderat
Menurut
Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik itu positif atau negatif, tetapi
manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia
mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Manusia juga tidak dipaksa, tidak
seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan. Tokoh
yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad an-Najjar yang mengatakan
bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil
bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu dan Tuhan tidak
dapat dilihat di akherat. Sedangkan adh-Dhirar (tokoh jabariayah moderat
lainnya) pendapat bahwa Tuhan dapat saja dilihat dengan indera keenam dan
perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pihak.
Dasar pemahaman pada aliran jabariyah ini
dijelaskan Al Qur’an diantaranya :
QS. Al-saffat; 96
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
QS. Al
Insan; 30
“Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Selain ayat-ayat Al Qur’an di atas, benih-benih faham Jabariyah juga dapat dilihat dalam
beberapa peristiwa sejarah:
a. Suatu
ketika Nabi menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir
Tuhan, Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah
Umar bin al-Khaththab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi,
pencuri itu berkata "Tuhan telah
menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali dan
menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua jenis
hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri dan
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
c. Ketika
Khalifah Ali bin Abu Thalib ditanya tentang qadar
Tuhan dalam kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan (menuju perang
siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai
balasannya”. Kemudian Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan
bukanlah sebuah paksaan. Pahala dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal
perbuatan manusia. Kalau itu sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa,
gugur pula janji dan ancaman Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan
tidak ada celaan bagi orang berbuat dosa.
d. Adanya
paham Jabariyah telah mengemuka
kepermukaan pada masa Bani Umayyah yang tumbuh berkembang di Syiria.
4. Tokoh
a. Jahm
bin Shafwan
b. Al-Ja’ad
Bin Dirham
c. Husain Bin Muhammad
Al Najjar
d. Dirar Ibn ‘Amr.
E. Aliran Qadariyah
1. Pengertian
Pengertian Qadariyah secara etomologi, berasal dari
bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan.
Adapun secara termenologi istilah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diinrvensi oleh Allah. Aliran-aliran ini berpendapat
bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Aliran ini lebih
menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbutan-perbutannya.
Harun Nasution
menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian bahwa manusia menusia
mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Menurut Ahmad
Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah
adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan
memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
2. Latar Belakang
Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui
secara pasti dan masih merupakan sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad
Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali
dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi sekitar tahun 70
H/689M.
Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, aliran Qadariyah
pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen,
kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan,
demikian juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt
menemukan dokumen lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab ar-Risalah dan ditulis untuk
Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700 M.
Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah
dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul
Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah
dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam
perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah
itu tertampung dalam Muktazilah.
3.
Doktrin Ajaran
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas
perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan
kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam
menyatakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat
berkuasa atas segala perbuatannya.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas
pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas,
orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakannya.
Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum yang dipakai oleh bangsa
Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut
nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian
takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta
seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah
sunnatullah.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir
yang tidak dapat diubah. Manusia dalam demensi fisiknya tidak dapat bebruat
lain, kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan
kecuali tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu berenang di lautan lepas.
Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa
barang seratus kilogram.
Menurut Dr.
Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul
Islam, menyebut pokok-pokok ajaran qadariyah sebagai berikut :
a.
Orang yang berdosa
besar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu
masuk neraka secara kekal.
b.
Allah SWT. Tidak
menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang
menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik
(surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka)
atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah
berhak disebut adil.
c.
Kaum Qadariyah
mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak
memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat
yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui,
berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri.
d.
Kaum Qadariyah
berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang
buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada
yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk.
Selanjutnya
terlepas apakah paham qadariyah itu
di pengaruhi oleh paham luar atau tidak, yang jelas di dalam Al Qur’an dapat di
jumpai ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham qadariyah.
Dalam QS. Al
Ra’ad ; 11,
“Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka merobah keadaan diri mereka sendiri”
QS. Al-Kahfi ;
29
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir”.
4. Tokoh
a.
Ma’bad Al-Juhani
b.
Ghailan al Dimasyqi
F. Aliran Mu’tazilah
1. Pengertian
Perkataan Mu’tazilah
berasal dari kata “Í’tizal” yang
artinya “memisahkan diri”, pada
mulanya nama ini di berikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya,
Washil bin Atha’, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan
al-Bashri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh
pengikut Mu’tazilah dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi
mereka.
Ada beberapa
pandangan, mengapa mereka disebut mu’tazilah, yaitu kelompok atau orang yang
mengasingkan dan memisahkan diri.
Pendapat pertama,
pemisahan mereka lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana
mereka menamakan diri dengan Mu’tazilah ketika Hasan bin ‘Ali membai’at
Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri
dari Hasan, Mu’awiyah dan semua orang. Mereka menetap di rumah-rumah dan
masjid-masjid. Mereka berkata: “kami bergelut dengan ilmu dan ibadah.”
Pendapat kedua,
pemisahan mereka lebih disebabkan karena perdebatan (i’tizâl kalâmi) mengenai
hukum pelaku dosa besar antara Imam Hassan al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’
yang hidup pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdil Malik al-Umawy.
2. Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih 120 H, pada abad
permulaan kedua hijrah di kota basyrah dan mampu bertahan sampai sekarang,
namun sebenarnya, aliran ini telah muncul pada pertengahan abad pertama hijrah
yakni diisitilahkan pada para sahabat yang memisahkan diri atau besikap netral
dalam peristiwa-peristiwa politik. Yakni
pada peristiwa meletusnya perang jamal dan perang siffin, yang kemudian
mendasari sejumlah sahabat yang tidak mau terlibat dalam konflik tersebut dan
memilih untuk menjauhkan diri mereka dan memilih jalan tengah.
Disisi lain, yang melatarbelakangi munculnya Aliran
Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan
Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul
karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang
pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar.
Dari segi
geografis, aliran Mu’tazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mu’tazilah Basrah
dan aliran Mu’tazilah Baghdad. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh
A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mu’tazilah Baghdad lebih
nampak, karena adanya kegiatan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan
juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat
pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain.
Aliran Basrah
lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad
sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mu’tazilah dan banyak
terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil
soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.
3. Doktrin Ajaran
Ada lima prinsip pokok ajaran Mu’tazilah yang
mengharuskan bagi pemeluk ajaran ini untuk memegangnya, yan dirumuskan oleh Abu
Huzail al-Allaf :
a.
Al
Tauhid (keesaan Allah)
Ini merupakan inti akidah madzhab mereka
dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti,
dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an
adalah makhluq.
Dalam buku Ahmad Hanafi M.A., Theology
Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum
Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai berikut:
“Tuhan
itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs),
bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil
tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq
yang menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak
pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera…tidak dapat dilihat mata kepala
dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa dan
hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan
orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang
Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan
tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b.
Al
‘Adl
(keadlilan tuhan)
Paham keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah
adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan
manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya dan meninggalkan
larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan Tuhan pada diri
manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang
dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan
tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan pemahaman demikian, maka tidaklah
adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa manusia karena perbuatan dosanya,
sementara perbuatan dosanya itu dilakukan karena diperintah Tuhan. Tuhan
dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat buruk atas kemauannya sendiri.
c.
Al
Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du
Wal-Wa’id (janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi
janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku
kebaikan agar dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar
(walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di
dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka
disebut dengan Wa’idiyyah
d.
Al
Manzilah bain al Manzilatain (posisi diantara posisi)
Secara harfiah, berarti posisi diantara
dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya adalah suatu tempat antara surga dan
neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman yang mengatakan bahwa pelaku dosa
besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman dan tidak pula dikatakan kafir, dia
tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum
munafiq, karena sesungguhnya munafiq berhak dihukumkan kafir seandainya telah
diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah yang demikian itu dihukumkan kepada
pelaku dosa besar.
e.
Amar
ma’ruf nahi mungkar
Dengan berpegang kepada QS. Ali Imran ; 104
dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya golongan lain bahwa perintah untuk berbuat
baik dan larangan untuk berbuat jahat adalah wajib ditegakkan.
Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan
normal pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan
nahyu ‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan
tertentu perlu kekerasan.
Dalam memastikan terlaksananya prinsif
ini, mereka bertindak berlebih-lebihan dan berselisih pandangan dengan
mayoritas (jumhur) ummat; mereka mengatakan al-amru
bil ma’rûf wan nahyu ‘anil munkar itu dilakukan dengan hati saja bila itu
cukup, jika tidak cukup maka dengan lisan, dan jika dengan lisan saja tidak
cukup maka dengan tangan, bahkan dilaksanakan dengan senjata.
4. Tokoh
a.
Washil bin Atha’
b.
Abu Huzail Al Allaf
c.
Al Nazzam
d.
Abu Hasyim Al Jubba’i
G. Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/Sunni
Ahlussunnah berarti
penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jemaah berarti sahabat
nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah
mengandung arti “penganut Sunnah
(ittikad) nabi dan para sahabat beliau. Aliran ini, muncul sebagai reaksi setelah
munculnya aliran Asy’ariyah
dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran
Mu’tazilah.
Tokoh utama yang
juga merupakan pendiri mazhab ini adalah Abu Al Hasan Al Asy’ari dan Abu Mansur
Al Maturidi. Dua tokoh Sunni ini
kemudian dalam perkembanganya ajaran mereka menjadi doktrin penting dalam
aliran Sunni yakni aliran Asy’ariyah
dan aliran Maturidiyah.
Sebagai aliran
yang se zaman, keduanya termasuk dalam
aliran Ahlussunnah. Terkait
kepemimpinan para khalifah setelah Nabi saw sesuai urutan historis yang telah
terjadi, keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam
pandangan mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan Bani Abbas. Dalam semua
sisi masalah imamah pun mereka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa
Allah bisa dilihat tanpa kaif
(cara), had (batas),
qiyam (berdiri) wa qu`ud (duduk) dan
hal-hal sejenisnya.
1.
Aliran Asy’ariyah
a. Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah
paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al Asy`ariy. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari.
Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia
menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al Asya’ari
dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad
pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih
madzhab Syafi’i di Masjid Al Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i,
seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya
meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al Jubba’i, salah seorang
pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan
kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi
senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al Asy’ari yang
semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang
ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut
jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah.
Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan
Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain
mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi
dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang
mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi
beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang
kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang
ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah,
Al Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan
taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul
Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan
menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada
pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang
pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan
menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah,
Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al Qur’an,
Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam
ahli hadits.
b. Latar Belakang
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab
tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada
waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat
yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan
tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al Asy‘ari
adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat
ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau
kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari
ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada
saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al Asy'ari adalah bahwa mereka
begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk
pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham
Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An Nidzamiyah,
baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di
Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para
fuqaha mazhab Asy Syafi'i dan mazhab Al Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga
wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy'ariyah ini adalah akidah yang
paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
c. Doktrin Ajaran
1)
Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di
dalam Al Qur’an, yang di sebut sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri
diatas zat tuhan. Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari
zatnya.
2)
Al Qur’an.
Menurutnya, Al Quran adalah qadim dan bukan makhluk diciptakan.
3)
Melihat Tuhan.
Menurutnya, Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di
akhirat nanti.
4)
Perbuatan Manusia.
Menurutnya, perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di
ciptakan oleh manusia itu sendiri.
5)
Keadlian Tuhan
Menurutnya, tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk
menentukan tempat manusia di akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak
tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa atas segalanya.
6)
Muslim yang berbuat
dosa.
Menurutnya,
yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan
tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari
yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli
sunnah wal jamaah ialah Imam Al Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung
kembali pada paham-paham Asy’ari. Al Ghazali meyakini bahwa:
1) Tuhan mempunyai
sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2) Al Qur’an bersifat
qadim dan tidak diciptakan.
3) Mengenai perbuatan
manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4) Tuhan dapat
dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5) Tuhan tidak
berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib
memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak
dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali
paham Asy’ari dengan Ahl sunah wal jamaahnya
berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat
kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah.
d. Tokoh
1)
Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
2)
Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
3)
Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
4)
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
5)
Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
2.
Aliran Maturidiyah
a. Pengertian
Aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi yang bercorak
rasional-tradisional. Nama aliran itu dinisbahkan dari nama pendirinya, Abu
Mansur Muhammad al-Maturidi. Al Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim
keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Muktazilah dan
Asy'ariyah mengenai kemampuan akal manusia. Aliran ini disebut-sebut memiliki
kemiripan dengan Asy'ariyah.
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan
kepada Abu Mansur Al Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan
dalil aqli kalami. Aliran Maturidiyah
digolongkan dalam teologi Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran yang
bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah,
aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal
manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran
Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak
bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’,
maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai
penafsiran Al Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan
nash dalam penafsiran Al Qur’an. Dalam menfsirkan Al Qur’an Al Maturidi membawa
ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya)
pada makna yang muhkam (terang dan jelas
pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih
berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam.
Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka
bersikap menyerah adalah lebih selamat.
b. Latar Belakang
Aliran Maturidiyah lahir di samarkand,
pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn
Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan
mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut
mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya
juga bermazhab Hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut
Abu Hanifa sehingga paham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham
yang dipegang Abu Hanifa. Sistem pemikiran aliran maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak menggunakan
rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al Maturidi
sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi terhadap
mu’tazilah.
Dalam Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve,
disebutkan, pada pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara
golongan Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap
menyesatkan umat Islam. Al Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri
dalam pertentangan tersebut dengan mengajukan pemikirannya.Pemikiran-pemikiran Al
Maturidi dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah,
tetapi juga aliran Asy'ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu
merupakan jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy'ariyah. Karena itu,
aliran Maturidiyah sering disebut “berada antara teolog Muktazilah dan
Asy'ariyah”.Namun, keduanya (Maturidi dan Asy'ari) secara tegas menentang
aliran Muktazilah.
c. Doktrin Ajaran
1)
Akal dan Wahyu
Al Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an
dan akal, akal banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam
Abu Hanifah. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui
Tuhan dapat diketahui dengan akal. Hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Qur’an
yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya untuk memperoleh
pengetahuan dan keimanannya terhadapAllah melalui pengamatan dan pemikiran yang
mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Jika akal tidak memiliki kemampuan
tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk
melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman
dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan kewajiban yang
diperintahkan oleh ayat-ayat tersebut Namun akal, menurut Al Maturidi tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang lain.
Dalam masalah amalan baik dan buruk, beliau berpendapat
bahwa penentu baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri,
sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti kemampuan akal
mengenai baik dan buruknya sesuatu, walau ia mengakui bahwa akal terkadang
tidak mampu melakukannya. Dalam kondisi ini, wahyu dijadikan sebagai
pembimbing.
Al Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga
macam, yaitu :
a) Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
b) Akal
dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu,
c) Akal
tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan Maturidiyah
memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah, namun tentang kewajiban melakukan kebaikan
dan meninggalkan keburukan Maturidiyah berpendapat bahwa ketentuan itu harus
didasarkan pada wahyu.
2)
Perbuatan Manusia
Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah, karena segala
sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia,
kebijaksanaan dan keadilan kehendak Allah mengharuskan manusia untuk memiliki
kemampuan untuk berbuat (ikhtiar) agar kewajiban yang dibebankan kepadanya
dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
manusia dengan qudrat Allah sebagai pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta
daya (kasb) dalam setiap diri manusia dan manusia bebas memakainya, dengan
demikian tidak ada pertentangan sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar
manusia.
Dalam masalah pemakaian daya ini Al Maturidi memakai faham
Imam Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan ridha (kerelaan).
Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk tetap berada dalam
kehendak Allah, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak
diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan
Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Allah, dan berbuat buruk pun
dengan kehendak Allah, tetapi tidak dengan kerelaan-Nya.
3)
Kekuasaan dan Kehendak
Mutlak Tuhan
Penjelasan di atas menerangkan bahwa Allah memiliki
kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini tidak
berarti bahwa Allah berbuat sekehendak dan sewenang-wenang. Hal ini karena
qudrat tidak sewenang-wenang (absolute), tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu
berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.
4)
Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama, bashar, kalam,
dan sebagainya. Al Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai
esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah
(ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha
lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Sifat tidak berwujud
tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa kepada
bilangannya yang qadim (taadud
al-qadama).
Tampaknya faham tentang makna sifat Tuhan ini cenderung
mendekati faham Mu’tazilah, perbedaannya terletak pada pengakuan terhadap
adanya sifat Tuhan.
5)
Melihat Tuhan
Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan,
hal ini diberitakan dalam. QS. Al Qiyamah ayat 22 dan 23 :
“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.”
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat
dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial.
Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di
sana beda dengan dunia.
6)
Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan
huruf dan bersuara denagn kalam nafsi
(sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu
(hadits). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah
bersifat dengannya, kecuali dengan suatu perantara.
Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah mengenai Al Qur’an
sebagai makhluk Allah, tapi Al Maturidi lebih suka menyebutnya hadits sebagai
pengganti makhluk untuk sebutan Al Qur’an.
7)
Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang
memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena da hikmah dan keadilan
yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas
dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut
antara lain:
Tuhan tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan
manusia, karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia
diberikan kebebasan oleh Allah dalam kemampuan dan perbuatannya,
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8)
Pengutusan Rasul
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa
mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah
membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak
jauh dengan pandangan Mu’tazilah, yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat
adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam
hidupnya.
9)
Pelaku Dosa Besar
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir
dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini
karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10) Iman
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah
Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan semata iqrar bi al-lisan. Al Qur’an surat
Al-Hujurat ayat 14 :
“Orang-orang
Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman,
tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang’."
Ayat tersebut difahami sebagai penegasan
bahwa iman tidak hanya iqrar bi al-lisan, tanpa diimani oleh qalbu. Lebih
lanjut Al Maturidi mendasarkan pendapatnya pada QQS. Al Baqarah ; 260,
“Dan
(ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku
bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman:
"Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah
meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah
berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah
semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu
bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya
mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Dalam ayat tersebut, bukan berarti bahwa
Nabi Ibrahim belum beriman, tetapi beliau menginginkan agar keimanannya menjadi
keimanan ma’rifah. Ma’rifah didapat melalui penalaran akal. Adapun pengertian
iman menurut golongan Bukhara, adalah tashdiq bi al-qalb dan iqrar bi al-lisan,
yaitu meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul
yang diutus-Nya dengan membawa risalah serta mengakui segala pokok ajaran islam
secara verbal.
d. Madzhab Aliran Maturidiyah
1) Golongan Samarkand.
Golongan ini dalah pengikut Al Maturidi sendiri, golongan
ini cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal
sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut
maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya,
melainkan dengan pengetahuannya.
Begitu juga tuhan berkuasa dengan zatnya. Mengetahui
perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat dengan golongan mu’tazilah,
bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan perbuatan-perbutannya. Apabila ditinjau
dari sini, maturidi berpaham qadariyah. Maturidi menolak paham-paham
mu’tazilah, antara lain maturidiyah tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah
yang mengatakan bahwa Al Qur’an itu makhluk. Aliran maturidi juga sepaham
dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa
al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi. Demikian pula
masalah antropomorphisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa tangan wajah tuhan,
dan sebagainya seperti pengambaran Al Qur’an. Mesti diberi arti kiasan
(majazi). Dalam hal ini. Maturidi bertolak belakang dengan pendapat asy’ary
yang menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menggambarkan tuhan mempunyai bentuk
jasmani tak dapat diberi interpretasi (ditakwilkan).
2) Golongan Buhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi.
Dia merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya. Nenek Al Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang
tuanya, Al Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan demikian yang di
maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al
Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al Asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliran maturidiyah. Al Bazdawi tidak
selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh
sebagin umat Islam yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran maturidiya
sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Warson Munawir, Al Munawi Kamus
Bahasa Arab. Indonesia, Ponpes Al-Munawir, Yogyakarta, 1984.
Anwar, Rohison dan Abdul Rozak. Ilmu Kalam Untuk IAIN,
STAIN, PTAIS. Bandung : Pustaka Setia. 2001.
Asmuni,
Yusran, Ilmu Tauhid,
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1996Nata, Abuddin, Ilmu kalam, Filsafat, dan tasawuf, Jakarta:
PT Raja Grafindo
Persada, 1995Zainuddin, H, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1992
Persada, 1995Zainuddin, H, Ilmu Tauhid, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1992
Daudy,
Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)
Ensiklopedi
Islam (S-Z), penerbit PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Penyusun: Dewan
Redaksi. buku 5
Hadariansyah,
AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,
(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)
Hussain
Affandi al-Jisr, al-Hushumul Hamidiyah, Ahmad Nabhan, Surabaya, 1970.
Ibnu Kathir :
Malapetaka Bakal Menimpa Menjelang Kiamat; Darul Fajr,
cetakan ke 2 ; 2004 Ustaz Jaafar Salleh : 3 Tokoh Bakal Menakluk Dunia; Pustaka Azhar, 2009
cetakan ke 2 ; 2004 Ustaz Jaafar Salleh : 3 Tokoh Bakal Menakluk Dunia; Pustaka Azhar, 2009
James W. Morris. This is an unrevised, pre-publication
version of an article or translation which has subsequently been published,
with revisions and corrections as Section II (‘At the End of Time’) in Ibn 'Arabī: The Meccan
Revelations (co-author
with W. Chittick), New York, Pir Press, 2002
Kitab
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka At-Taqwa, Cetakan I
Maghfur,
Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil:
al-Izzah, 2002)
Nasir, Salihun. Pengantar Ilmu Kalam. Jakarta : Rajawali
Pers. 1991.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press
Nata,
Abuddin. Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta : Rajawali Pers. 1993.
Prof.Dr H. Mahmud
Yunus: Tafsir Quran Karim; Klang Book Centre, 1992 Imam Imam Muslim: Tarjamah
Shahih Muslim Jilid IV; CV Asy Syifa Semarang, 1993
Raji
Abdullah, M. Sufyan. Lc, Mengenal Aliran-Aliran Dalam Islam Dan Ciri-Ciri
Ajarannya, Jakarta, Pustaka Al-Riyadl, 2006.
Syech
Muhammad Abduh, Risalah
Tauhid, Terjemah KH. Firdaus, AN-PN Bulan Bintang, Jakarta
Cetakan Pertama, 1963.
Tafsir
alqur’an Departemen Agama Republik Indonesia. Tim Tashih Drs. HA. Hafizh
Dasuki, MA dkk
Tim,
Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve, 1997)
bagus, terima kasih, jazakumullah khairan, amin
BalasHapus