Buat istriku yang kucinta, semoga engkau berbahagia..
Aku tidak tahu dari mana harus memulai menuliskan beberapa rumpun
kalimat buatmu, wahai istriku. Aku juga tidak tahu apakah kepolosanku
dan ketulusanku ini akan mendapat sambutanmu. Tapi aku tiada pedulikan
itu. Yang pasti, aku hanya ingin engkau tahu bahwa aku adalah suamimu.
Aku tahu bahwa sebagai suami ternyata aku sangat membutuhkanmu, aku katakan ini sejujurnya. Lalu
apakah engkau juga sangat membutuhkan aku,
suamimu, wahai istriku?
Maafkan aku atas pertanyaan ini. Bukan aku meragukan cintamu padaku, aku
hanya ingin meyakinkan diriku. Sebab, kebanyakan istri kerabat maupun
sahabat-sahabatku pun sangat besar rasa butuhnya terhadap suami mereka.
Oleh sebab itulah aku mencarimu untuk kujadikan istri, sebab engkau
adalah seorang wanita yang sholihah, lembut, sopan santun, mulia,
bertakwa, suci, menjaga diri dan penuh kasih sayang.
Istriku, aku tidak segan-segan berterus terang kepadamu,
meski hanya dalam bentuk goresan tinta kita ini di atas lembaran kertas
yang juga milik kita, bahwa aku sangat membutuhkanmu. Dan aku tidak
menginginkan dari itu semua selain agar tumbuh rasa dalam dada kita
berdua akan pentingnya saling menjaga hubungan baik di antara kita. Dan
bahwa hubungan yang baik itu jauh lebih mulia daripada kita
berlomba-lomba dengan maksud agar diketahui siapa di antara kita berdua
yang lebih unggul. Aku berharap engkau pun telah memahaminya.
Istriku, jujur aku katakan bahwa keberadaanmu sebagai istri
bagiku kurasakan sangat penting bagi diriku, akalku, hati serta jiwaku.
Bahkan sangat penting bagi kehidupanku juga setelah kematianku. Maka
kutuliskan suratku ini untukmu, semoga engkau benar-benar mengerti
betapa tingginya kedudukanmu sebagai seorang istri, betapa beratnya
wasiat agama kita yang telah dibebankan kepadaku setelah aku menikahimu,
dan betapa berartinya dirimu bagiku, suamimu.
Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau laksana permata yang
sangat berharga yang tadinya aku tak tahu dimana engkau berada dan ke
mana aku harus mencari. Sungguh dunia ini penuh dengan perhiasan, sampai
aku tidak kuasa memilih perhiasan mana yang harus kuambil untuk
kumiliki, sampai akhirnya Alloh azza wajalla memberikan petunjuk
kepadaku, suamimu ini, yang telah payah dan lelah mencarimu sampai
akhirnya aku menemukanmu dan menjadikanmu sebagai istri. Aku memuji
Alloh azza wajalla dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya subhanahu
wata’ala. Aku tidak mengada-ada untuk sekedar membesarkan hatimu, namun
begitulah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyatakannya.
إِنَّمَا الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَلَيْسَ مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا شَيْءٌ أَفْضَلَ مِنْ الْمَرْأَةِ الصَّالِحَةِ
“Dunia ini tiada lain hanyalah perhiasan, dan tak ada
satu pun dari perhiasan dunia ini yang lebih utama daripada seorang
istri yang sholihah.”[1]
Semoga engkau mengerti ini…
Istriku, jujur kukatakan, bagiku engkau adalah sumber kebahagiaan dan
penderitaanku. Engkau adalah penghias rumah tempat tinggalku dan
kendaraan mewahku, dan engkau adalah sebaik-baik tetanggaku. Aku memuji
Alloh azza wajalla dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya subhanahu
wata’ala. Aku tidak mengada-ada untuk mendapat tempat di hatimu, namun
begitulah Rosululloh shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkannya.
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ : الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ ، وَ الْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ ، وَ الْجَارُ الصَّالِحُ ، وَ الْمَرْكَبُ الْهَنِيْءُ . وَ أَرْبَعٌ مِنَ الشَّقَاءِ : الجْاَرُ السُّوْءُ ، وَ الْمَرْأَةُ السُّوْءُ ، وَ الْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ وَالْمَرْكَبُ السُّوْءُ” .
“Ada empat hal yang termasuk kebahagiaan; istri sholihah,
rumah yang lapang nan luas, tetangga yang sholih dan kendaraan yang
nyaman. Dan ada empat hal yang termasuk kesengsaraan; tetangga yang
jelek (akhlaknya), istri yang jelek (akhlaknya), rumah yang sempit dan
kendaraan yang tak nyaman.”[2]
Istriku, tahukah kau bahwa aku bisa berbahagia bersamamu dan
bisa sengsara lagi menderita olehmu? Bukan aku tidak percaya kepadamu
bahwa engkau akan membahagiakanku, tentunya engkau bisa memilih. Sebab,
aku sudah tahu engkau adalah seorang wanita yang memiliki kecerdasan,
apakah engkau akan menjadi sumber kebahagiaanku atau menjadi sumber
penderitaanku? Aku memuji Alloh azza wajalla dengan sebanyak-banyak
pujian bagi-Nya subhanahu wata’ala, aku berbahagia bersamamu di atas
keberkahan hidup bersamamu yang telah dianugerahkan kepadaku, tentunya
juga kepadamu. Aku merasa bahagia meski menurut orang lain aku sengsara,
aku tidak menyesali banyaknya penderitaan, namun aku sangat berharap
keberkahannya. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, jujur kukatakan bahwa tiada sebuah rumah pun yang
akan kupandang indah dan kurasa nyaman meski seluas apapun rumah itu
bila aku tinggal di dalamnya tanpamu. Aku memuji Alloh azza wajalla
dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya subhanahu wata’ala, sungguh aku
bangga padamu, istriku, karena kini aku rasakan rumahku begitu teduh,
tentram dan nyaman bagiku setelah engkau yang menjadi pendampingku sejak
pernikahan dulu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, jujur kukatakan, tiada kendaraan mewah yang nyaman
aku kendarai meski apapun jenisnya dan berapa rupiah pun harganya jika
engkau tidak bersamaku di atas kendaraan itu. Aku memuji Alloh azza
wajalla dengan sebanyak-banyak pujian bagi-Nya subhanahu wata’ala, sebab
aku merasa tiada tetangga yang berdampingan denganku saat ini, baik di
rumahku maupun di kendaraanku yang kurasakan kesholihannya selain
dirimu. Semoga engkau mengerti ini.
Istriku, sejujurnya kukatakan, bagiku engkau adalah ukuran
kebaikanku di duniaku. Semoga engkau tahu dan memahami ini. Betapa berat
amanah yang telah dipikulkan di atas pundakku setelah aku menikahimu.
Aku diwasiati untuk menjagamu, bahkan aku diingatkan sekali lagi dan
berikutnya dan berikutnya demi kebaikanmu. Aku mengetahui hal ini bukan
sekedar mengikuti perasaanku, juga bukan berdasarkan buaian mimpiku,
bukan pula dari lamunan dan khayalanku. Namun aku mengerti dan paham
lalu seyakin-yakinnya aku yakini dari sabda seorang manusia yang tidak
didustakan kabarnya dan tidak dimaksiati perintahnya shallallahu ‘alaihi
wasallam. Tahukah dirimu bahwa beliau telah menjadikan bagaimana caraku
mempergaulimu dalam kebersamaan ini sebagai tanda baik buruknya
akhlakku? Beliau pernah bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Kaum mukminin yang paling sempurna imannya ialah yang
paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik di antara kalian ialah
yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya””[3]
Oleh karenanya, istriku, aku tidak ingin menjadi seorang yang
berakhlak buruk sebab tidak bisa berbuat baik kepadamu, dan aku berharap
engkau membantuku agar aku bisa memperbaiki akhlakku, (yaitu) dengan
memudahkan caraku agar bisa berbuat baik kepadamu. Semoga engkau
mengerti ini.
Istriku, bila engkau mendapati kebaikanku, sesungguhnya aku
tidak berharap perhatianmu, aku juga tidak berharap pujianmu. Namun, aku
hanya ingin semoga Alloh azza wajalla menjadikanmu istri yang sholihah
yang berbuat baik kepadaku. Dan, bila engkau mendapatiku tidak berbuat
baik kepadamu, semoga kesholihanmu bisa membuka pintu maafmu bagiku, dan
semoga Alloh subhanahu wata’ala Yang di atas sana memaafkan
kekhilafanku.
Istriku, sebenarnya masih banyak yang ingin aku goreskan
dalam lembaran ini. Namun, aku cukupkan dengan mengatakan di ujung
suratku ini, bahwa pada akhirnya engkau adalah pelabuhan bahteraku yang
aku akan merasa tenang setelah tadinya jiwaku diliputi kecemasan dan
ketakutan akan dalam dan dahsyatnya gelombang samudra kehidupan saat
masih sendiri sebelum kehadiran seorang istri, dan bagiku ialah dirimu.
Aku memuji Alloh azza wajalla dengan sebanyak-banyak pujian kepada-Nya
azza wajalla, dan semoga Dia memberkahi hari-hari kita berdua, dalam
suka maupun duka.
Dari yang mencintaimu karena Alloh dan untuk Alloh subhanahu wata’ala, aku, suamimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar