Selasa, 31 Maret 2015

KISAH CINTA ULAMA’ SUFI

Diceritakan bahwa, Hasan Bashri adalah seorang kyai yang berwajah tampan, selalu berpakaian rapi, bersih dan berpenampilan menarik pada masa mudanya. Pembawaannya pun menarik.
Suatu hari ia bertamasya, jalan-jalan keliling kota Bashrah.Rupanya ia kerasan tinggal di kota itu. Berada di sebuah jalan di pinggiran kota, ia melihat perawan sunti pulang belanja dari pasar mendahului langkahnya.
“ Monggo, mas ?” suara gadis itu lirih, seraya menatap kyai dengan sesungging senyum nan menawan.
Tak tahu kenapa, tiba-tiba tubuh Hasan Bashri bergetar, detak jantungnya semakin cepat. Hatinya pun gelisah. Ia bertanya pada diri sendiri, “ inikah yang namanya getaran cinta ?” dia berhenti sejenak. Pikirannya mulai dihantui oleh kecantikan dan keindahan mata gadis yang telah menyapanya. Seketika itu, ia jatuh cinta kepadanya. Maka, ia pun membuntutinya, sampai si cantik masuk rumah. Rupanya perawan itu tahu kalau ada pemuda tampan yang membuntutinya.
Gadis itu keluar dari dalam, lantas melongok Hasan Bashriyang tetap berdiri di depan rumahnya.
“ Kenapa kanda membuntutiku sampai sini ?” pertanyaannya.
“ sungguh aku tertarik dengan keindahan matamu.”
“ kalau begitu, pulanglah kerumahmu, biar aku nanti datang kepadamu.” Sahut gadis itu sambil masuk ke rumahnya.
Rupanya gadis itu tahu alamat Hasan Bashri, sehingga akan dating ke rumahnya. Hasan Bashri pun pulang penuh kegirangan. Ia begitu percaya bahwa cintanya tak akan bertepuk sebelah tangan, dan gadis itu tentu membalas cintanya. Ia membayangkan dirinya dan gadis itu akan menjadi pasangan yang ideal. Dia gadis yang tak sekedar cantik, tapi juga ke ibuan. Sedang dirinya, seorang yang tampan dan kebapakan.
Setelah sampai di rumah, ia segera membenahi ruang tamu dan kamar tidurnya. Ia berfikir bahwa gadis itu akan segera dating. Hatinya berdebar-debar, nafsu syahwatnya semakin menggebu-gebu, hampir tak kuasa menahannya. Hasan Bashri duduk di kursi depan, menunggu gadis pujaan dengan penuh harapan.
Tidak lama kemudian, datanglah seorang wanita yang membawa nampan, di tutup dengan kain nan indah. Hasan Bashrimenduga bahwa, wanita itu membawakan sesuatu untuk pertemuannya nanti. Boleh jadi, itulah hadiah dari gadisnya.
“ Saudari dating kesini ada keperluan apa ?” tanya Hasan Bashri.
“ Aku di utus tuan putriku untuk menyampaikan hadiah yang anda pesan.” Jawabnya, seraya memberikan bawaannya.
Hasan Bashri menerima nampan itu, dan segera membuka penutupnya. Betapa terkejut ia begitu melihat isi nampan itu. ’ Dua buah bola mata ’ yang masih berlumuran darah.
“ Hai pelayan, bagaimana ini bisa terjadi ?” tanya Hasan Bashri.
“ Sungguh tuan putri berkata bahwa, beliau tidak ingin orang lain terfitnah akibat keindahan matanya. Beliau terus mencukil matanya, dan kini ku kirimkan kepada anda, yang katanya tertarik dan menginginkannya.
Mendengar keterangan wanita utusan gadis pujaannya, getaran tubuhnya mendadak berubah. Getar-getar cinta yang penuh bahagia, sirna seketika. Mukanya pucat, tubuhnya pun lemas. Duduk bersandar di dinding sambil mengelus-elus jenggot. Ia mencela diri sendiri. Katanya dalam hati, “ Celaka kamu Bash, dasar orang tidak tahu malu !” kejadian itu membuatnya merasa takut. Ia merasa ngeri membayangkannya. Akhirnya, ia menyesali perbuatannya sendiri, dan ingin bertaubat kepada Allah SWT. Ia menangis semalam suntuk.
Pagi harinya ia pergi ke rumah gadis cantik itu, untuk meminta maaf. Tetapi pintu rumahnya tertutup, dan terdengar suara tangis dari dalam. Setelah ditanyakan kepada tetangga, dikatakan bahwa gadis cantik itu telah mati.
Hasa Bashri segera pulang dengan penuh kesedihan. Hatinya terasa teriris-iris. Ia menangis selama tiga hari tiga malam. Pada suatu malam, ia bermimpi melihat gadis itu di surga. Hasan Bashri pun meminta maaf kepadanya. “ sudah ku maafkan kesalahanmu, sebab aku telah mendapat kebaikan dari Allah karena ulahmu.” Jawab gadis itu. Hasan Bashri lantas minta nasihatnya, agar ia selalu berdzikir di tempat yang sepi, dan beristighfar pada malam yang sunyi. Karena Hasan Bashri menuruti nasihatnya, ia menjadi orang yang taat beribadah. Berkat ketekunan dan kesucian hatinya dalam beribadah kepada Allah SWT, jadilah Hasan Bashri termasuk golongan Sufi.
Hari demi hari berlalu. Dilanda kesedihan yang mendalam, ia semakin tekun beribadah. Cintanya kepada Allah semakin meningkat, mengalahkan cintanya kepada yang lain. Ia pun mencapai kedudukan yang tinggi dan menjadi golongan para waliyullah. Bahkan ia termasuk paling alim diantara teman-temannya seperti Malik bin Dinar dan Tsabit al Banani.
Suatu hari Hasan Bashri merenungi nasib hidupnya yang masih sendirian. Ia pun menyadari bahwa pernikahan adalah sunnah Rasulullah SAW. Selama itu, ia masih mencari-cari wanita yang sekiranya cocok untuk di jadikan teman hidupnya, setidak-tidaknya sosok yang tekun beribadah. Terbesitlah niat di dalam hatinya untuk melamar seorang wanita yang tekun beribadah dan termasuk golongan para sufi, yaitu Rabi’ah al-Adawiyyah. Meskipun merasa rendah diri untuk mendekatinya, ia nekat juga.
Berundinglah Hasan Bashri dengan sahabat karibnya yaituMalik bin Dinar dan Tsabit al Banani. Masing-masing juga seorangsufi yang alim. Namun rupanya, kedua karibnya itu juga menaruh hati kepada Rabi’ah al-Adawiyyah. Akhirnya, mereka bertiga berangkat ke rumah Rabi’ah al-Adawiyyah. Tanpa basa-basi ketiga ulama’ sufi kondang itu bertamu ke rumahnya. Setelah masuk ke rumah, mereka duduk berjajar di kursi. Rabi’ah al-Adawiyyahmenemui mereka di balik hijab.
Nalik bin Dinar dan Tsabit al Banani sepakat menunjukHasan Bashri sebagai juru bicara. Lalu mulailah ia membuka dialog asmara tingkat tinggi.
“ Hai Rabi’ah, nikah itu termasuk sunah Rasul SAW. Maka pilihlah salah satu dari kami bertiga sebagai calon suami,” kata Hasan Bashri membuka perbincangan itu.
“ Baiklah tuan-tuan, tapi sebelumnya aku ingin tahu siapa di antara tuan bertiga yang paling alim ?”
“ Inilah Hasan Bashri yang paling alim diantara kami.” Malik dan Tsabit menjawab.
“ Aku akan bertanya empat perkara yang selama ini aku pikirkan, bila tuan bisa menjawabnya, aku sanggup meladeni tuan sebagai istri.” Wanita sufi itu mengajukan syarat-syaratnya.
Mendengar syarat yang di ajukan Rabi’ah, Hasan Bashri gemeteran. Ia bersiap menjawab pertanyaannya dengan penuh konsentrasi.
“ Bagaimana Tuan Hasan ?” tanya Rabi’ah.
“ Baiklah, aku siap, semoga Allah SWT. memberi taufiq kepadaku untuk menjawab pertanyaanmu.”
Mulailah Rabi’ah mengajukan pertanyaannya yang pertama. “ Menurut tuan, jika aku meninggal nanti, aku dalam ketetapan iman atau tidak ?”
“ Maaf, hal ini adalah urusan gaib, tiada yang tahu selain Allah SWT.” jawab Hasan Bashri.
“ Menurut Tuan, di dalam kubur nanti, aku dapat menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir atau tidak ?”
“ Maaf, itu juga urusan gaib, hanya Allah yang tahu.”
“ Menurut Tuan, pada hari catatan manusia dibagikan, aku termasuk golongan yang menerima dengan tangan kanan atau tangan kiri ?”
“ Wah, itu juga masalah gaib, hanya Allah yang tahu.”
Lalu Rabi’ah mengajukan pertanyaannya yang terakhir. “ Menurut Tuan, pada hari kiamat kelak, manusia di kelompokkan menjadi dua : satu golongan ke surge, dan satu golongan ke neraka. Aku termasuk golongan yang mana ?”
“ Waduuuuuh! Itu juga perkara gaib, aku tidak tahu.”
Empat pertanyaan sudah di ajukan, satupun tiada yang terjawab. Lalu Rabi’ah al-Adawiyyah berkata, “ Bagi orang yang tidak mampu menguraikan empat pertanyaan ini, bagaimana akan berpikir tentang pernikahan ?”
Mendengar kata-kata hikmah yang begitu dalam maknanya, tiga ulama’ sufi itu diam tak dapat bertingkah, kecuali tenang dan menundukkan kepala, tak ubahnya santri yang sedang merenungkan nasihat kyai.
Rupanya Rabi’ah al-Adawiyyah belum puas sampai di situ. Dia pun bertanya dengan pertanyaan yang berbeda. “ Hai Tuan Hasan Bashri, ada berapa akal yang di jadikan bagi manusia ?”
“ Sepuluh, Sembilan bagian untuk pria dan satu untuk wanita.” Jawab Hasan Bashri secepat kilat.
“ Baik, lalu berapa bagian Allah menciptakan nafsu untuk manusia ?”
“ Sepuluh, Sembilan bagian untuk wanita dan satu untuk pria.” Jawab Hasan Bashri segera.
Hasan Bashri merasa tenang, karena bisa menjawab dua pertanyaan dengan lancar. Babi’ah al-Adawiyyah kembali bertanya, bagaikan pukulan telak yang mematikan mereka.
“ Ya Tuan Hasan, dengan akalku yang hanya satu, aku dapat mengalahkan nafsuku yang sembilan, tetapi kenapa tuan tidak mampu mengalahkan nafsu yang hanya satu dengan akal tuan yang sembialan ?”
Demikianlah kisah cinta Hasan Bashri yang kandas di perjalanan. Ia segera pulang dengan kesedihan yang teramat dalam. Bahkan, ia pun tak kuasa menahan butir-butir air mata, begitu pula kawan-kawannya. Mereka merasa malu.***


“ Buah hatiku, hanya engkau yang ku kasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke Hadlirat-Mu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan, dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau.”
( Rabi’ah al-Adawiyyah )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar