Rabu, 08 April 2015



BAB II
TOKOH-TOKOH DIBALIK
BERDIRINYA NAHDLATUL ULAMA

A.   KH. Muhammad Khalil (Bangkalan Madura)
1.    Biografi KH. Muhammad Khalil
KH. Muhammad Khalil bin KH. Abdul Lathif bin KH. Hamim bin KH. Abdul Karim bin KH.Muharram bin KH. Asrar Karamah bin KH. Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman  adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.
KH. Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jumadil akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur.
Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung oleh ayahnya sendiri. Setelah menginjak dewasa beliau ta’lim/belajar diberbagai Pondok Pesantren. Sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, beliau belajar kepada KH. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok-Pesantren ini beliau belajar pula kepada KH. Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, ± 7 kilometer dari Keboncandi. KH. Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu menjadi Santri KH. Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran. Beliau mampu membaca Alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran). Pada tahun 1276 H/1859, KH. Muhammad Khalil Belajar di Makkah. Di Makkah KH. Muhammad Khalil belajar dengan KH. Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah KH. Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). KH. Muhammad Khalil sewaktu Belajar di Makkah Seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan namun Ulama-ulama dahulu mempunyai kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan KH. Muhammad Khalil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Makkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH. Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, KH. Muhammad Khalil al-Maduri dan KH. Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. karena KH. Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa Pondok Pesantren di Jawa dan Makkah, maka sewaktu pulang dari Makkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, KH. Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan sebuah Pondok Pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. KH. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus orang memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Makkah telah berumur lanjut, tentunya  tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di Pondok Pesantren yang didirikannya. KH. Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di Pondok Pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari KH. Muhammad Khalil.
Dalam peristiwa 10 Nopember, Mbah Khalil bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah  dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Khalil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang lawan, sehingga mereka tidak bisa konsentrasi.
Pada saat itulah, pejuang kita bergantian menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya modern.
Karomah lain dari Mbah Khalil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Khalil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH. Ghozi, Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan yang sowan ke Mbah Khalil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Khalil.
Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Khalil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman Jogyakarta.
Di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan penggagas Nahdhatul Ulama/NU). KH. Abdul Wahab Hasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang) KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar) dan KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. Raden As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus Situbondo).

2.     Kondisi Sosial Politik
Masa hidup KH. Muhammad Khalil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri beliau melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, beliau mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya, salah satu di antaranya: KH. Hasyim Asy’ari Asy’ari, Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, KH. Muhammad Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tidak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, beliaupun tidak keberatan Pondok Pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, KH. Muhammad Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Kyai Khalil, malah membuat pusing pihak Belanda, karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti, seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada KH. Muhammad Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan KH. Muhammad Khalil untuk di bebaskan saja.
3.     Kiprahnya Dalam Pembentukan Nahdlatul Ulama
Peran KH. Muhammad Khalil dalam melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digaris bawahi bahwa KH. Muhammad Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, KH. Abdul Wahab Hasbullah selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, KH. Hasyim Asy’ari, awalnya, tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH. Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, KH. Muhammad Khalil, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH. Abdul Wahab Hasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.
“Saat ini, KH. Hasyim Asy’ari sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata KH. Muhammad Khalil sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kyai.” Jawab KH. As’ad sambil menerima tongkat itu.
“Bacakanlah kepada KH. Hasyim Asy’ari ayat-ayat ini:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يَا مُوْسَى(17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَاٰرِبُ أُخْرٰى(18)قَالَ أَلْقِهَا يٰمُوْسٰى(19)فَأَلْقٰهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعٰى (20) قَالَ خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الأُولٰى(21) وَاضْمُمْ يَدَكَ إِلٰى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَآءَ مِنْ غَيْرِ سُوْءٍ آيَةً أُخْرٰى(22) لِنُرِيَكَ مِنْ اٰيٰتِنَا الْكُبْرٰى (23)
” Pesan KH. Muhammad Khalil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke kediaman KH. Hasyim Asy’ari, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh KH. Hasyim Asy’ari. Mendengar ada utusan dari KH. Muhammad Khalil datang, KH. Hasyim Asy’ari menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya. “Kyai, saya diutus Kyai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kyai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan KH. Hasyim Asy’ari langsung menerimanya dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya KH. Hasyim Asy’ari.“Ada Kyai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Kyai Khalil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati KH. Hasyim Asy’ari tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah KH. Muhammad Khalil yang tua dan bijak. KH. Hasyim Asy’ari menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidam idamkankan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh KH. Muhammad Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kyai juga diminta untuk mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap waktu,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, KH. Muhammad Khalil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud. Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana KH. Hasyim Asy’ari menangkap isyarat adanya restu dari KH. Muhammad Khalil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kyai Khalil, seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.    
4.     Respon terhadap penjajahan Belanda
Madura adalah benteng pertahanan Islam Indonesia. Dengan pandangan ini, sepatutnya kita dapat melihat bahwa, di daerah Madura terdapat seorang ulama yang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap ilmu dan agama Islam. Sehingga publik memberikannya julukan Syaikhona. Ialah syaikhona Khalil Bangkalan yang dimaksudkan.
KH. Muhammad Khalil merupakan tokoh dan pejuang Islam nusantara, yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda. Tentu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan gejolak perjuangan melawan Belanda. Namun demikian, KH. Muhammad Khalil tidak langsung terlibat dalam medan pertempuran fisik, melainkan lebih berperan di belakang layar sebagai tokoh kharismatik yang memiliki daya penggerak massa. Pondok Pesantrennya, bukan hanya sebagai tempat mengajar dan mendidik santri, melainkan juga sering dijadikan tempat untuk mendiskusikan strategi perjuangan melawan kolonial Belanda. Bahkan para pejuang dari tanah jawa, kerap menjadikan pesantren KH. Muhammad Khalil sebagai tempat penyusunan strategi melawan Belanda, hingga 20 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI.
Sebagai ulama dan intelektual nusantara, secara nyata, beliau menolak bahkan ikut terlibat mendorong masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara.
5.     Metode pengajaran
Sebagaimana metode dan gaya pengajaran gurunya, tuan guru Dawuh, ternyata KH. Muhammad Khalil juga melakukan hal yang sama. Cara mengajarnya di sembarang tempat, unik, kondisional dan spontan. Dalam memberi pelajaran tidak harus di Pesantren, terkadang ketika sedang sambil berjalan dengan santrinya, terkadang sambil di bawah pohon, dipinggir sungai, di atas bukit.
Namun, karena KH. Muhammad Khalil memiliki lembaga pendidikan Pondok Pesantren, publik lebih mengenalnya dalam pemberian pelajaran dengan sistem sorogan, bandongan dan semacamnya.
Model pengajaran KH. Muhammad Khalil dapat kita amati dari beberapa cerita karamah yang ditulis Saifur Rahman dan Mohammad Rifaí, bahkan ketika KH. Muhammad Khalil terjun dan melihat masyarakat Bangkalan dan sekitarnya, kerap memberikan pendidikan kepada para santri dan masyarakat. Model pembelajarannya lahir dari lingkungan hidup dan alam sekitarnya. Dengan demikian, proses pembelajaran yang dilakukan KH. Muhammad Khalil tidak selamanya menggunakan kitab kuning dan berada di masjid dan surau. Bahkan lebih dari itu, proses pendidikannya di lakukan di lingkungan nyata yang lebih luas. Namun yang jelas, model pengajaran dengan uswah hasanah menjadi penghias model pendidikan ala KH. Muhammad Khalil.
6.     Peta konsep pemikiran pendidikan KH M Khalil Bangkalan
Kata-kata peta memiliki makna gambar lukisan, diagram atau bagan. Sedangkan pemikiran dalam kamus ilmiah lebih menggunakan kata penalaran, yang memiliki makna proses pemikiran secara logis untuk menarik kesimpulan dari suatu kenyataan sebelumnya.
Sehingga makna dari peta pemikiran di sini adalah, diagram pemikiran logis tentang pendidikan Islam oleh KH Muhammad Khalil. Sebagai salah satu tokoh yang tidak terbantahkan dalam melakukan penguatan proses islamisasi yang terjadi di tanah jawa dan Madura. Tentunya dengan mendirikan Pondok Pesantren sebagai tempat penggodokan kader-kader muslim di masanya dan setelahnya, bahkan sampai saat ini.
Peta Pemikiran KH. Muhammad Khalil bertumpu pada Al Qur’an dan Al Hadist, dasar paradigmatik keilmuannya ilmu alat/ ilmu nahwu-shorof, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu tauhid dan ilmu ahlak, pesantren dan kaderisasi ulama untuk mencetak intelektual muslim yang bersikap kritis dan menolak terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, sebagai bukti imperialisme Eropa terhadap nusantara. Ketundukan kepada Allah dan Rasul serta ketaatan kepada orang tua serta guru, menjadi bagian sikap hidup yang dipeganginya.
7.     Thariqat dan Fiqh
KH. Muhammad Khalil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih dari pada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu Fiqh. Pada masa akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Thariqat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan KH. Muhammad Khalil dalam Thariqat, terbukti bahwa KH. Muhammad Khalil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal Thariqat, serta memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, KH. Muhammad Khalil pun diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat menggabungkan Thariqat dan Fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang seangkatan dengan Kyai Khalil. Memang, KH. Muhammad Khalil hidup pada masa penyebaran Thariqat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kyai Khalil. Namun demikian, perbedaan antara KH. Muhammad Khalil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut Thariqat. KH. Muhammad Khalil justru meletakkan dan menggabungkan antara ke duanya (Thariqat dan Fiqh).
Dalam penggabungan dua hal ini, KH. Muhammad Khalil menundukkan Thariqat di bawah Fiqh, sehingga ajaran-ajaran Thariqat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran Thariqat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan Thariqat dan fiqh oleh KH. Muhammad Khalil tersebut.
8.     Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur (karya tulis) yang menyebutkan tentang karya Kyai Khalil, akan tetapi KH. Muhammad Khalil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan KH. Muhammad Khalil diantaranya:
Pertama, KH. Muhammad Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja, di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri KH. Muhammad Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah (Pendiri Pondok Pesantren Tambakberas), KH. Ali Ma’shum (Pendiri Pondok Pesantren Lasem Rembang), dan KH. Bisri Musthafa (Pendiri Pondok Pesantren Rembang). Dari murid-murid KH. Muhammad  Khalil, banyak murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain Pesantren yang KH. Muhammad Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil, adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Kyai Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kyai Khalil. Beliau wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H dalam usia 91 tahun karena usia lanjut. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren K.H. Muhammad Khalil.
Diantara peninggalan-peninggalan yang berupa tulisan atau kitab yang pernah di tulis oleh K.H. Muhammad Khalil diantaranya adalah:
1)    Kitab silah fi bayannikah
2)    Kitab al Matnus Syarif.
3)    Kitab terjemah Alfiyah
4)    Kitab Asmaul Husna
5)    Shalawat KH. Muhammad Khalil Bangkalan
6)    Wirid-wirid KH. Muhammad Khalil Bangkalan
7)    Lembaran berupa do’a-doá dan hizib

1 komentar: