Asbabbun
Nuzul
Pokok-pokok Materi :
1. Perhatian Ulama tentang Asbabun Nuzul
2. Metode Mengetahui Asbabun Nuzul
3. Definisi Asbabun
Nuzul
4.
Urgensi Mengetahui Asbabun Nuzul
5.
Beberapa Permasalahan seputar Asbabun Nuzul
1. PERHATIAN PARA ULAMA
TERHADAP ASBABUN NUZUL
Para
peneliti ilmu-ilmu Qur’an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang
Asbabun Nuzul. Untuk menafsirkan Qur’an ilmu ini diperlukan sekali, sehingga
ada pihak yang mengkhususkan diri mengenai pembahasan dalam bidang itu. Yang terkenal diantaranya ialah :
§ Ali bin Madini, Guru Bukhari,
§ Abul Hasan Ali al-Wahidi (427 H) dalam kitabnya Asbabun Nuzul,
§ Burhanuddin al-Ja’bari (732 H) yang meringkaskan kitab al-Wahidi
dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu.
§ Syaikhul Islam Ibn Hajar al-Atsqolani ( 852 H) yang mengarang satu
kitab mengenai Asbabun Nuzul.
§ Jalaluddin As-Suyuti ( 911 H) yang mengatakan
tentang dirinya : ` Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap,
singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum aad satu kitab pun
menyamainya. Kitab itu aku namakan Lubabul Manqul fi Asbabin Nuzul.
2. PEDOMAN MENGETAHUI ASBABUN
NUZUL
Pedoman
dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang
berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan
seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan
sekedar pendapat ( ra’y ), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada
Rasulullah).
Al-
Wahidi mengatakan : ` Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab
kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar secara langsung dari
orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas
tentang pengertiannya serta bersungguh-sunggguh dalam mencarinya.` Inilah jalan
yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan
sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas.
Oleh
karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah:
1) Riwayat-ucapan ucapan sahabat yang bentuknya
seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asababun nuzul.
2) As- Suyuti berpendapat : bahwa bila ucapan seorang
tabi’in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima.
Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi’in itu benar dan ia
termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat,
seperti mujahid, Ikrimah dan Said bin Jubair, serta didukung oleh hadis mursal
yang lain.
3. DEFINISI ASBABUN NUZUL
Setelah diteliti sebab turunnya sesuatu ayat itu
berkisar pada dua hal:
Pertama : Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah
ayat Qur’an mengenai peristiwa itu.
Contoh dalam hal ini sebagaimana diriwayatkan dari
Ibn Abbas, yang mengatakan :
"
Ketika turun, ayat : dan
peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat (QS Hijr 94), nabi pergi dan naik ke bukit safa , lalu
berseru : ` Wahai kaumku !". maka mereka berkumpul mendekat ke
nabi. Ia berkata lagi : ` bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu
bahwa dibalik gunung itu ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu,
percayakah kamu apa yang aku katakan ? Mereka menjawab : : kami belum pernah melihat
engkau berdusta.` Dan nabi melanjutkan: ‘aku memperingatkanmu tentang siksa
yang pedih,’ ketika itu Abu Lahab berkata : `celakalah engkau; apakah
engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini ?’Lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini :
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) ……..
Artinya : " celakalah kedua tangan Abu
lahab…..(Surat Al-Masad)
Kedua : Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu
hal, maka turunlah ayat Quran menerangkan tentang hukumnya.
Contoh hal ini seperti ketika Khaulah binti
Sa’labah dikenakan Zihar oleh suaminya Aus bin Samit.lalu ia datang kepada
Rasulullah SAW mengadukan hal itu.
Aisyah
berkata : ‘Maha suci Allah yang pendengarannya meliputi segalanya` aku menden
gar ucapan Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya, ia
mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW , katanya : Rasulullah SAW suamiku
telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung
karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua, dan tidak beranak lagi ia
menjatuhkan zihar kepdaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu`
Aisyah
berkata : ` tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini :
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا
Artinya : Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya ( yakni aus bin
samit).`(QS Mujadalah )
Catatan
: Tidak setiap ayat Quran diturunkan karena adanya timbul suatu peristiwa dan
kejadian yang mendahuluinya, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara
ayat Qur’an diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman,
kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.
4. PERLUNYA MENGETAHUI ASBABUN
NUZUL
Pengetahuan mengenai asbabun nuzul
mempunyai banyak faedah yang terpenting diantaranya :
1) Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan
perhatian syariat terhadap kepentingan umum dalam menghadapi segala peristiwa sebagai
bentuk rahmat terhadap umat. Ini karena setiap peristiwa penting ternyata
mendapat jawaban dari al-Quran.
2) Mengkhususkan ( membatasi ) hukum yang diturunkan
dengan sebab yang terjadi. Bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini
bagi mereka yang berpendapat bahwa ` yang menjadi pegangan adalah sebab
yang khusus dan bukannya lafal yang umum.`
Sebagai contoh dapat dikemukakan disini firman
Allah :
لَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ
يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلَا
تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya : Janganlah sekali-kali kamu menyangka,
hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka
suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu
menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.`
(al-Imran : 188 ).
Ada
beberapa sahabat yang khawatir dengan penjelasan ayat diatas lalu menanyakan
pada Ibnu Abbas : sekiranya setiap orang diantar kita yang bergembira dengan
apa yang telah dikerjakn dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum
dikerjakannya iti akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa.` Ibn Abbas
menjawab : ` mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ini ? ayat ini
turun berkenan dengan ahli kitab.` Kemudian ia membaca ayat sebelumnya yang
berkaitan dengan ahli kitab.
3) Apa bila lafal yang diturunkan itu lafal yang umum
('aam) dan terdapat dalil
pengkhususannya maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi
pengkhususan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab.
Contoh yang demikian digambarkan dalam dua firman-Nya:
Pertama : Bahwa orang yang menuduh wanita baik-baik berzina tidak akan
diampuni
Allah SWT berfirman : `Sesungguhnya orang-orang
yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena
la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari ,
lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang
dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag
setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar,
lagi Yang menjelaskan .( an-Nur : 23-25 ).
Kedua : Bahwa orang yang menuduh wanita baik-baik berzina, masih bisa
diampuni
Allah SWT berfirman : Dan orang-orang yang
menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.Kecuali orang-orang
yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS An-Nuur 4-5)
Sekilas ada pertentangan dari dua ayat di atas,
yaitu orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina dikatakan tidak
akan diampuni dalam ayat yang pertama, dan masih bisa diampuni pada ayat kedua.
Maka Ibnu Abbas memberitahukan asbabun nazal ayat yang pertama : bahwa ayat
tersebut turun dalam masalah Aisyah dalam peristiwa Haditsul ifk. Maka
mereka yang menuduh Aisyah ra berzina tidak akan diampuni dunia akhirat,
sementara ayat kedua hukumnya masih berlaku umum, bahwa mereka yang menuduh
wanita baik-baik (secara umum) , masih mempunyai kemungkinan taubat dan
diampuni. Wallahu a'lam.
4) Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk
memahami makna Al-Quran Al-Karim menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam
ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya.
Contoh dalam masalah ini adalah ayat:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ
اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ
بِهِمَا
Artinya : `Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah
sebahagian dari syi`ar Allah . Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya.
( al-Baqarah : 158 ).
Lafal
ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa’i itu wajib, sebab ketiadaan
dosa untuk mengerjakan hal itu menunjukkan `kebolehan` dan bukannya `
kewajiban` sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang kepada
arti tekstual ayat itu.
Padahal
hukum sebenarnya dari sa'I adalah wajib, bukan sekedar boleh. Lafal ayat di
atas turun karena para sahabat awalnya merasa keberatan bersa’i antara safa dan
marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliyah. Mereka takut itu
masuk pada perbuatan dosa, karenanya Al-Quran turun dengan lafad "tidak
ada dosa", untuk menjelaskan tentang bahwa sa'I bukan seperti apa yang
mereka takutkan/khawatirkan.Jadi bukan untuk menjelaskan bahwa hukum sa'I itu
'boleh', karena sa'I adalah wajib.
5) Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat
itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena
dorongan permusuhan dan perselisihan.
Contoh adalah : Bahwa ketika Marwan meminta agar
Yazid di baiat, ia berkata: ‘( pembaiatan ini adalah ) tradisi Abu Bakar dan
Umar.’ Abdurrahman menolak dan menentang seraya mengatakan : ‘Tradisi
Hercules dan kaisar’. Maka kata Marwan ; Inilah orang yang dikatakan Allah
dalam Qur’an :
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ
لَكُمَا
Artinya : Dan
orang yang berkata kepada ibu bapaknya: cis bagi kamu berdua….(Al-Ahqof 17)
Maksudnya adalah Marwan menuduh Abdurrahman
durhakan dengan menyandarkan pada ayat di atas. Kemudian perkataan Marwan yang
demikian itu sampai kepada Aisyah, maka kata Aisyah: ‘Marwan telah berdusta.demi Allah, maksud
ayat itu tidaklah demikian, sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat
itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.`
5. BEBERAPA PERMASALAHAN
SEPUTAR ASBABUN NUZUL
Dalam pembahasan tentang asbabun nuzul, ada juga
permasalahan-permasahan lain yang berkaitan dengannya, yang masing-masing
mempunyai bahasannya secara khusus, misalnya :
§ Pembahasan Kaidah : Al-Ibroh bi umumi al-lafdhi
Laa bi khususi as-sababi ( Yang Menjadi Pegangan Adalah Lafal yang Umum,
Bukan Sebab yang Khusus )
§ Pembahasan seputar redaksi periwayatan asbabun
nuzul
§ Pembahasan seputar banyaknya riwayat dalam asbabun
nuzul sebuah ayat
§ Pembahasan seputar banyaknya ayat yang turun
dengan satu sebab yang sama
§ Pembahasan seputar beberapa ayat yang turun pada
seorang yang sama.
Catatan : Karena waktu yang terbatas dan untuk memudahkan
santri, maka untuk pembahasan asbabun nuzul ini yang kita bahas dalam
perkuliahan (dirosah) adalah yang berkaitan dengan kaidah : Al-Ibroh
bi umumi al-lafdhi Laa bi khususi as-sababi ( Yang Menjadi Pegangan Adalah
Lafal yang Umum, Bukan Sebab yang Khusus ). Sehingga diharapkan
mahasiswa/santri bisa memperdalam pembahasan lainnya di buku-buku Ulumul Quran
yang ada.
KAIDAH
: AL-IBROH BI UMUMI AL-LAFDHI LAA BI KHUSUSI AS-SABAB
(
YANG MENJADI PEGANGAN ADALAH LAFAL YANG UMUM, BUKAN SEBAB YANG KHUSUS ).
قاعدة : العبرة
بعموم اللفض لا بخصوص السبب
Pertama kali, mari kita
membedakan antara dua hal, yaitu antara LAFADZ ayat dan SEBAB turunnya ayat. Begitu
pula kita perlu membedakan dengan UMUM dan KHUSUS, yang disebut "umum"
dalam pembahasan ini adalah ('aam) yaitu yang mencakup seluruh manusia atau
kaum muslimin, sedangkan "khusus" yang berkaitan dengan person-person
tertentu dan terbatas.
Karenanya, dalam kaitan antara
LAFAL ayat dan SEBAB turunnya ayat, ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi yang
masih-masing mempunyai konsekwensi atau hukumnya masing-masing. Tiga
kemungkinan tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama
: Apa bila lafal ayat bersifat umum dan
sebab turunnya pun secara umum. Maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat
tersebut bersifat UMUM
Contoh
dalam masalah ini adalah seperti firman Allah SWT :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ
هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ
…
Artinya : `Mereka bertanya kepadamu tentang
haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah
kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci . ..`( al-Baqarah : 222 )
Lafadz
" al-mahiid" di atas bersifat umum yang berarti semua wanita yang
haid, begitu pula sebab turunnya ayat itu bersifat umum, sebagaimana
diriwayatkan oleh Anas bin Malik : bahwa orang-orang Yahudi pada waktu itu,
ketika istri-istri mereka sedang haidh mereka mengusirnya dari rumah, dan tidak
memberi mereka makan minum dan tidak berhubungan badan dengan mereka. Maka
Rasulullah pun ditanya masalah ini. Maka turunlah ayat di atas, dan Rasulullah
SAW bersabda : " Lakukan apa
saja selain jimak " .
Jadi peristiswa atau pertanyaan
dari sahabat kepada Rasul bersifat umum, mereka menanyakan secara umum tentang
bergaul dengan istri-istri mereka yang haid secara umum, bukan satu dua
perempuan atau istri mereka secara khusus. Karenanya, hukum ini juga berlaku
umum bagi semua wanita haid.
Kedua
: Apabila lafal ayat bersifat khusus dan sebab turunnya pun khusus pada
perseorangan tertentu, maka yang diambil adalah bahwa hukum ayat tersebut
bersifat KHUSUS
Contoh dalam hal ini adalah firman Allah SWT:
وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى
(17) الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى (18) وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ
تُجْزَى (19) إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى (20) وَلَسَوْفَ يَرْضَى
(21
Artinya : `Dan kelak akan dijauhkan orang yang
paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya,
padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu ni`mat kepadanya yang harus
dibalasnya, tetapi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha TInggi. Dan
kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.` ( al-Lail : 17-21 )
Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar.
Kata al-atqa ( orang yang paling taqwa ) menurut tasyrif terbentuk af’al untuk
menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-‘adiyah ( kata
sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui
maksudnya ), sehingga ia dikhususkan bagi orang yang karenanya ayat itu
diturunkan. Jadi secara lafal memang khusus dan sebabnya adalah khusus, karena
itu ayat ini harus ditafsiri khusus tentang Abu Bakar As-Shiddiq, bukan umum
kepada kaum muslimin.
Ketiga : Jika sebab ayat itu adalah hal khusus
berkaitan dengan orang tertentu, sedang lafal ayat yang turun berbentuk umum.
Dalam kasus inilah, kaidah diatas menjadi
perdebatan di antara ulama ushul, apakah yang dijadikan pegangan adalah "lafal
yang umum" ataukah "sebab yang khusus" . Berikut masing-masing
pendapat dan dalil-dalinya.
1)
Jumhur ulama berpendapat : bahwa yang
menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang khusus, sehingga hukum/pelajaran
yang diambil adalah umum berlaku pada semua orang.
Misalnya : ayat Li’an (prosesi sumpah antara suami
istri untuk menolak dari tuduhan zina) yang turun mengenai tuduhan Hilal bin
Umaah kepada isterinya : `
Dari Ibn Abbas, Hilal bin Umayah menuduh isterinya
telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma dihadapan Nabi.
Maka Nabi berkata :
‘ Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.’
Hilal berkata :
‘Wahai Rasulullah , apa bila salah seorang diantara kami melihat seorang
laki-laki mendatangi isterinya; apakah ia harus mencari bukti `.
Rasulullah menjawab : ‘Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu akan yang
didera.’
Hilal berkata :Demi yang mengutus engkau
dengan kebenaran, sesungguhnya perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan
menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.’
Maka
turunlah Jibril as dan menurunkan kepada Nabi ayat :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ
وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ
شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (6) وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ
اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (7) وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ
أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (8) وَالْخَامِسَةَ
أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (9)
Dan
orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada
mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk
orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya,
jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu
benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.Dan (sumpah) yang kelima: bahwa
laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS Nuur 6-9)
Hukum
yang diambil dari lafal yang umum ini : " walladzi yarmuuna azwajahum"
( dan orang-orang yang menuduh isterinya ) tidak hanya khusus mengenai
peristiwa Hilal bin Umayyah, tetapi diterapkan pula pada kasus yang serupa
lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang kuat dan paling
sahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman ( universalitas ) hukum-hukum
syariat.
Dan
ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka
menerapkan hukum ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan
merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus
Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu
berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk
sebab-sebab khusus sudah populer dikalangan ahli.
2)
Segolongan ulama berpendapat : bahwa yang
menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal yang
umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat
diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti qiyas
dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung
faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan
dengan jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar