Materi
2
SEJARAH
PENAFSIRAN AL QUR’AN
A. Penafsiran Al Qur’an
zaman Nabi SAW
1. Kondisi Penafsiran
zaman Nabi SAW
Walaupun
bangsa Arab pada waktu itu masih buta huruf, tapi mereka mempunyai ingatan yang
sangat kuat. Pegangan mereka dalam memelihara dan meriwayatkan syair-syair dari
para pujangga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dan lain sebagainya adalah
dengan hafalan semata. Karena hal inilah Nabi mengambil suatu cara praktis yang
selaras dengan keadaan itu dalam menyiarkan dan memelihara Al Qur'an.
Setiap
ayat yang diturunkan, Nabi menyuruh menghafalnya,
dan menuliskannya di batu, kulit
binatang, pelapah kurma, dan apa saja yang bisa dituliskan. Nabi menerangkan
tertib urut ayat-ayat itu. Nabi mengadakan peraturan, yaitu Al Qur'an saja yang boleh dituliskan,
selain dari Al Qur'an, Hadits atau
pelajaran-pelajaran yang mereka dengar dari mulut Nabi dilarang untuk
dituliskan. Larangan ini dengan maksud agar Al Qur'an itu terpelihara,
jangan dicampur aduk dengan yang lain-lain yang juga didengar dari Nabi.
Pada masa nabi, masa diturunkannya Al Qur’an
kepadanya dan beliau sendiri berfungsi sebagai mubayyin, the
first enterpreter (pemberi penjelasan) kepada para sahabat-sahabatnya tentang kandungan
dari pada ayat-ayat Al Qur’an khususnya menyangkut ayat-ayat yang masih samar
dan tidak bisa di fahami oleh mereka, sebagaimana telah di gambarkan dalam Al
Qur’an: “Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
(QS 16:44).
2. Sumber Penafsiran
a. Penafsiran Ayat dengan
Ayat
Memang dalam satu bagian Al Qur’an terdapat
ayat yang bersifat mujmal, akan
tetapi pada bagian yang lain ditemukan ayat yang bersifat mubayyan , atau suatu
ayat diturunkan dalam bentuk mutlaq atau
‘am kemudian diturunkan ayat lain yang berbentuk muqayyad atau mukhassis,
dengan adanya macam-macam sifat dari ayat yang diturunkan dalam Al Qur’an
tersebut para sahabat menggunakan satu ayat untuk memahami ayat yang lain.
Metode penafsiran ini disebut dengan metode penafsiran Al Qur’an dengan
Al Qur’an.
Rasulullah Muhammad saw. mendapat tugas
untuk menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Tugas ini memberi
petunjuk bahwa penjelasan-penjelasan beliau pasti benar. Hal ini didukung oleh
bukti-bukti, antara lain, adanya teguran-teguran yang ditemukan dalam Al Qur’an menyangkut sikap atau ucapan
beliau yang dinilai Allah "kurang tepat", misalnya QS 9:42; 3:128,
80:1, dan sebagainya, yang kesemuanya mengandung arti bahwa beliau ma'shum (terpelihara dari melakukan
suatu kesalahan atau dosa).
Dari sini mutlak perlu untuk
memperhatikan penjelasan-penjelasan Nabi tersebut dalam rangka memahami atau
menafsirkan firman-firman Allah, sehingga tidak terjadi penafsiran yang
bertentangan dengannya, walaupun tentunya sebagian dari penafsiran Nabi
tersebut ada yang hanya sekadar merupakan contoh-contoh konkret yang beliau
angkat dari masyarakat beliau, sehingga dapat dikembangkan atau dijabarkan
lebih jauh oleh masyarakat-masyarakat berikutnya. Misalnya ketika menafsirkan al-maghdhub 'alayhim (QS 1:7) sebagai
"orang-orang Yahudi", atau "quwwah"
dalam QS 8:60 yang memerintahkan mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh,
sebagai "panah".
Ketika menafsirkan shalah al-wustha dalam QS 2:238 dengan "shalat Ashar", penafsiran itu adalah
penafsiran muthabiq dalam arti sama
dan sepadan dengan yang ditafsirkan. Sedangkan ketika menafsirkan QS 40;60,
tentang arti perintah berdoa, beliau
menafsirkannya dengan beribadah. Penafsiran ini adalah penafsiran yang dinamai talazum. Artinya, setiap doa pasti
ibadah, dan setiap ibadah mengandung doa. Berbeda dengan ketika beliau
menafsirkan QS 14:27. Di sana beliau menafsirkan kata akhirat dengan "kubur". Penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran tadhamun, karena kubur adalah sebagian dari akhirat.
b. Al Qur’an dengan Hadis
Ketika para sahabat mendapat kesulitan
dalam memahami isi dari suatu ayat Al
Qur’an,
maka mereka akan mendatangi Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan penjelasan dari
beliau, seperti hadis dari Jabir ibn ‘Abdullah yang menyatakan:
Seorang Yahudi datang kepada Nabi saw. lalu berkata: “Wahai Muhammad, beritakan kepadaku tentang
bintang-bintang yang dilihat Yusuf sujud kepadanya, apa saja namanya.” Maka
Nabi tidak menjawab sedikitpun sampai Jibril datang kepadanya, lalu ia
memberitahukan kepadanya, kemudian Nabi mengirim utusan kepada orang Yahudi itu
kemudian bertanya: “Apakah engkau beriman
jika aku memberitahukkan kepadamu?” ia menjawab: “ya….”
Hadis dari Jabir tersebut, jelas berkaitan dengan firman Allah yang
menyatakan: “…Wahai ayahanda,
sesungguhnya aku melihat sebelas bintang, matahari dan bulan dalam mimpi,
mereka bersujud kepadaku.”
Hadis pertama menunjukkan bahwa Rasulullah saw.
menfsirkan QS. Al-An’am (6): 82
dengan QS. Luqman (31): 13, atau dengan kata lain Rasulullah saw.
telah menafsirkan Al Qur’an itu sendiri.
Hadis kedua menunjukkan bahwa Rasulullah saw. menafsirkan
QS. Yusuf (12): 4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya
berkenaan dengan nama-nama bintang yang ditanyakan orang Yahudi itu; artinya
Rasulullah saw. telah menafsirkan Al Qur’an dengan wahyu yang hakekatnya secara
makna memang dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri. Dari sini sudah
dapat dipahami adanya perbedaan antara Al Qur’an dengan wahyu.
Al Qur’an secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk wahyu yang ketiga seperti
yang tertera dalam Al Qur’an surah al-Syura/42: 51. Artinya, Al
Qur’an tidak mengandung wahyu lain, sehingga dapat dikatakan bahwa Al
Qur’an adalah bentuk wahyu yang paling tinggi. Dalam Q.s. al-Syu’ara/26:
192-196
“ Dan
sesungguhnya Al
Qur’an ini
benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Dibawa turun al-Ruh al-Amin
(Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara
orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan
sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar (tersebut) dalam kitab-kitab yang
terdahulu”.
Contoh pada
ayat ;
“Sedang orang-orang yang mengikuti hawa
nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejau-jauhnya (dari kebenaran).”
(QS 4:27).
Pengertian
dari ayat diatas masih sangat pelik sekali untuk dimengerti karena
kemujmalannya, sehingga masih membutuhkan penjelasan dari ayat yang lain, oleh
karena itu kita bisa mengerti maksud daripada orang-orang yang mengikuti hawa
nafsu pada ayat di atas yaitu, orang-orang Ahli kitab berdasarkan firman Allah
yang lain yaitu:
“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah
diberi bagian dari Al Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih kesesatan (dengan
petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan
(yang benar).” (QS 4:44).
Ketika ada ayat, al-lazina amanu wa lam yalbisu imanahum bizhulm
(orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
iman mereka dan kezaliman. QS. Al-Anam [6]: 82), banyak orang-orang merasa resah. Lalu mereka bertanya
kepada Rasulullah saw.: “ya Rasulullah,
siapakah diantara kita yang tidak berbuat zalim terhadap dirinya?” Nabi
menjawab: “Kezaliman disini bukan seperti
yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang telah dikatakan oleh
seorang hamba Allah yang saleh, inna al-syirk lazhumun azim
(sesungguhnya kemusyrikan adalah benar-benar kezaliman yang besar. QS. Luqman [31]: 13), jadi yang dimaksud disini adalah kemusyrikan.”
B. Penafsiran Al Qur’an
zaman Sahabat
1. Kondisi Penafsiran
zaman Sahabat
Setelah Rasulullah wafat, para sahabat
terpaksa melakukan ijtihad, terutama mereka yang mempunyai kemampuan seperti
Ali bin Ali Thalib, Ibnu Abbas, Ubay bin Kaab dan Ibnu Mas’ud. Para sahabat
dalam memahami Al Qur’an bedasarkan pengetahuan global karena Qur’an diturunkan
dalam bahasa mereka, sedang pemahaman mereka tentang detail-detailnya atas Al
Qur’an memerlukan penjelasan dari Nabi berupa hadis-hadis Nabi.
Para sahabat yang terkenal banyak
menafsirkan Qur’an adalah Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubai bin Ka’ab Zaid bin
Sabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin
Umar, jabir bin Abdullah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash dan Aisyah.
2. Ciri Tafsir zaman
Sahabat
a.
Mereka tidak
menafsirkan Al Qur’an secara keseluruhan
b.
Perbedaan penafsiran
Al Qur’an di kalangan mereka relatif amat sedikit
c.
Penafsiran yang
dilakukan para sahabat umumnya lebih menekankan pendekatan pada al-ma’na al-ijmali (pengertian kosa kata
secara global)
d.
Membatasi diri pada
penjelasan makna-makna lughah (etimologis)
e.
Jarang menginstinbathkan
hukum-hukum fiqhiyah dari ayat-ayat Al Qur’an
f.
Tafsir Al Qur’an sama
sekali belum dibukukan
g.
Pada masa sahabat,
penafsiran umumnya dilakukan dengan menguraikan hadist
3. Sebab-sebab Perbedaan
Penafsiran zaman Sahabat
Disamping
perbedaan tingkatan pengetahuan serta kecerdasan para sahabat itu
sendiri. Sebab-sebab yang lain menyebabkan perbezaan tingkatan para sahabat
dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an ialah:
a.
Sekalipun para sahabat
orang-orang Arab dan berbahasa Arab, tetapi pengetahuan mereka tentang bahasa
Arab berbeza-beza, seperti berbeza-bezanya pengetahuan para sahabat tentang
sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat dan sastra Arab Jahiliyah, kata-kata
yang terdapat dalam Al Qur’an dan sebagainya. sehingga tingkatan mereka dalam
memahami ayat-ayat Al Qur’an berbeza-beza pula.
b.
Ada sababat yang sering
mendampingi Nabi Muhammad saw, sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat
Al Qur’an diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Pengetahuan
tentang sebab-sebab Al Qur’an diturunkan itu, sangat diperlukan untuk
mentafsirkan Al Qur’an. Kerana itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan
mereka tentang sebab Al Qur’an diturunkan itu, lebih mampu mentafsirkan
ayat-ayat Al Qur’an dibandingakan dengan yang lain.
Sebagai
contoh dapat dikemukakan sebagai berikut: Diriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin
Khaththab telah mengangkat Qudamah sebagai gabernur Bahrain. Dalam suatu
peristiwa datanglah Jarud mengadu kepada Khalifah Umar, bahwa Qudamah telah
meminum khamar dan mabuk. Umar berkata: "Siapakah orang lain yang ikut menyaksikan perbuatan tersebut?"
kata Jarud:
"Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang telah
kukatakan". Khalifah Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: "‘Ya Qudamah! Aku akan mendera
engkau!". Lalu berkata Qudamah: "Seandainya aku meminum khamar sebagaimana
yang mereka katakan, tidak ada suatu alasan pun bagi engkau untuk
mendera". Umar bertanya: "Kenapa?" jawab Qudamah: Kerana Allah telah berfirman
dalam surat (5) Al Maaidah ayat 93 “Tidak
ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan rnengerjakan amalan yang saleh,
kerana memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa
serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap
bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat
kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
Sedang
saya adalah orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, kemudian bertakwa dan
beriman, saya ikut bersama Nabi Muhammad saw. dalam perang Badar, perang Uhud,
perang Khandaq dan peperangan yang lain. Umar berkata: "Apakah tidak ada diantara kamu sekelian yang
akan membantah perkataan Qudamah?". Berkata lbnu Abbas:
"Sesungguhnya ayat 93 surah (5) Al Ma-aidah diturunkan sebagai melindungi
umat di masa sebelum ayat 90 ini diturunkan, kerana Allah berfirman:
Surat (5)
Al Maa-idah ayat 90 (yang bermaksud): "Hal
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum khamar, berjudi. (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk
perbuatan syaitan. Kerana itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat
keberuntungan (kejayaan)".
Berkata
Umar: "Benarlah lbnu Abbas."
Dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa lbnu Abbas lebih mengetahui
sebab-sebab dlturunkannya ayat 93 surah (5) Al Maa-idah dibanding dengan
Qudamah. Sebab menurut riwayat Ibnu Abbas, bahwa setelah ayat 90 surat (5) Al
Maa'idah diturunkan, sahabat-sahabat saling menanyakan tentang keadaan para
sahabat yang telah meninggal, padahal mereka dahulu sering meminum khamar
seperti Sayidina Hamzah, bapa saudara Nabi yang gugur sebagai syuhadaa pada
perang Uhud. Ada sahabat yang mengatakan bahawa Hamzah tetap berdosa kerana
perbuatannya yang telah lalu itu. kerana itu turunlah ayat 93 surah (5) Al
Maa-idah, yang menyatakan bahawa umat Islam yang meninggal sebelum turunnya
ayat 90 surah (5) Al Maa'idah tidak berdosa kerana meminum khamar itu, tetapi
umat sekarang berdosa meminumnya.
c.
Perbedaan tingkat pengetahuan
para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyah.
Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan lebih dapat memahami
ayat-ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan haji, dibanding dengan para sahabat
yang kurang tahu.
d.
Perbedaan tingkat pengetahuan
para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di
Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat Al Qur’an diturunkan. Sebab suatu ayat
diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan terhadap
perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu.
4. Sumber Penafsiran zaman
Sahabat
a. Periwayatan Rasulullah (Hadis)
Pada saat Al Qur’an diturunkan, Rasul
saw., yang berfungsi sebagai mubayyin
(pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan
kandungan Al Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau
samar artinya. Seperti yang dijelaskan pada sub bab sebelumnya.
Penjelasan Rasul tersebut terus dijadikan
pedoman untuk menafsirkan Al Qur’an, baik yang bersumber dari penjelasan Al
Qur’an itu sendiri maupun dari keterangan dalam Hadis
b. Ijtihad Sahabat
Metode
penafsiran sahabat-sahabat Nabi saw., ditemukan bahwa pada dasarnya
mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair Arab. Cukup banyak
contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini. Misalnya, Umar ibn Al-Khaththab,
pernah bertanya tentang arti takhawwuf dalam firman Allah: Auw ya'khuzahum 'ala takhawwuf (QS 16:47). Seorang Arab dari
kabilah Huzail menjelaskan bahwa artinya adalah "pengurangan". Arti ini berdasarkan penggunaan bahasa yang
dibuktikan dengan syair pra-Islam. Umar ketika itu puas dan menganjurkan untuk
mempelajari syair-syair tersebut dalam rangka memahami Al Qur’an.
Contoh lain, ijtihad yang dilakukan oleh sahabat Ibnu Abbas dalam
menafsiri ayat Al Qur’an:
“Dialah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di
antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan
yang lain mu-tasyaabihaat.” (QS 3:7).
Menurut Ibnu Abbas bahwa yang di maksud dengan ayat muhkamat adalah nasikh, halal dan haram,
denda-denda, kewajiban, apa yang kita yakini dan kita laksanakan, yang terdapat
dalam Al Qur’an. Adapun mutasyabihat yaitu
mansukh dalam Al Qur’an, lafadz yang harus didahulukan,dan lafadz yang harus di
akhirkan, I’tibar(contoh-contoh),
sumpah, dan sesuatu yang telah kita yakini tetapi tidak di kerjakan.
c.
Israiliyat
Kata Israiliyat”
merupakan bentuk jamak dari kata tunggal “Israiliyat” yang merupakan kata yang
nisbahkan pada kata Israil berasal dari bahasa Ibrani, “Isra” berarti hamba dan”Il”
berarti Tuhan. Dalam Al Qur’an nama
“Israil” dipakai sebagai nama bagi
Nabi Yaqub yang kepada beliau bangsa Yahudi dinisbahkan, dalam hal ini mereka
disebut bani Isra’il.
Secara terminologi, ‘Isra’iliyat”
merupakan semua cerita lama yang masuk kedalam tafsir yang bersumber dari
Yahudi dan Nasrani. Bahkan sebagian ulama telah memperluas makna “Isra’iliyat” dengan cerita yang
dimasukkan oleh musuh-musuh Islam, baik yang bersumber dari Yahudi maupun yang
bersumber dari orang lain, baik menyangkut agama mereka maupun tidak.
Dari beberapa pendapat para mufassir, tidaklah
mengisyaratkan adanya larangan atau keharusan dalam mempergunakan
keterangan-keterangan Isra’iliat
sebagai sumber tafsir. Artinya, boleh bila tidak bertentangan dengan Al Qur’an, sunnah dan ra’yu (logika). Ibnu Abbas, misalnya meriwayatkan dari Ka’ab
al-Ahbar, tafsir al-raqim dalam Q.s
Al-Kahfi (18) : 9 dan tafsir sidrah
al-muntaha dalam Qs. Al-Najm (53): 14. Demikian pula ‘Abdullah Ibn Amr
diriwayatkan mengemukakan naskah-naskah dari ahli kitab dalam perang Yarmuk dan
mengambil riwayat dari naskah tersebut dalam menafsirkan Al Qur’an.
5. Nama-nama Mufassir
zaman Sahabat
Abu
Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib , Ibnu
Abbas, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab, Abu Musa al-Asy’ari , dan
Abdullah bin Zubair
C. Penafsiran al Qur’an
zaman Tabi’in
1. Kondisi Penafsiran
zaman Tabi’in
Pada masa tabiin mufassir menggunanakan
metode ijtihad dan ra’yu, dikarenakan
di masa sahabat mereka hanya menafsirkan sebagian ayat Al Qur’an yang sulit
untuk dipamahi di masa itu. Dimasa tabi'in,
kebutuhan akan tafsir jauh lebih meningkat, dikarenakan semakin luasnya daerah
kekuasaan Islam serta banyaknya orang non arab yang berbondong-bondong memeluk
agama Islam.
Pada masa Tabi’in, hadis-hadis telah
beredar sedemikian pesatnya, dan bermunculanlah hadis-hadis palsu dan lemah di
tengah-tengah masyarakat. Sementara itu perubahan sosial semakin menonjol, dan
timbullah beberapa persoalan yang belum pernah terjadi atau dipersoalkan pada
masa Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan tabi'in.
Pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al Qur’an berdasarkan ijtihad masih
sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang
dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan
masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad
dalam penafsiran ayat-ayat Al Qur’an,
sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam
coraknya.
Beragamnya corak penafsiran masa Tabi’in
dipengaruhi oleh beberapa aspek, bahasa, wawasan pemikiran, perkembangan ilmu
pengetahuan, tumbunhnya aliran (madzhab
Fiqh), dan pengalamn beragama (tasawwuf).
a.
Banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta
akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga
dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan
kedalaman arti kandungan Al Qur’an.
b.
Pengaruh penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi
sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama; agama lain ke dalam
Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari
kepercayaan lama mereka.
c.
Pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an sejalan dengan perkembangan
ilmu.
d.
Berkembangnya ilmu
fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha
membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka
terhadap ayat-ayat hukum.
e.
Timbulnya
gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap
materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
2. Ciri Tafsir zaman
Tabi’in
a.
Terkontaminasinya
tafsir di masa ini dengan masuknya israiliat
dan nasraniyat, yang bertentangan
dengan akidah islamiyah yang dibawa masuk dalam kalangan umat islam dari
kelompok Islam yang dahulunya Ahli kitab seperti Abdullah bin Salam, Ka'ab
Ahbar, Abdul Malik bin Abdul Ajiz ibnu Jariz.
b.
Tafsir pada zaman
dahulu senantiasa terpelihara dengan metode talaqqi
dan riwayat, akan tetapi pada zaman tabi’in metode dalam periwayatannya dengan
metode global, sehingga berbeda dengan yang ada di zaman Rasulullah dan
sahabat.
c.
Munculnya benih-benih
perbedaan mazhab pada masa ini, sehingga implikasi sebagian tafsir digunakan
untuk keperluan mazhab mereka masing-masing; sehingga tidak diragukan lagi ini
akan membawa dampak bagi tafsir itu sendiri, seperti Hasan Al-bashry telah
menafsirkan Al Qur’an dengan
menetapkan qadar dan mengkafirkan orang yang mendustainya.
d.
Banyaknya perbedaan
pendapat di kalangan para Tabi’in di dalam masalah tafsir, walaupun terdapat
pula di zaman sahabat, namun tidak begitu banyak seperti di zaman tabi’in.
3. Tokoh Mufassir zaman
Tabi’in di Makkah
Diantara mufassir Tabi’in di Makkah
antara lain; Said bin Jubair, Mujahid bin Jabr, Atha bin Aby Rabbah, Ikrimah
Maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kaisan Al-Yamany di Makkah, yang ketika itu
berguru kepada Ibnu 'Abbas.
4. Tokoh Mufassir zaman
Tabi’in di Madinah
Diantara
mufassir Tabi’in di Madinah yang diasuh oleh Sahabat Ubay bin Ka'ab
diantaranya; Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, Abu Aliyah dan
Muhammad bin Kab Qurjiy.
5. Tokoh Mufassir zaman
Tabi’in di Kuffah/Irak
Adapun Madrasah tafsir yang terletak di
Irak dikepalai oleh Abdullah bin Mas’ud yang banyak menggunakan tafsir dengan
ra’yu dan ijtihad dalam metode menafsirkan Al Qur’an sehingga menjadikan mereka
ahli ra’yu dan ijtihad, adapun murid-murid beliau: Alqomah bin Kues, Masruk,
Al- Aswad bin Yazid, Murotul Hamdani, Amiru Syaby, Al- Hasan Al- Bashry,
Qotadah.
D. Penafsiran Al Qur’an
zaman Tadwin
Zaman
Tadwin adalah periode pembukuan (tadwin), yang dimulai pada akhir kekhalifahan
Bani Umayah dan awal kekhalifahan Bani Abbasiyah. Dalam periode ini tafsir
memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang
berbeda-beda.
1. Tafsir zaman Dinasti
Umaiyah
a. Tahap pertama
Tafsir masih belum dibukukan secara
sistematis, yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat
dari awal Al Qur’an sampai akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari
para ulama dalam rangka mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar diberbagai
daerah.
Karena pada waktu itu, para ulama lebih
memprioritaskan terhadap hadis, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab
dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam
bentuk bagian dari pembukuan hadis.
Para ulama tafsir pada zaman ini
diantaranya Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Su’bah bin al-Hajjaj (w. 160
H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah
al-basri (w. 205 H), Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w.
220 H), dan Abd bin Humaid (w. 249 H), yang kesemuanya pada dasarnya adalah
imam dan tokoh-tokoh ilmu hadis.
b. Tahap Kedua
Al Qur’an ditafsirkan secara sistematis,
sesusi dengan tertib Mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari akhir abad III
Hijriyah dan berakhir pada awal abad V Hijriyah. Adapun tokoh-tokohnya adalah
Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakr bin
al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh bin
Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H).
Dalam pengambilan riwayat, terkadang juga
disertai dengan adanya pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan
dan memberikan kesimpulan sejumlah hukum serta menjelaskan kedudukan kata jika
diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab
tafsirnya Jami’ al Bayan fi Tafsir Al
Qur’an.
2. Tafsir zaman Dinasti
Abbasiyah
a. Tahap Ketiga
Membukukan
tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil pendapat para ulama’ tanpa
menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang
shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil
tafsir ini tanpa melihat
kebenaran
atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi ketika mentafsirkan ayat 7
QS al fatihah, ada sepuluh pendapat, padahal para ulama’ tafsir sepakat bahwa
maksud dari ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi dan Nasroni. Disisi
lain mereka juga mulai menggunakan cerita-cerita israiliyyat sebagai dasar
penafsirannya tanpa diseleksi terlebih dulu.
b. Tahap Keempat
Pembukuan
tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku tarjamahan dari luar Islam. Sehingga metode
penafsiran bil ra’yi (dengan
akal) lebih dominan dibandingkan dengan metode bin naqly ( dengan
periwayatan). Pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir menurut bidang
keilmuan para mufassir. Pakar fiqih menafsirkan ayat Al Qur’an dari segi hukum
seperti Alqurtuby. Pakar sejarah melihatnya dari sudut sejarah seperti
ats-Tsa’laby dan Al-Khozin dan lain-lain.
c. Tahap Kelima
Tumbuhnya Tafsir Maudhu’i yaitu membukukan tafsir menurut suatu
pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan seperti yang ditulis oleh
Ibnu Qoyyim dalam At-Tibyan fi Aqsamil Al
Qur’an, Abu Ja’far An Nukhas dengan Nasih
wal Mansukh, Al-Wahidi Dengan Asbabun
Nuzul dan Al Jashshaash dengan Ahkamul Qur’annya.
3. Tafsir zaman
Mutaqaddimin (masa Sahabat-akhir abad 3 H)
Pada
zaman sahabat terkenal beberapa orang yang dianggap sebagai penafsir Al Qur'an
termasuk para Khalifah sendiri, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin
Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib. Sahabat-sahabat yang paling
banyak orang mengambil riwayat daripadanya ialah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Abbas, Abdullah bin Mas'ud dan Ubayy bin Ka'ab. Yang agak kurang mengambil
riwayat daripadanya ialah: Zaid bin Tsabit, Abu Musa al Asy'ary, Abudullah bin
Zubair dan sahabat-sahabat yang lain.
Para
tabi'ien yang banyak meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang masyhur ialah Mujadhid,
'Atha' bin Rabah, 'Ikrimah dan Sa'id bin Jubair, semuanya adalah murid-murid
Ibnu Abbas sendiri. Tentang murid-murid Ibnu Abbas yang empat orang ini para
ulama mempunyai penilaian yang berlainan. Mujahid adalah orang yang mendapat
kepercayaan dari ahli hadits. Imam Syafi'ie, Bukhari dan imam-imam yang lain
banyak mengambil riwayat daripadanya.
Disamping
itu ada pula orang yang mengkritiknya karena sering berhubungan dengan ahli
Kitab, tetapi kritik itu tidak mengurangi nilai beliau. Demikian pula halnya
'Atha'bin Rabah dan Sa'id bin Jubair. Adapun 'Ikrimah banyak orang yang
mengambil riwayat daripadanya. Dia berasal dari suku Barbar di Afrika Utara,
serta bekas budak Ibnuy Abbas, Kemudian setelah dia dimerdekakan, langsung
berguru kepada beliau. Para ahli tafsir mempunyai penilaian yang berlainan
terhadap 'Ikrimah. Pada umumnya ahli-ahli tafsir mengambil riwayat beliau
setelah dilakukan pemeriksaannya yang teliti. Bukhari sendiri juga banyak
mengambil riwayat dari 'Ikrimah.
Diantara
para tabi'ien yang banyak meriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud ialah Masruq
bin Ajda', seorang yang zuhud lagi kepercayaan, keturunan Arab dari Badi
Hamdan, berdiam di Kufah. Kemudian Qatadah bin Di'aamah, seorang Arab yang
berdiam di Basrah. Keistimewaan Qatadah ialah bahwa beliau menguasai betul
bahasa Arab, pengetahuannya yang luas tentang syair-syair, peperangan-peperangan
Arab Jahiliyah dan beliau adalah orang yang ahli tentang silsilah bangsa Arab
Jahiliyah. Qatadah adalah seorang kepercayaan, hanya saja sebagian ahli tafsir
keberatan menerima riwayat beliau yang berhubungan dengan Qadha dan Qadar.
Pada
periode ini belumlah didadapati kita-kitab tafsir, kecuali kitab-kitab tafsir
yang ditulis oeh orang-orang yang terakhir diantara mereka, yaitu orang-orang
yang mendapati masa tabi'it tabi'ien, seperti Mujahid (meninggal tahun 104 H)
dan lain-lain.
Sesudah
datang angkatan tabi'it tabi'ien barulah ditulis buku-buku tasir yang
melengkapi semua surat-surat Al Qur'an. Buku-buku tafsir yang mereka tulis itu
mengandung perkataan-perkataan sahabat dan tabi'ien.
Diantara
tabi'it tabi'ien yang menulis tafsir itu ialah "Sufyan bin Uyainah, Jazid
bin Harun, Al Kalbi, Muhammad Ishak, Muqatil bin Sulaiman, Al Waqidi dan banyak
lagi yang lain.
Penulis
tafsir yang terkenal pada periode itu ialah Al Waqidi (meninggal 207 H),
sesudah itu Ibnu Jarir Aththabary (meninggal 310). Tafsir Ibnu Jarir adalah
tafsir mutaqaddimien yang paling besar dan sampai ke tangan generasi sekarang
adalah Jami'ul Bayan. Para penafsir
yang datang kemudian banyak mengutip dan mengambil bahan dari tafsir Ibu Jarir
itu.
4. Tafsir zaman
Mutaakhirin (Abad 4
- Abad 12 H)
Setelah
agama Islam meluaskan sayapnya ke daerah-daerah yang berkebudayaan lama,
seperti Persia, Asia Tengah, India, Syiria. Turki, Mesir, Etiopia dan Afrika
Utara, terjadilah pertembungan dan pergeseran antara kebudaysan Islam yang
masih dalam bentuk sederhana dengan kebudayaaan lama yang sudah diolah,
berkembang serta mempunyai kekuatan dan keuletan.
Maka
sejak waktu itu mulailah kaum Muslimin mempelajari pengetahuan- pengetahuan
yang dimiliki oleh pengnut-penganut kebudayaan tersebut. Kerana ltu mulailah
kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu Falsafah, ilmu eksakta, ilmu hukum,
ilmu kedoktoran dan sebagainya, sehingga dalam beberapa waktu saja telab dapat
dimiliki dan dibukukan ilmu-ilmu gaya bahasa, ilmu keindahan bahasa dan segala
hal yang berhubungan dengan ilmu bahasa.
Perubahan
ini menimbulkan pula perubahan dalam penyusunan dan pemikiran tentang
kitab-kitab tafsir. Ahli-ahli tafsir tidak lagi hanya mengutip riwayat dari
sahabat, tabien dan tabi’it tabi’ien saja, tetapi telah mulai bekerja,
menyelidik. meneliti dan membanding apa-apa yang telah dikerjakan oleh
orang-orang yang terdaholo dari mereka.
Bahkan
para mufasir telah mulai mentafsirkan dari segi gaya bahasa, keindahan bahasa.
tata bahasa, di samping mengolah dan mentafsirkan ayat-ayat Al Qur’an sesuai
dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah mereka miliki. kerana itu terdapatah
kitab-kitab tafsir yang dikarang dan ditinjau dan berbagai-bagai segi yaitu:
a.
Golongan yang meninjau dan
mentafsirkan Al Qur’an dari segi gaya bahasa dan keindahan bahasa. Yang
menyusun secara ini ialah Az Zamakhsyari dalam tafsirnya Al Kasysyaaf kemudian diikuti oleh Baidhawy.
b.
Golongan yang meninjau dan
mentafsirkan Al Qur’an dari segi tata bahasa, kadang-kadang mereka menggunakan
syair-syair Arab untuk mengukuhkan pendapat mereka, seperti Az Zajjaad dalam Ma’aanil Qur’an, Al Waahadi dalam Al Basiith, Abu Hayyaan Muhammad bin Yusuf
al Andalusi dalam Al Bahrul Muhiith.
c.
Golongan yang menitik beratkan
perbahasan mereka dari segi kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu
termasuk berita-berita dan cerita-ceriita yang berasal dari orang-orang Yahudi
dan Nasrani, bahkan kadang-kadang berasal dari kaum Zindik yang ingin merosak
agama Islam.
Dalam menghadapi tafsir yang sepenti ini sangat
diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum Muslim sendiri. Yang
mentafsirkan Al Qur’an secara ini yang paling terkenal ialah Atsa Tsa’labi, kemudian
‘Alaauddin bin Muhammad Al Baghdaadi (wafat 741 H).
d.
Golongan yang mengutamakan
pentafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hokum, menetapkan hukum-hukum
fikh. Pentafsiran yang seperti ini telah dilakukan oleb Al Qurthuby dalam Jami’ Ahkaamul Qur’an, Ibnul Araby dalam
Ahkaamul Qur’an, Al Jashshaash dalam Ahkaamul Qur’an, Hasan Shiddiq Khan
dalam Nailul Maraam.
e.
Golongan yang mentafsirkan
ayat-syat Al Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat-ayat itu
seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat kesucian dan ketinggian Allah. Lalu
dengan pentafairan itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan
sifat-sifat Allah yang sesungguhnya. Mufassir yang terkenal ialah Imam Ar Razy
dalam Mafa’tihul Ghaib.
f.
Golongan yang menitikberatkan pentafsirannya
kepada isyarat-isyarat Al Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan
tasawuf, seperti tafsir At
Tasturi, susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah At Tasturi.
g.
Golongan yang hanya memperkatakan
lafazh Al Qur'an yang gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan
sehari-hari), seperti kitab Mu'jam
Ghariibil Qur’an, karya Muhammad Fuad Abdul Baaqi.
h.
Adanya model penafsiran Al Qur’an
yang didasarkan pada alira pemikiran ilmu kalam
1) Aliran
Mu'tazilah
Kitab
tafsir yang dikarang menurut aliran Mu’tazilah, seperti Kitab Majaalisusy Syariff al Murtadba.
Kumpulan tafsir ini sekarang telah dicetak di Mesir dengan nama Amali Al Murtadha.
2)
Tafsir Aliran Syi’ah.
Kaum
Syi’ah banyak menghasilkan kitab-kitab tafsir. Penafsiran mereka ditujukan
kepada pengagungan Ali dan keturunannya, penghinaan terhadap Abu Bakar, Umar,
Utsman dan sebagainya. Mereka berani melakukan ta'wil yang jauh sekali untuk kepentingan aliran mereka.
5. Perbedaan Tafsir zaman
Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
a. Sumber Penafsiran
Mufassir Mutaqaddimin mendasarkan
penafsiranya pada ; Al Qur’an, Hadits
Nabi Muhammad saw, Riwayat para Sahabat, Riwayat para Tabi’in, Riwayat
Tabi’inat Tabi’in, Cerita ahli kitab/ israiliyat, Ijtihad atau istimbat mufasir
Mufassir Mutaakhirin mendasarkan
penafsiranya pada ; Al Qur’an, Hadits dari Nabi Muhammad SAW, Tafsir dari
Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in, Kaidah Bahasa Arab dan segala cabangnya,
Ilmu pengetahuan yang berkembang , Ijtihad, Pendapat para mufasir terdahulu
b. Metode Penafsiran
Mufassir Mutaqaddimin lebih mendasarkan
pada metode tafsir bil ma’tsur
Mufassir Mutaakhirin menggabungkan metode tafsir bil ma’tsur dan metode tafsir bil ra’yi
c. Corak Penafsiran
Mufassir Mutaqaddimin dalam pembahasanya
bercorak Ijmaly
Mufassir Mutaakhirin dalam pembahasanya
bercorak Ijmaly, Tahlily, Muqaran dan Maudhu’iy
d. Karakteristik
Penafsiran
Karakter penafsiran mufassir Mutaqaddimin
bersifat ijmaly (global) dengan
mengikuti periwayatan Rasulullah SAW., ijtihad sahabat dan dipengaruhi oleh
cerita israiliyat
Karakter penafsiran mufassir Mutaakhirin
mengembangkan berdasar aspek keilmuan dantaranya Tafsîr
ash-Shûfiy, Tafsîr al Fiqhiy, Tafsîr al Falsafiy, Tafsîr al ‘Ilmiy, Tafsîr al
Adabiy wa al Ijtimâ’iy
6. Penafsiran Kontemporer
Kemunculan metode tafsir kontemporer
diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran yang akan ditimbulkan ketika penafsiran
Al Qur`an dilakukan secara tekstual, dengan mengabaikan situasi dan
latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai data sejarah yang penting.
Shah Waliyullah (1701-1762) seorang
pembaharu islam dari Delhi, merupakan orang yang berjasa dalam
memprakarsai penulisan tafsir “modern”, dua karyanya yang monumental, yaitu, Hujjah al balighah dan Ta`wil al Hadits fi rumuz Qishash al Anbiya, adalah karya yang memuat
tentang pemikiran modern.
Tidak sia-sia usaha ini telah merangsang
para pembaharu lainnya untuk berbuat hal serupa, maka di Mesir, munculah tafsir
Muhammad Abduh, Rasyid ridha, Ahmad Khalaf, dan Muhammad Kamil Husain.
Dibelahan Indo-Pakistan, kita mengenal tokoh seperti Abu Azad, Al Masriqqi, G.A
Parws, dan sederetan tokoh lainnya. Di Timur Tengah, semisal Amin Al Khully (w.
1978), Hasan Hanafi, Bita Shathi (w. 2000), Nasr Abu Zayd ( lahir. 1942 ),
Muhammad Shahrur, dan Fazlur Rahman.
Merujuk pada temuan ulama kontemporer,
yang dianut sebagian pakar al Qur`an pemilahan metode tafsir Al Qur`an
kepada empat metode Ijmali (Global), Tahlili (Analis), Muqarin (Perbandingan) dan Maudlu`i
(Tematik), ditambah satu metode lagi, yaitu metode Kontekstual ( menafsirkan al
Qur`an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya,
adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam
masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya Al Qur`an) termasuk dalam kategori
tafsir kontemporer. (baca kembali pada
sub bab metode penafsiran al Qur’an).
7. Model Tafsir
Kontemporer
Metode
tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al Qur`an yang menjadikan problem
kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang muncul
dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan
problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar belakanginya.
Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah
kemiskinan, pengangguran, kesehatan, ketidakadilan, hukum, ekonomi, politik,
budaya, diskriminasi, gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain.
Jadi
metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran Al Qur`an yang menjadikan
problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya. Persoalan yang
muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai pendekatan yang sesuai
dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab yang melatar
belakanginya.
a.
Tafsir
Ilmi
Al
Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran
diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya
berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti
terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak
terlupakan di dalamnya “ tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (QS. Al An`am (6) : 38 ).
Pokok
pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Muhammad Abduh, Al
Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, dan lain-lain. Bahkan secara vocal,
Muhammad Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan
mikrofon telah tercantum dalam Al Qur`an.
b.
Tafsir
Filologi
Amin Al Khulli telah berjasa dalam
memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistrematis, ada tiga kerangka
yang ia lakukan;
1)
Seorang mufassir harus
mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa.
2)
Mempelajari setiap
makna kata dalam Al Qur`an yang tidak htanya menggunakan kamus saja, tetap yang
juga dengan kata-kata Al Qur`an sendiri yang memiliki akar kata serupa.
3)
Analis terhadap
bagaimana al qur`an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat.
Akan
tetapi Amin al Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam
bentuk penafsiran Al Qur`an. Gagasan-gagasannya dalam bentuk penafsiran
diaplikasikan oleh isterinya Binty Syathi’. Asy Syathi membuktikan dirinya
sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya
yang berjudul tafsir al Bayan.
c.
Tafsir
‘Adaby Ijtima’i
Tafsir
adabbi ijtima`i muncul untuk
menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada
persoalan-persoalan masyarakat. Bagi para mufassir adabbi ijtima`i ini, Al
Qur`an
baru dapat dikatakan sebagai hudan li
an-nas bila telah dirasakan menjadi problem
solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Pokok-pokok
pemikiran di atas terliahat jelas pada pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha,
Al Maraghi, dan Sayyid Quthb. Abduh misalnya,
menolak tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat (legenda-legenda Yahudi dan Nasrani) untuk menfsirkan Al
Qur`an,
yang dianggapnya mengda-ngada dan mendistorsi
tujuan Al
Qur`an,
yang sebenarnya.
SOAL PILIHAN GANDA
1.
Metode
penafsiranAL-Qur’an yang menggunakan ayat lain dalam memahami salah satu ayat
dalam Al-Qur’an. Metode penafsiran ini disebut………
a. Metode penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Hadits
b. Metode penafsiran Al-Hadits dengan Al-Qur’an
c. Metode penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
d. Metode penafsiran Al-Hadits dengan Al-Hadits
e. Metode penafsiran Al-Qur’an Hadits
2.
Penafsiran Al-Qur’an
zaman Shabat mempunyai cirri sebagai berikut, kecuali……..
a. Tafsir al-Qur’an sama sekali belum dibukukan
b. mereka tidak menafsirkan Al-Qur’an secara
keseluruhan
c. Penafsiran lebih menekankan pada Al-Ma’na
Al-Ijmali
d. Penafsiran secara menyeluruh
e. Membatasi diri pada penjelasan makna-makna
Lughah
3.
Yang menyebabkan
penafsiran Al-Qur’an Zaman Sahabat berbeda-beda adalah………
a. Tidak mengetahui Asbabun Nuzulnya ayat
Al-Qur’an
b. Para mufassirin hidup di zaman yang berbeda
c. Kurang memahami bahasa Al-Qur’an
d. Tidak adanya kerjasama antar mufassirin dalam
menafsirkan Al-Qur’an
e. Karena tingkat pengetahuan para mufassirin yang
berbeda-beda
4.
Tokoh Mufassirin zaman
Tabi’in yang berasal dari makkah adalah………
a. Ikrimah Maula Ibnu Abbas d. Muhammad bin Ka’ab
b. Zaid bin Aslam e. Muhammad bin Kab Qurjiy
c. Abu Aliyah
SOAL ISIAN
1.
Apa perbedaan metode
penafsiran Al-Qur’an zaman Mutaqaddimin dan Muta’akhirin?
2.
Metode penafsiran
Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat
penafsirannya disebut tafsir?
3.
Jelaskan penafsiran
Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Bani Umaiyah!
4.
Siapakah nama mufassir
zaman muta’akhirin yang menafsirkan Al-Qur’an dari segi gaya bahasa dan
keindahan bahasa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar