Kamis, 11 September 2014



Materi 2

SEJARAH PENAFSIRAN AL QUR’AN

A.  Penafsiran Al Qur’an zaman Nabi SAW
1.     Kondisi Penafsiran zaman Nabi SAW
Walaupun bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari para pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah dengan hafalan semata. Karena hal inilah Nabi mengambil suatu cara praktis yang selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan dan memelihara Al Qur'an.
Setiap ayat yang diturunkan, Nabi menyuruh menghafalnya, dan menuliskannya di batu, kulit binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa dituliskan. Nabi menerangkan tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al Qur'an saja yang boleh dituliskan, selain dari Al Qur'an, Hadits atau pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk dituliskan. Larangan ini dengan maksud agar Al Qur'an itu terpelihara, jangan dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Pada masa nabi, masa diturunkannya Al Qur’an kepadanya dan beliau sendiri berfungsi sebagai mubayyin, the first enterpreter (pemberi penjelasan) kepada para sahabat-sahabatnya tentang kandungan dari pada ayat-ayat Al Qur’an khususnya menyangkut ayat-ayat yang masih samar dan tidak bisa di fahami oleh mereka, sebagaimana telah di gambarkan dalam Al Qur’an:  “Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS 16:44).
2.    Sumber Penafsiran
a.    Penafsiran Ayat dengan Ayat
Memang dalam satu bagian Al Quran terdapat ayat yang bersifat mujmal, akan tetapi pada bagian yang lain ditemukan ayat yang bersifat mubayyan , atau suatu ayat diturunkan dalam bentuk mutlaq atau ‘am kemudian diturunkan ayat lain yang berbentuk muqayyad atau mukhassis, dengan adanya macam-macam sifat dari ayat yang diturunkan dalam Al Qur’an tersebut para sahabat menggunakan satu ayat untuk memahami ayat yang lain. Metode penafsiran ini disebut dengan metode penafsiran Al Quran dengan Al Quran.
Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al Qur’an menyangkut sikap atau ucapan beliau yang dinilai Allah "kurang tepat", misalnya QS 9:42; 3:128, 80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan suatu kesalahan atau dosa).
Dari sini mutlak perlu untuk memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi tersebut ada yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai "orang-orang Yahudi", atau "quwwah" dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh, sebagai "panah".
Ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar", penafsiran itu adalah penafsiran muthabiq dalam arti sama dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60, tentang arti perintah berdoa, beliau menafsirkannya dengan beribadah. Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur". Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.
b.   Al Qur’an dengan Hadis
Ketika para sahabat mendapat kesulitan dalam memahami isi dari suatu ayat Al Quran, maka mereka akan mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan penjelasan dari beliau, seperti hadis dari Jabir ibn ‘Abdullah yang menyatakan:
Seorang Yahudi datang kepada Nabi saw. lalu berkata: “Wahai Muhammad, beritakan kepadaku tentang bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya.” Maka Nabi tidak menjawab sedikitpun sampai Jibril datang kepadanya, lalu ia memberitahukan kepadanya, kemudian Nabi mengirim utusan kepada orang Yahudi itu kemudian bertanya: “Apakah engkau beriman jika aku memberitahukkan kepadamu?” ia menjawab: “ya….”
Hadis dari Jabir tersebut, jelas berkaitan dengan firman Allah yang menyatakan: “…Wahai ayahanda, sesungguhnya aku melihat sebelas bintang, matahari dan bulan dalam mimpi, mereka bersujud kepadaku.”
Hadis pertama menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menfsirkan QS. Al-An’am (6): 82 dengan QS. Luqman (31): 13, atau dengan kata lain Rasulullah saw. telah menafsirkan Al Quran itu sendiri.
Hadis kedua menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menafsirkan QS. Yusuf (12): 4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya berkenaan dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang Yahudi itu; artinya Rasulullah saw. telah menafsirkan Al Qur’an dengan wahyu yang hakekatnya secara makna memang dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah dapat dipahami adanya perbedaan antara Al Quran dengan wahyu.  
Al Quran secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu yang ketiga seperti yang tertera dalam Al Qur’an surah al-Syura/42: 51. Artinya, Al Quran tidak mengandung wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa Al Quran adalah bentuk wahyu yang paling tinggi. Dalam Q.s. al-Syu’ara/26: 192-196
Dan sesungguhnya Al Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dibawa turun al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab yang terdahulu.
Contoh pada ayat ;
Sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejau-jauhnya (dari kebenaran).” (QS 4:27).
Pengertian dari ayat diatas masih sangat pelik sekali untuk dimengerti karena kemujmalannya, sehingga masih membutuhkan penjelasan dari ayat yang lain, oleh karena itu kita bisa mengerti maksud daripada orang-orang yang mengikuti hawa nafsu pada ayat di atas yaitu, orang-orang Ahli kitab berdasarkan firman Allah yang lain yaitu:
“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar).” (QS 4:44).
Ketika ada ayat, al-lazina amanu wa lam yalbisu imanahum bizhulm (orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dan kezaliman. QS. Al-Anam [6]: 82), banyak orang-orang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw.: “ya Rasulullah, siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Nabi menjawab: “Kezaliman disini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh, inna al-syirk lazhumun azim (sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar. QS. Luqman [31]: 13), jadi yang dimaksud disini adalah kemusyrikan.”

B.  Penafsiran Al Qur’an zaman Sahabat
1.     Kondisi Penafsiran zaman Sahabat
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat terpaksa melakukan ijtihad, terutama mereka yang mempunyai kemampuan seperti Ali bin Ali Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab dan Ibnu Mas’ud. Para sahabat dalam memahami Al Qur’an bedasarkan pengetahuan global karena Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka, sedang pemahaman mereka tentang detail-detailnya atas Al Qur’an memerlukan penjelasan dari Nabi berupa hadis-hadis Nabi.
Para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan Qur’an adalah  Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab Zaid bin Sabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan Aisyah.
2.    Ciri Tafsir zaman Sahabat
a.    Mereka tidak menafsirkan Al Qur’an secara keseluruhan
b.    Perbedaan penafsiran Al Qur’an di kalangan mereka relatif amat sedikit
c.    Penafsiran yang dilakukan para sahabat umumnya lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali (pengertian kosa kata secara global)
d.    Membatasi diri pada penjelasan makna-makna lughah (etimologis)
e.    Jarang menginstinbathkan hukum-hukum fiqhiyah dari ayat-ayat Al Qur’an
f.     Tafsir Al Qur’an sama sekali belum dibukukan
g.    Pada masa sahabat, penafsiran umumnya dilakukan dengan menguraikan hadist
3.    Sebab-sebab Perbedaan Penafsiran zaman Sahabat
Disamping  perbedaan tingkatan pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu sendiri. Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbezaan tingkatan para sahabat dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an ialah:
a.    Sekalipun para sahabat orang-orang Arab dan berbahasa Arab, tetapi pengetahuan mereka tentang bahasa Arab berbeza-beza, seperti berbeza-bezanya pengetahuan para sahabat tentang sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat dan sastra Arab Jahiliyah, kata-kata yang terdapat dalam Al Qur’an dan sebagainya. sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an berbeza-beza pula.
b.    Ada sababat yang sering mendampingi Nabi Muhammad saw, sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat Al Qur’an diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Pengetahuan tentang sebab-sebab Al Qur’an diturunkan itu, sangat diperlukan untuk mentafsirkan Al Qur’an. Kerana itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan mereka tentang sebab Al Qur’an diturunkan itu, lebih mampu mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an dibandingakan dengan yang lain.
Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut: Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab telah mengangkat Qudamah sebagai gabernur Bahrain. Dalam suatu peristiwa datanglah Jarud mengadu kepada Khalifah Umar, bahwa Qudamah telah meminum khamar dan mabuk. Umar berkata: "Siapakah orang lain yang ikut menyaksikan perbuatan tersebut?" kata Jarud:
"Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang telah kukatakan". Khalifah Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: "‘Ya Qudamah! Aku akan mendera engkau!". Lalu berkata Qudamah: "Seandainya aku meminum khamar sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada suatu alasan pun bagi engkau untuk mendera". Umar bertanya: "Kenapa?" jawab Qudamah: Kerana Allah telah berfirman dalam surat (5) Al Maaidah ayat 93 “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan rnengerjakan amalan yang saleh, kerana memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama Nabi Muhammad saw. dalam perang Badar, perang Uhud, perang Khandaq dan peperangan yang lain. Umar berkata: "Apakah tidak ada diantara kamu sekelian yang akan membantah perkataan Qudamah?". Berkata lbnu Abbas: "Sesungguhnya ayat 93 surah (5) Al Ma-aidah diturunkan sebagai melindungi umat di masa sebelum ayat 90 ini diturunkan, kerana Allah berfirman:
Surat (5) Al Maa-idah ayat 90 (yang bermaksud): "Hal orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum khamar, berjudi. (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk perbuatan syaitan. Kerana itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat keberuntungan (kejayaan)".
Berkata Umar: "Benarlah lbnu Abbas."
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa lbnu Abbas lebih mengetahui sebab-sebab dlturunkannya ayat 93 surah (5) Al Maa-idah dibanding dengan Qudamah. Sebab menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah ayat 90 surat (5) Al Maa'idah diturunkan, sahabat-sahabat saling menanyakan tentang keadaan para sahabat yang telah meninggal, padahal mereka dahulu sering meminum khamar seperti Sayidina Hamzah, bapa saudara Nabi yang gugur sebagai syuhadaa pada perang Uhud. Ada sahabat yang mengatakan bahawa Hamzah tetap berdosa kerana perbuatannya yang telah lalu itu. kerana itu turunlah ayat 93 surah (5) Al Maa-idah, yang menyatakan bahawa umat Islam yang meninggal sebelum turunnya ayat 90 surah (5) Al Maa'idah tidak berdosa kerana meminum khamar itu, tetapi umat sekarang berdosa meminumnya.
c.    Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan lebih dapat memahami ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan haji, dibanding dengan para sahabat yang kurang tahu.
d.    Perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat Al Qur’an diturunkan. Sebab suatu ayat diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu.
4.    Sumber Penafsiran zaman Sahabat
a.    Periwayatan Rasulullah (Hadis)
Pada saat Al Qur’an diturunkan, Rasul saw., yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Penjelasan Rasul tersebut terus dijadikan pedoman untuk menafsirkan Al Qur’an, baik yang bersumber dari penjelasan Al Qur’an itu sendiri maupun dari keterangan dalam Hadis
b.   Ijtihad Sahabat
Metode  penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab, pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al Qur’an.
Contoh lain, ijtihad yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Abbas dalam menafsiri ayat Al Qur’an:
“Dialah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain mu-tasyaabihaat.” (QS 3:7).
Menurut  Ibnu Abbas bahwa yang di maksud dengan ayat muhkamat adalah nasikh, halal dan haram, denda-denda, kewajiban, apa yang kita yakini dan kita laksanakan, yang terdapat dalam Al Qur’an. Adapun mutasyabihat yaitu mansukh dalam Al Qur’an, lafadz yang harus didahulukan,dan lafadz yang harus di akhirkan, I’tibar(contoh-contoh), sumpah, dan sesuatu yang telah kita yakini tetapi tidak di kerjakan.
c.    Israiliyat
Kata Israiliyat” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “Israiliyat” yang merupakan kata yang nisbahkan pada kata Israil berasal dari bahasa Ibrani, “Isra” berarti hamba dan”Il” berarti Tuhan. Dalam Al Qur’an nama “Israil” dipakai sebagai nama bagi Nabi Yaqub yang kepada beliau bangsa Yahudi dinisbahkan, dalam hal ini mereka disebut bani Isra’il.
Secara terminologi, ‘Isra’iliyat” merupakan semua cerita lama yang masuk kedalam tafsir yang bersumber dari Yahudi dan Nasrani. Bahkan sebagian ulama telah memperluas makna “Isra’iliyat” dengan cerita yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang bersumber dari Yahudi maupun yang bersumber dari orang lain, baik menyangkut agama mereka maupun tidak.

Dari beberapa pendapat para mufassir, tidaklah mengisyaratkan adanya larangan atau keharusan dalam mempergunakan keterangan-keterangan Isra’iliat sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak bertentangan dengan Al Qur’an, sunnah dan ra’yu (logika). Ibnu Abbas, misalnya meriwayatkan dari Ka’ab al-Ahbar, tafsir al-raqim dalam Q.s Al-Kahfi (18) : 9 dan tafsir sidrah al-muntaha dalam Qs. Al-Najm (53): 14. Demikian pula ‘Abdullah Ibn Amr diriwayatkan mengemukakan naskah-naskah dari ahli kitab dalam perang Yarmuk dan mengambil riwayat dari naskah tersebut dalam menafsirkan Al Qur’an.



5.    Nama-nama Mufassir zaman Sahabat
Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib , Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari , dan Abdullah bin Zubair

C.  Penafsiran al Qur’an zaman Tabi’in
1.     Kondisi Penafsiran zaman Tabi’in
Pada masa tabiin mufassir menggunanakan metode ijtihad dan ra’yu, dikarenakan di masa sahabat mereka hanya menafsirkan sebagian ayat Al Qur’an yang sulit untuk dipamahi di masa itu. Dimasa tabi'in, kebutuhan akan tafsir jauh lebih meningkat, dikarenakan semakin luasnya daerah kekuasaan Islam serta banyaknya orang non arab yang berbondong-bondong memeluk agama Islam.
Pada masa Tabi’in, hadis-hadis telah beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al Qur’an, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya.
Beragamnya corak penafsiran masa Tabi’in dipengaruhi oleh beberapa aspek, bahasa, wawasan pemikiran, perkembangan ilmu pengetahuan, tumbunhnya aliran (madzhab Fiqh), dan pengalamn beragama (tasawwuf).
a.    Banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al Qur’an.
b.    Pengaruh penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka.
c.    Pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
d.    Berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
e.    Timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
2.    Ciri Tafsir zaman Tabi’in
a.    Terkontaminasinya tafsir di masa ini dengan masuknya israiliat dan nasraniyat, yang bertentangan dengan akidah islamiyah yang dibawa masuk dalam kalangan umat islam dari kelompok Islam yang dahulunya Ahli kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka'ab Ahbar, Abdul Malik bin Abdul Ajiz ibnu Jariz.
b.    Tafsir pada zaman dahulu senantiasa terpelihara dengan metode talaqqi dan riwayat, akan tetapi pada zaman tabi’in metode dalam periwayatannya dengan metode global, sehingga berbeda dengan yang ada di zaman Rasulullah dan sahabat.
c.    Munculnya benih-benih perbedaan mazhab pada masa ini, sehingga implikasi sebagian tafsir digunakan untuk keperluan mazhab mereka masing-masing; sehingga tidak diragukan lagi ini akan membawa dampak bagi tafsir itu sendiri, seperti Hasan Al-bashry telah menafsirkan Al Qur’an dengan menetapkan qadar dan mengkafirkan orang yang mendustainya.
d.    Banyaknya perbedaan pendapat di kalangan para Tabi’in di dalam masalah tafsir, walaupun terdapat pula di zaman sahabat, namun tidak begitu banyak seperti di zaman tabi’in.
3.    Tokoh Mufassir zaman Tabi’in di Makkah
Diantara mufassir Tabi’in di Makkah antara lain; Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Atha bin Aby Rabbah, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kaisan Al-Yamany di Makkah, yang ketika itu berguru kepada Ibnu 'Abbas.
4.    Tokoh Mufassir zaman Tabi’in di Madinah
Diantara  mufassir Tabi’in di Madinah yang diasuh oleh Sahabat Ubay bin Ka'ab diantaranya; Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Kab Qurjiy.
5.    Tokoh Mufassir zaman Tabi’in di Kuffah/Irak
Adapun Madrasah tafsir yang terletak di Irak dikepalai oleh Abdullah bin Mas’ud yang banyak menggunakan tafsir dengan ra’yu dan ijtihad dalam metode menafsirkan Al Qur’an sehingga menjadikan mereka ahli ra’yu dan ijtihad, adapun murid-murid beliau: Alqomah bin Kues, Masruk, Al- Aswad bin Yazid, Murotul Hamdani, Amiru Syaby, Al- Hasan Al- Bashry, Qotadah.

D. Penafsiran Al Qur’an zaman Tadwin
Zaman Tadwin adalah periode pembukuan (tadwin), yang dimulai pada akhir kekhalifahan Bani Umayah dan awal kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbeda-beda.
1.     Tafsir zaman Dinasti Umaiyah
a.    Tahap pertama
Tafsir masih belum dibukukan secara sistematis, yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal Al Qur’an sampai akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar diberbagai daerah.
Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadis, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadis.
Para ulama tafsir pada zaman ini diantaranya Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Su’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah al-basri (w. 205 H), Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), dan Abd bin Humaid (w. 249 H), yang kesemuanya pada dasarnya adalah imam dan tokoh-tokoh ilmu hadis.
b.   Tahap Kedua
Al Qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesusi dengan tertib Mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari akhir abad III Hijriyah dan berakhir pada awal abad V Hijriyah. Adapun tokoh-tokohnya adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakr bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh bin Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H).
Dalam pengambilan riwayat, terkadang juga disertai dengan adanya pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan memberikan kesimpulan sejumlah hukum serta menjelaskan kedudukan kata jika diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ al Bayan fi Tafsir Al Qur’an.

2.    Tafsir zaman Dinasti Abbasiyah
a.    Tahap Ketiga
Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat
kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat 7 QS al fatihah, ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Disisi lain mereka juga mulai menggunakan cerita-cerita israiliyyat sebagai dasar penafsirannya tanpa diseleksi terlebih dulu.
b.   Tahap Keempat
Pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode penafsiran bil ra’yi (dengan akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al Qur’an dari segi hukum seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan lain-lain.
c.    Tahap Kelima
Tumbuhnya Tafsir Maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh Ibnu Qoyyim dalam At-Tibyan fi Aqsamil Al Qur’an, Abu Ja’far An Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun Nuzul dan Al Jashshaash dengan Ahkamul Qur’annya.
3.      Tafsir zaman Mutaqaddimin (masa Sahabat-akhir abad 3 H)
Pada zaman sahabat terkenal beberapa orang yang dianggap sebagai penafsir Al Qur'an termasuk para Khalifah sendiri, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Sahabat-sahabat yang paling banyak orang mengambil riwayat daripadanya ialah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud dan Ubayy bin Ka'ab. Yang agak kurang mengambil riwayat daripadanya ialah: Zaid bin Tsabit, Abu Musa al Asy'ary, Abudullah bin Zubair dan sahabat-sahabat yang lain.
Para tabi'ien yang banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang masyhur ialah Mujadhid, 'Atha' bin Rabah, 'Ikrimah dan Sa'id bin Jubair, semuanya adalah murid-murid Ibnu Abbas sendiri. Tentang murid-murid Ibnu Abbas yang empat orang ini para ulama mempunyai penilaian yang berlainan. Mujahid adalah orang yang mendapat kepercayaan dari ahli hadits. Imam Syafi'ie, Bukhari dan imam-imam yang lain banyak mengambil riwayat daripadanya.
Disamping itu ada pula orang yang mengkritiknya karena sering berhubungan dengan ahli Kitab, tetapi kritik itu tidak mengurangi nilai beliau. Demikian pula halnya 'Atha'bin Rabah dan Sa'id bin Jubair. Adapun 'Ikrimah banyak orang yang mengambil riwayat daripadanya. Dia berasal dari suku Barbar di Afrika Utara, serta bekas budak Ibnuy Abbas, Kemudian setelah dia dimerdekakan, langsung berguru kepada beliau. Para ahli tafsir mempunyai penilaian yang berlainan terhadap 'Ikrimah. Pada umumnya ahli-ahli tafsir mengambil riwayat beliau setelah dilakukan pemeriksaannya yang teliti. Bukhari sendiri juga banyak mengambil riwayat dari 'Ikrimah.
Diantara para tabi'ien yang banyak meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud ialah Masruq bin Ajda', seorang yang zuhud lagi kepercayaan, keturunan Arab dari Badi Hamdan, berdiam di Kufah. Kemudian Qatadah bin Di'aamah, seorang Arab yang berdiam di Basrah. Keistimewaan Qatadah ialah bahwa beliau menguasai betul bahasa Arab, pengetahuannya yang luas tentang syair-syair, peperangan-peperangan Arab Jahiliyah dan beliau adalah orang yang ahli tentang silsilah bangsa Arab Jahiliyah. Qatadah adalah seorang kepercayaan, hanya saja sebagian ahli tafsir keberatan menerima riwayat beliau yang berhubungan dengan Qadha dan Qadar.
Pada periode ini belumlah didadapati kita-kitab tafsir, kecuali kitab-kitab tafsir yang ditulis oeh orang-orang yang terakhir diantara mereka, yaitu orang-orang yang mendapati masa tabi'it tabi'ien, seperti Mujahid (meninggal tahun 104 H) dan lain-lain.
Sesudah datang angkatan tabi'it tabi'ien barulah ditulis buku-buku tasir yang melengkapi semua surat-surat Al Qur'an. Buku-buku tafsir yang mereka tulis itu mengandung perkataan-perkataan sahabat dan tabi'ien.
Diantara tabi'it tabi'ien yang menulis tafsir itu ialah "Sufyan bin Uyainah, Jazid bin Harun, Al Kalbi, Muhammad Ishak, Muqatil bin Sulaiman, Al Waqidi dan banyak lagi yang lain.
Penulis tafsir yang terkenal pada periode itu ialah Al Waqidi (meninggal 207 H), sesudah itu Ibnu Jarir Aththabary (meninggal 310). Tafsir Ibnu Jarir adalah tafsir mutaqaddimien yang paling besar dan sampai ke tangan generasi sekarang adalah Jami'ul Bayan. Para penafsir yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir Ibu Jarir itu.

4.      Tafsir zaman Mutaakhirin (Abad 4 - Abad 12 H)
Setelah agama Islam meluaskan sayapnya ke daerah-daerah yang berkebudayaan lama, seperti Persia, Asia Tengah, India, Syiria. Turki, Mesir, Etiopia dan Afrika Utara, terjadilah pertembungan dan pergeseran antara kebudaysan Islam yang masih dalam bentuk sederhana dengan kebudayaaan lama yang sudah diolah, berkembang serta mempunyai kekuatan dan keuletan.
Maka sejak waktu itu mulailah kaum Muslimin mempelajari pengetahuan- pengetahuan yang dimiliki oleh pengnut-penganut kebudayaan tersebut. Kerana ltu mulailah kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu Falsafah, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu kedoktoran dan sebagainya, sehingga dalam beberapa waktu saja telab dapat dimiliki dan dibukukan ilmu-ilmu gaya bahasa, ilmu keindahan bahasa dan segala hal yang berhubungan dengan ilmu bahasa.
Perubahan ini menimbulkan pula perubahan dalam penyusunan dan pemikiran tentang kitab-kitab tafsir. Ahli-ahli tafsir tidak lagi hanya mengutip riwayat dari sahabat, tabien dan tabi’it tabi’ien saja, tetapi telah mulai bekerja, menyelidik. meneliti dan membanding apa-apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang yang terdaholo dari mereka.
Bahkan para mufasir telah mulai mentafsirkan dari segi gaya bahasa, keindahan bahasa. tata bahasa, di samping mengolah dan mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah mereka miliki. kerana itu terdapatah kitab-kitab tafsir yang dikarang dan ditinjau dan berbagai-bagai segi yaitu:
a.    Golongan yang meninjau dan mentafsirkan Al Qur’an dari segi gaya bahasa dan keindahan bahasa. Yang menyusun secara ini ialah Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al Kasysyaaf kemudian diikuti oleh Baidhawy.
b.    Golongan yang meninjau dan mentafsirkan Al Qur’an dari segi tata bahasa, kadang-kadang mereka menggunakan syair-syair Arab untuk mengukuhkan pendapat mereka, seperti Az Zajjaad dalam Ma’aanil Qur’an, Al Waahadi dalam Al Basiith, Abu Hayyaan Muhammad bin Yusuf al Andalusi dalam Al Bahrul Muhiith.
c.    Golongan yang menitik beratkan perbahasan mereka dari segi kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu termasuk berita-berita dan cerita-ceriita yang berasal dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, bahkan kadang-kadang berasal dari kaum Zindik yang ingin merosak agama Islam.
Dalam menghadapi tafsir yang sepenti ini sangat diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum Muslim sendiri. Yang mentafsirkan Al Qur’an secara ini yang paling terkenal ialah Atsa Tsa’labi, kemudian ‘Alaauddin bin Muhammad Al Baghdaadi (wafat 741 H).
d.    Golongan yang mengutamakan pentafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hokum, menetapkan hukum-hukum fikh. Pentafsiran yang seperti ini telah dilakukan oleb Al Qurthuby dalam Jami’ Ahkaamul Qur’an, Ibnul Araby dalam Ahkaamul Qur’an, Al Jashshaash dalam Ahkaamul Qur’an, Hasan Shiddiq Khan dalam Nailul Maraam.
e.    Golongan yang mentafsirkan ayat-syat Al Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat itu seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Allah. Lalu dengan pentafairan itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan sifat-sifat Allah yang sesungguhnya. Mufassir yang terkenal ialah Imam Ar Razy dalam Mafa’tihul Ghaib.
f.     Golongan yang menitikberatkan pentafsirannya kepada isyarat-isyarat Al Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawuf, seperti tafsir At Tasturi, susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At Tasturi.
g.    Golongan yang hanya memperkatakan lafazh Al Qur'an yang gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti kitab Mu'jam Ghariibil Qur’an, karya Muhammad Fuad Abdul Baaqi.
h.    Adanya model penafsiran Al Qur’an yang didasarkan pada alira pemikiran ilmu kalam
1)   Aliran Mu'tazilah
Kitab tafsir yang dikarang menurut aliran Mu’tazilah, seperti Kitab Majaalisusy Syariff al Murtadba. Kumpulan tafsir ini sekarang telah dicetak di Mesir dengan nama Amali Al Murtadha.
2)   Tafsir Aliran Syi’ah.
Kaum Syi’ah banyak menghasilkan kitab-kitab tafsir. Penafsiran mereka ditujukan kepada pengagungan Ali dan keturunannya, penghinaan terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman dan sebagainya. Mereka berani melakukan ta'wil yang jauh sekali untuk kepentingan aliran mereka.
5.      Perbedaan Tafsir zaman Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
a.    Sumber Penafsiran
Mufassir Mutaqaddimin mendasarkan penafsiranya pada ;  Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad saw, Riwayat para Sahabat, Riwayat para Tabi’in, Riwayat Tabi’inat Tabi’in, Cerita ahli kitab/ israiliyat, Ijtihad atau istimbat mufasir
Mufassir Mutaakhirin mendasarkan penafsiranya pada ; Al Qur’an, Hadits dari Nabi Muhammad SAW, Tafsir dari Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in, Kaidah Bahasa Arab dan segala cabangnya, Ilmu pengetahuan yang berkembang , Ijtihad, Pendapat para mufasir terdahulu
b.   Metode Penafsiran
Mufassir Mutaqaddimin lebih mendasarkan pada metode tafsir bil ma’tsur
Mufassir Mutaakhirin menggabungkan metode tafsir bil ma’tsur dan metode tafsir bil ra’yi
c.    Corak Penafsiran
Mufassir Mutaqaddimin dalam pembahasanya bercorak Ijmaly
Mufassir Mutaakhirin dalam pembahasanya bercorak Ijmaly, Tahlily, Muqaran dan Maudhu’iy
d.   Karakteristik Penafsiran
Karakter penafsiran mufassir Mutaqaddimin bersifat ijmaly (global) dengan mengikuti periwayatan Rasulullah SAW., ijtihad sahabat dan dipengaruhi oleh cerita israiliyat
Karakter penafsiran mufassir Mutaakhirin mengembangkan berdasar aspek keilmuan dantaranya Tafsîr ash-Shûfiy, Tafsîr al Fiqhiy, Tafsîr al Falsafiy, Tafsîr al ‘Ilmiy, Tafsîr al Adabiy wa al Ijtimâ’iy
6.      Penafsiran Kontemporer
Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran Al Qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi  dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.
Shah Waliyullah (1701-1762) seorang  pembaharu islam dari Delhi, merupakan  orang yang berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir “modern”, dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits  fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat tentang pemikiran modern.
Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa, maka di Mesir, munculah tafsir Muhammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain. Dibelahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A Parws, dan sederetan tokoh lainnya. Di Timur Tengah, semisal Amin Al Khully (w. 1978), Hasan Hanafi, Bita Shathi (w. 2000), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ), Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman.
Merujuk pada temuan ulama kontemporer, yang dianut sebagian pakar al Qur`an  pemilahan metode tafsir Al Qur`an kepada empat metode Ijmali (Global), Tahlili (Analis), Muqarin (Perbandingan) dan Maudlu`i (Tematik), ditambah satu metode lagi, yaitu metode Kontekstual ( menafsirkan al Qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan  berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya Al Qur`an) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer. (baca kembali pada sub bab metode penafsiran al Qur’an).
7.      Model Tafsir Kontemporer
Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al Qur`an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah kemiskinan, pengangguran, kesehatan, ketidakadilan, hukum, ekonomi, politik, budaya, diskriminasi, gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain.
Jadi metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al Qur`an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya.
a.    Tafsir Ilmi
Al Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak terlupakan di dalamnya “ tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (QS. Al An`am (6) : 38 ).
Pokok pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Muhammad Abduh, Al Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, dan lain-lain. Bahkan secara vocal, Muhammad Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam Al Qur`an.
b.   Tafsir Filologi
Amin Al Khulli telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistrematis, ada tiga kerangka yang ia lakukan;
1)   Seorang mufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa.
2)   Mempelajari setiap makna kata dalam Al Qur`an yang tidak htanya menggunakan kamus saja, tetap yang juga dengan kata-kata Al Qur`an sendiri yang memiliki akar kata serupa.
3)   Analis terhadap bagaimana al qur`an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat.
Akan tetapi Amin al Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam bentuk penafsiran Al Qur`an. Gagasan-gagasannya dalam bentuk penafsiran diaplikasikan oleh isterinya Binty Syathi’. Asy Syathi membuktikan dirinya sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al Bayan.
c.    Tafsir ‘Adaby Ijtima’i
Tafsir adabbi ijtima`i muncul untuk menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Bagi para mufassir adabbi ijtima`i  ini, Al Qur`an baru dapat dikatakan sebagai hudan li an-nas bila telah dirasakan menjadi problem solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Pokok-pokok pemikiran di atas terliahat jelas pada pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al Maraghi, dan Sayyid Quthb. Abduh misalnya,  menolak tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat (legenda-legenda Yahudi dan Nasrani) untuk menfsirkan Al Qur`an, yang dianggapnya mengda-ngada dan mendistorsi tujuan Al Qur`an, yang sebenarnya.



SOAL PILIHAN GANDA
1.    Metode penafsiranAL-Qur’an yang menggunakan ayat lain dalam memahami salah satu ayat dalam Al-Qur’an. Metode penafsiran ini disebut………
a. Metode penafsiran Al-Qur’an  dengan Al-Hadits
b. Metode penafsiran Al-Hadits dengan Al-Qur’an
c.  Metode penafsiran Al-Qur’an  dengan Al-Qur’an
d.  Metode penafsiran Al-Hadits dengan Al-Hadits
e.  Metode penafsiran Al-Qur’an Hadits
2.    Penafsiran Al-Qur’an zaman Shabat mempunyai cirri sebagai berikut, kecuali……..
a. Tafsir al-Qur’an sama sekali belum dibukukan
b. mereka tidak menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan
c.  Penafsiran lebih menekankan pada Al-Ma’na Al-Ijmali
d.  Penafsiran secara menyeluruh
e.  Membatasi diri pada penjelasan makna-makna Lughah
3.    Yang menyebabkan penafsiran Al-Qur’an Zaman Sahabat berbeda-beda adalah………
a. Tidak mengetahui Asbabun Nuzulnya ayat Al-Qur’an
b. Para mufassirin hidup di zaman yang berbeda
c.  Kurang memahami bahasa Al-Qur’an
d.  Tidak adanya kerjasama antar mufassirin dalam menafsirkan Al-Qur’an
e.  Karena tingkat pengetahuan para mufassirin yang berbeda-beda
4.    Tokoh Mufassirin zaman Tabi’in yang berasal dari makkah adalah………
a.  Ikrimah Maula Ibnu Abbas                   d.  Muhammad bin Ka’ab
b.  Zaid bin Aslam                                     e.  Muhammad bin Kab Qurjiy
c.  Abu Aliyah



SOAL ISIAN
1.    Apa perbedaan metode penafsiran Al-Qur’an zaman Mutaqaddimin dan Muta’akhirin?
2.    Metode penafsiran Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya disebut tafsir?
3.    Jelaskan penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Bani Umaiyah!
4.    Siapakah nama mufassir zaman muta’akhirin yang menafsirkan Al-Qur’an dari segi gaya bahasa dan keindahan bahasa?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar