BAB II
TOKOH-TOKOH
DIBALIK
BERDIRINYA
NAHDLATUL ULAMA
A.
KH.
Muhammad Khalil (Bangkalan Madura)
1. Biografi
KH. Muhammad Khalil
KH.
Muhammad Khalil bin
KH. Abdul Lathif bin KH. Hamim bin KH. Abdul Karim bin KH.Muharram bin KH. Asrar
Karamah bin KH. Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaiman adalah
cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah
itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam
(Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid Jamaluddin al-Kubra.
KH. Muhammad Khalil dilahirkan
pada 11 Jumadil akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung
Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau
Madura, Jawa Timur.
Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langsung
oleh ayahnya sendiri. Setelah menginjak dewasa beliau ta’lim/belajar diberbagai
Pondok Pesantren. Sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, beliau
belajar kepada KH. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa
Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil,
Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar
di Pondok-Pesantren ini beliau belajar pula kepada KH. Nur Hasan yang menetap
di Sidogiri, ± 7 kilometer dari Keboncandi. KH. Nur Hasan ini,
sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.
Sewaktu menjadi Santri KH. Muhammad Khalil
telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa
Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran. Beliau mampu
membaca Alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran). Pada tahun
1276 H/1859, KH. Muhammad Khalil Belajar di Makkah. Di Makkah KH. Muhammad Khalil
belajar dengan KH. Nawawi al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di
antara gurunya di Makkah ialah KH. Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayid Ahmad
bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul
Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari
Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima,
Sumbawa). KH. Muhammad Khalil sewaktu Belajar di Makkah Seangkatan dengan KH.
Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Muhammad Dahlan namun
Ulama-ulama dahulu mempunyai kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan KH. Muhammad
Khalil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Makkah untuk
mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH. Muhammad Khalil bekerja mengambil upah
sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan
bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh
Nawawi al-Bantani, KH. Muhammad Khalil al-Maduri dan KH. Saleh as-Samarani
(Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan
Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf
Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa
Melayu. karena KH. Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa Pondok Pesantren
di Jawa dan Makkah, maka sewaktu pulang dari Makkah, beliau terkenal sebagai
ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan
keislaman yang telah diperolehnya, KH. Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan sebuah
Pondok Pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari
desa kelahirannya. KH. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang
bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam
dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam
suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa
Madura seratus orang memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda yang
menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu
pulang dari Makkah telah berumur lanjut, tentunya tidak melibatkan diri dalam medan perang,
memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di Pondok Pesantren yang
didirikannya. KH. Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda
kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di Pondok
Pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang
terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah
mendapat pendidikan dari KH. Muhammad Khalil.
Dalam peristiwa 10 Nopember, Mbah Khalil
bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Hasbullah
dan Mbah Abas Buntet Cirebon,
mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib
yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan
lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu
bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Khalil
mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib
piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang lawan, sehingga mereka tidak
bisa konsentrasi.
Pada saat itulah, pejuang kita bergantian
menghantam lawan. Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa
mengusir tentara lawan yang senjatanya modern.
Karomah lain dari Mbah Khalil, adalah
kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu
bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat
berceramah, Mbah Khalil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba
baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita KH. Ghozi, Para santri heran.
Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor
masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian.
Ada seorang nelayan yang sowan ke Mbah Khalil. Dia mengucapkan terimakasih,
karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Khalil.
Kedatangan nelayan itu membuka tabir.
Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Khalil dapat pesan agar segera ke pantai
untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki,
dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar KH.
Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman Jogyakarta.
Di antara sekian banyak murid KH.
Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama
Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, dan penggagas Nahdhatul Ulama/NU). KH. Abdul Wahab Hasbullah (pendiri Pondok
Pesantren Tambakberas, Jombang) KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren
Denanyar) dan KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah
ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren
Rembang), dan KH. Raden As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus
Situbondo).
2. Kondisi Sosial
Politik
Masa hidup KH. Muhammad Khalil, tidak
luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri
beliau melakukan perlawanan; pertama, ia melakukannya dalam bidang
pendidikan. Dalam bidang ini, beliau mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi
pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik
kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa
yang lahir dari tangannya, salah satu di antaranya: KH. Hasyim Asy’ari Asy’ari,
Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng.
Cara yang kedua, KH. Muhammad
Khalil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak
berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tidak segan-segan untuk
memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang, beliaupun
tidak keberatan Pondok Pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Ketika pihak penjajah mengetahuinya, KH.
Muhammad Khalil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi,
ditangkapnya Kyai Khalil, malah membuat pusing pihak Belanda, karena ada
kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti, seperti tidak bisa
dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para
tahanan tidak melarikan diri.
Di hari-hari
selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada KH.
Muhammad Khalil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian
tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan KH. Muhammad Khalil untuk
di bebaskan saja.
3. Kiprahnya
Dalam Pembentukan Nahdlatul Ulama
Peran KH. Muhammad Khalil dalam
melahirkan NU, pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi, hal ini didukung dari
suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan
panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digaris bawahi bahwa KH.
Muhammad Khalil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap
pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri. Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai
pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah
kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang
didirikan oleh salah seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu, KH. Abdul
Wahab Hasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak
dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik
keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.
Pada perkembangannya kemudian, peserta
kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang
lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam
berbagai kesempatan, KH. Abdul Wahab Hasbullah selalu menyosialisasikan ide
untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada
persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali
dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh pada saat itu.
Namun, KH. Hasyim Asy’ari, awalnya,
tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan,
KH. Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah,
namun petunjuk itu tak kunjung datang.
Sementara itu, KH. Muhammad Khalil,
guru KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH. Abdul Wahab Hasbullah, diam-diam
mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang
santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap
kepadanya.
“Saat ini, KH. Hasyim Asy’ari sedang
resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya.” Kata KH. Muhammad Khalil
sambil menyerahkan sebuah tongkat. Baik, Kyai.” Jawab KH. As’ad sambil menerima
tongkat itu.
“Bacakanlah kepada KH. Hasyim Asy’ari
ayat-ayat ini:
وَمَا تِلْكَ بِيَمِيْنِكَ يَا مُوْسَى(17) قَالَ هِيَ عَصَايَ
أَتَوَكَّؤُا عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِيْ وَلِيَ فِيْهَا مَاٰرِبُ
أُخْرٰى(18)قَالَ أَلْقِهَا يٰمُوْسٰى(19)فَأَلْقٰهَا فَإِذَا هِيَ حَيَّةٌ تَسْعٰى (20) قَالَ
خُذْهَا وَلا تَخَفْ سَنُعِيْدُهَا سِيْرَتَهَا الأُولٰى(21) وَاضْمُمْ
يَدَكَ إِلٰى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَآءَ مِنْ غَيْرِ سُوْءٍ آيَةً أُخْرٰى(22) لِنُرِيَكَ
مِنْ اٰيٰتِنَا الْكُبْرٰى (23)
” Pesan KH. Muhammad Khalil.
As’ad segera pergi ke Tebuireng, ke
kediaman KH. Hasyim Asy’ari, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh KH.
Hasyim Asy’ari. Mendengar ada utusan dari KH. Muhammad Khalil datang, KH.
Hasyim Asy’ari menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar
adanya. “Kyai, saya diutus Kyai Khalil untuk mengantarkan dan menyerahkan
tongkat ini kepada Kyai.” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu,
sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan KH. Hasyim Asy’ari langsung menerimanya
dengan penuh perasaan.
“Ada lagi yang harus kau sampaikan?”
Tanya KH. Hasyim Asy’ari.“Ada Kyai,” jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat
yang disampaikan Kyai Khalil.
Mendengar ayat yang dibacakan As’ad,
hati KH. Hasyim Asy’ari tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah KH.
Muhammad Khalil yang tua dan bijak. KH. Hasyim Asy’ari menangkap isyarat, bahwa
gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak
saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan. Hari
berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang
diidam idamkankan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad
muncul lagi.
“Kyai, saya diutus oleh KH. Muhammad
Khalil untuk menyampaikan tasbih ini,” kata As’ad. “Kyai juga diminta untuk
mengamalkan Ya Jabbar, Ya Qahhar (lafadz asma’ul husna) setiap
waktu,” tambah As’ad. Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh
perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai
tak lama setelah itu, KH. Muhammad Khalil meninggal, dan keinginan untuk
mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud. Baru setahun kemudian, tepatnya
16 Rajab 1344 H., “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun
menjadi “raksasa”.
Tapi, bagaimana KH.
Hasyim Asy’ari menangkap isyarat adanya restu dari KH. Muhammad Khalil untuk
mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena
tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Kyai Khalil, seorang Kyai alim yang
diyakini sebagai salah satu Wali Allah.
4. Respon
terhadap penjajahan Belanda
Madura adalah benteng pertahanan Islam
Indonesia. Dengan pandangan ini, sepatutnya kita dapat melihat bahwa, di daerah
Madura terdapat seorang ulama yang memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap
ilmu dan agama Islam. Sehingga publik memberikannya julukan Syaikhona. Ialah
syaikhona Khalil Bangkalan yang dimaksudkan.
KH. Muhammad Khalil merupakan tokoh dan
pejuang Islam nusantara, yang hidup pada masa penjajahan kolonial Belanda.
Tentu tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan gejolak perjuangan melawan
Belanda. Namun demikian, KH. Muhammad Khalil tidak langsung terlibat dalam
medan pertempuran fisik, melainkan lebih berperan di belakang layar sebagai
tokoh kharismatik yang memiliki daya penggerak massa. Pondok Pesantrennya,
bukan hanya sebagai tempat mengajar dan mendidik santri, melainkan juga sering
dijadikan tempat untuk mendiskusikan strategi perjuangan melawan kolonial
Belanda. Bahkan para pejuang dari tanah jawa, kerap menjadikan pesantren KH.
Muhammad Khalil sebagai tempat penyusunan strategi melawan Belanda, hingga 20
tahun sebelum proklamasi kemerdekaan RI.
Sebagai ulama dan
intelektual nusantara, secara nyata, beliau menolak bahkan ikut terlibat
mendorong masyarakat untuk mengusir penjajah Belanda dari bumi nusantara.
5. Metode pengajaran
Sebagaimana
metode dan gaya pengajaran gurunya, tuan guru Dawuh, ternyata KH. Muhammad Khalil
juga melakukan hal yang sama. Cara mengajarnya di sembarang tempat, unik,
kondisional dan spontan. Dalam memberi pelajaran tidak harus di Pesantren,
terkadang ketika sedang sambil berjalan dengan santrinya, terkadang sambil di
bawah pohon, dipinggir sungai, di atas bukit.
Namun, karena KH. Muhammad Khalil
memiliki lembaga pendidikan Pondok Pesantren,
publik lebih mengenalnya dalam pemberian pelajaran dengan sistem sorogan,
bandongan dan semacamnya.
Model pengajaran KH. Muhammad Khalil
dapat kita amati dari beberapa cerita karamah yang ditulis Saifur Rahman dan
Mohammad Rifaí, bahkan ketika KH. Muhammad Khalil terjun dan melihat masyarakat
Bangkalan dan sekitarnya,
kerap memberikan pendidikan kepada para santri dan masyarakat. Model
pembelajarannya lahir dari lingkungan hidup dan alam sekitarnya. Dengan
demikian, proses pembelajaran yang dilakukan KH. Muhammad Khalil tidak
selamanya menggunakan kitab kuning dan berada di masjid dan surau. Bahkan lebih
dari itu, proses pendidikannya di lakukan di lingkungan nyata yang lebih luas.
Namun yang jelas, model pengajaran dengan uswah hasanah menjadi penghias
model pendidikan ala KH. Muhammad Khalil.
6.
Peta konsep pemikiran pendidikan
KH M Khalil Bangkalan
Kata-kata peta memiliki makna gambar
lukisan, diagram atau bagan. Sedangkan pemikiran dalam kamus ilmiah lebih
menggunakan kata penalaran, yang memiliki makna proses pemikiran secara logis
untuk menarik kesimpulan dari suatu kenyataan sebelumnya.
Sehingga makna dari peta pemikiran di
sini adalah, diagram pemikiran logis tentang pendidikan Islam oleh KH Muhammad
Khalil. Sebagai salah satu tokoh yang tidak terbantahkan dalam melakukan
penguatan proses islamisasi yang terjadi di tanah jawa dan Madura. Tentunya
dengan mendirikan Pondok Pesantren sebagai tempat penggodokan kader-kader
muslim di masanya dan setelahnya, bahkan sampai saat ini.
Peta Pemikiran KH. Muhammad
Khalil bertumpu pada Al Qur’an dan Al Hadist, dasar paradigmatik keilmuannya
ilmu alat/ ilmu nahwu-shorof, ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu tauhid dan ilmu
ahlak, pesantren dan kaderisasi ulama untuk mencetak intelektual muslim yang
bersikap kritis dan menolak terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, sebagai
bukti imperialisme Eropa terhadap nusantara. Ketundukan kepada Allah dan Rasul
serta ketaatan kepada orang tua serta guru, menjadi bagian sikap hidup yang
dipeganginya.
7. Thariqat
dan Fiqh
KH. Muhammad Khalil adalah salah satu Kyai
yang belajar lebih dari pada satu Madzhab saja. Akan tetapi, di antara
Madzhab-mazdhab yang ada, ia lebih mendalami Madzhab Syafi’i di dalam Ilmu
Fiqh. Pada masa akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya
Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal
abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi
penyebaran ajaran Thariqat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah
Muzhariyah dan lain-lain. Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai
keterlibatan KH. Muhammad Khalil dalam Thariqat, terbukti bahwa KH. Muhammad
Khalil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal Thariqat, serta
memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.
Di sisi lain, KH. Muhammad Khalil pun
diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat menggabungkan Thariqat dan Fiqh, yang
kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang seangkatan dengan Kyai
Khalil. Memang, KH. Muhammad Khalil hidup pada masa penyebaran Thariqat begitu
gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan
memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Kyai Khalil. Namun demikian,
perbedaan antara KH. Muhammad Khalil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya tidak
sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah
bagi penganut Thariqat. KH. Muhammad Khalil justru meletakkan dan menggabungkan
antara ke duanya (Thariqat dan Fiqh).
Dalam penggabungan
dua hal ini, KH. Muhammad Khalil menundukkan Thariqat di bawah Fiqh, sehingga
ajaran-ajaran Thariqat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain
itu, ajaran Thariqat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya.
Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang
menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan Thariqat dan
fiqh oleh KH. Muhammad Khalil tersebut.
8. Peninggalan
Dalam bidang karya, memang hampir tidak
ada literatur (karya tulis) yang menyebutkan tentang karya Kyai Khalil, akan
tetapi KH. Muhammad Khalil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak
tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan KH. Muhammad Khalil diantaranya:
Pertama,
KH. Muhammad Khalil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai
pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda,
hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan
priyayi saja, di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah
pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak
santri KH. Muhammad Khalil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti KH.
Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng), KH. Abdul Wahab Hasbullah
(Pendiri Pondok Pesantren Tambakberas), KH. Ali Ma’shum (Pendiri Pondok Pesantren
Lasem Rembang), dan KH. Bisri Musthafa (Pendiri Pondok Pesantren Rembang). Dari
murid-murid KH. Muhammad Khalil, banyak
murid-murid yang dikemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya
sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.
Kedua, selain
Pesantren yang KH. Muhammad Khalil tinggal di Madura –khususnya, ia juga
meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga
akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.
K.H. Muhammad Khalil, adalah satu
fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di
Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan)
dengan para murid Kyai Khalil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Kyai
Khalil. Beliau wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H dalam usia 91 tahun karena
usia lanjut. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih
mempunyai sanad dengan pesantren K.H. Muhammad Khalil.
Diantara peninggalan-peninggalan yang
berupa tulisan atau kitab yang pernah di tulis oleh K.H. Muhammad Khalil
diantaranya adalah:
1)
Kitab
silah fi bayannikah
2)
Kitab
al Matnus Syarif.
3)
Kitab
terjemah Alfiyah
4)
Kitab
Asmaul Husna
5)
Shalawat
KH. Muhammad Khalil Bangkalan
6)
Wirid-wirid
KH. Muhammad Khalil Bangkalan
7)
Lembaran
berupa do’a-doá dan hizib
Bagus
BalasHapus