Sabtu, 28 Februari 2015


Kemuliaan seseorang tidak diukur secara lahiriah saja. Jika kemuliaan hanya diukur dari yang tampak saja, tentu para raja, hartawan, dan para artis semuanya menjadi mulia. Akan tetapi, tidak.

Jika kemuliaan diukur dari kekuasaan dan harta benda, tentu Sa’id bin Al-Musayyab akan merelakan putrinya yang dipinang Khalifah Abdul Malik untuk putranya, Al-Walid. Sa’id bin Al-Musayyab terus membuat dalih alasan kepada Abdul Malik hingga Abdul Malik mencambuknya seratus kali pada musim dingin, menuangkan air guci padanya, dan memakaikan jubah wol padanya.

Sa’id bin Al-Musayyab adalah ulama yang terkenal. Ali bin Al-Madini mengatakan, “Aku tidak mengetahui dari kalangan tabi’in yang lebih luas ilmunya daripada dia. Ia, menurutku, adalah tabi’in paling terkemuka.”

Lalu, dinikahkan dengan siapakah putri Sa’id bin Al-Musayyab tersebut? Tentulah orang yang lebih mulia dari seorang putra khalifah. Sa’id bin Al-Musayyab pasti mencarikan laki-laki yang tepat untuk putrinya itu. Siapakah dia? Mari kita simak kisah yang dituturkan oleh Ibnu Abi Wada’ah berikut ini.

Aku biasa duduk di majelis Sa’id bin Al-Musayyab, lalu dia kehilangan aku beberapa hari. Ketika aku datang kepadanya, ia bertanya, “Di mana kamu berada?”
Aku menjawab, “Istriku meninggal sehingga aku sibuk dengannya.”

Dia mengatakan, “Mengapa engkau tidak memberitahu kami sehingga kami bisa melayatnya?” Kemudian dia bertanya, “Apakah engkau sudah mendapatkan istri lagi?”

Aku menjawab, “Semoga Allah merahmatimu. Siapakah yang akan menikahkan putrinya kepadaku, sedangkan aku tidak memiliki kecuali dua atau tiga dirham.”
Dia menjawab, “Aku yang akan menikahkanmu.”

Aku bertanya, “Engkau akan melakukannya?”
Dia menjawab, “Ya.”

Kemudian setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Nabi, dia menikahkan aku dengan dua dirham –atau tiga dirham. Aku pun berdiri dan tidak tahu apa yang harus aku perbuat karena sedemikian gembiranya.

Aku pulang ke rumah dan mulai berpikir kepada siapa aku akan berhutang. Aku shalat Maggrib dan setelah itu kembali ke rumah, sedangkan aku sendiri dalam keadaan berpuasa. Aku pun mengambil makan malamku untuk berbuka, yaitu berupa roti dan minyak.

Tiba-tiba, pintu rumahku ada yang mengetuk, maka aku bertanya, “Siapa ini?”
Dia menjawab, “Sa’id?”

Aku berpikir tentang setiap orang yang bernama Sa’id selain Sa’id bin Al-Musayyab karena dia tidak pernah terlihat selama 40 tahun kecuali pasti berada antara rumahnya atau masjid.

Aku pun keluar, ternyata dia adalah Sa’id bin Al-Musayyab. Aku menyangka bahwa dia telah berubah pikiran. Aku katakan, “Wahai, Abu Muhammad, mengapa engkau tidak mengutus seseorang kepadaku sehingga akulah yang datang kepadamu?”

Dia mengatakan, “Tidak, engkau lebih berhak untuk didatangi. Engkau adalah laki-laki yang tidak beristri lalu menikah, maka aku tidak suka bila engkau melewati malam sendirian. Inilah istrimu.”

Ternyata putrinya berdiri di belakang tubuhnya yang tinggi. Kemudian dia memegang tangan putrinya lalu mendorongnya ke pintu, dan menutup pintu. Wanita itu pun jatuh karena malu. Lalu aku mengunci pintu.

Aku meletakkan piring di bawah lampu agar dia tidak melihatnya. Kemudian aku naik loteng lalu aku berteriak kepada orang-orang (tetanggaku), maka mereka datang kepadaku seraya bertanya, “Ada apa denganmu?”

Aku pun memberitahu mereka dan mereka datang kepadanya. Ketika berita itu sampai kepada ibuku maka dia datang seraya mengatakan, “Wajahku haram terhadap wajahmu, jika engkau menyentuhnya sebelum aku mendandaninya hingga tiga hari.”

Dia pun tinggal selama tiga hari, kemudian aku menemuinya. Ternyata dia adalah wanita yang paling cantik, paling hafal Kitabullah, paling mengerti Sunnah Rasulullah, dan paling tahu tentang hak suami.

Aku pun berdiam selama sebulan tanpa pernah mendatangi Sa’id bin Al-Musayyab. Kemudian aku mendatanginya saat berada dalam halaqah, lalu aku mengucapkan salam dan dia menjawab salamku. Dia tidak mengajakku bercakap-cakap hingga majelis selesai.

Ketika tidak tersisa orang lagi kecuali aku, dia mengatakan, “Bagaimana keadaan dia (putrinya)?”
Aku menjawab, “Baik, wahai Abu Muhammad, (keadaannya baik) sesuai dengan yang disukai temannya (pasangan) dan tidak disukai oleh musuh.”

Dia mengatakan, “Jika ada sesuatu yang mencurigakanmu, maka selesaikanlah dengan tongkat.”
Aku pun pulang ke rumahku, lalu dia memberikan kepadaku 20.000 dinar.”

***
Referensi:
Kitab Min A’lam As-Salaf. Ahmad Farid. (Terjemahan: Biografi 60 Ulama Ahlissunnah. 2012. Jakarta: Penerbit Darul Haq)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar